Selain sebagai mufasir, Thabathaba’i juga dikenal sebagai syekh di bidang syariat Islam dan ilmu esoteris, hakim, filsuf, teosof tradisional, dan ulama-pemikir modernis. Ia juga ikut sebagai salah seorang perancang Revolusi Iran, 1979.
Namanya telah menyatu dengan karya monumentalnya mengenai tafsir Al-Qur’an, yakni al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an (Keseimbangan dalam Tafsir Al-Qur’an) sebanyak 20 jilid. Kedua orangtuanya meninggal dunia ketika ia masih berusia dini. Meskipun yatim piatu, ia tetap bersemangat dalam menuntut ilmu. Ia masuk sekolah tradisional (maktab) sekaligus sekolah modern. Ia dididik pula oleh seorang guru privat yang khusus didatangkan ke rumahnya.
Pada masa kecilnya, Thabathaba’i mulai menekuni bahasa Parsi, bahasa Arab, tata bahasa, sastra, aritmatika, pendidikan dasar, mengaji dan menggali kandungan Al-Qur’an, serta berkenalan dan memperdalam kitab klasik tentang ketuhanan. Ia juga membaca buku hukum, filsafat, teologi, dan retorika.
Thabathaba’i melanjutkan studi formalnya di Universitas Syiah, Najaf. Selama studi di perguruan tinggi, ia memperdalam kitab monumental yang ditulis para tokoh Islam terkemuka. Ia mempelajari kitab asy-Syifa’ (18 jilid) karya Ibnu Sina tentang psikologi, pertanian, retorika, dan syair; al-Asfar al-Arba‘ah dan Masa‘ir karya Mulla Sadra (filsuf sufi Syiah Iran; 1571–1640); dan Fusus al-hikam karya Ibnu Arabi (sufi besar; 1165–1240). Ia menguasai kitab-kitab ini dengan baik.
Selain itu, ia juga berguru di bidang fikih dan usul fikih kepada Syekh Muhammad Husain Isfahani dan Mirza Muhammad Husain Na’ini, di bidang filsafat Islam kepada Sayid Husain Bakuba’I murid dua syekh terkemuka aliran Teheran: Sayid Abu al-Hasan Jilwah dan Aqa’ Ali Mudarris Zunizi.
Khusus kepada Mirza Ali Qadhi, ia menimba banyak pengetahuan makrifah. Thabathaba’i mengakui bahwa ketika gurunya mengajarkan kitab Fusus al-hikam, dinding ruangan belajar seakan-akan ikut berbicara dan memberi penjelasan mengenai makrifat.
Karena kesulitan ekonomi, Thabathaba’i harus kembali ke Tabriz pada 1935. Di kota ini ia bekerja, bertani, dan mengajar. Namun, pada 1946 ia berangkat ke Qum untuk melanjutkan studinya hingga 1962. Di kota para mullah inilah Thabathaba’i memusatkan studinya di bidang tafsir Al-Qur’an, filsafat, dan tasawuf khususnya pemikiran Mulla Sadra.
Setelah menguasai ilmu pengetahuan cukup sempurna, Thabathaba’i mengajarkannya kepada ribuan kaum muda yang menjadi muridnya. Ia menyampaikan pesan hikmah kepada tiga kelompok muridnya:
(1) sejumlah besar murid yang terpilih dan layak mendalami pengetahuan tentang tasawuf dan makrifat,
(2) murid tradisional di Qum dan sekitarnya, dan (
3) kaum terpelajar modern dan non-Persia di Teheran. Murid-muridnya meliputi antara lain Murtada Mutahhari (1919–1979) dari Universitas Teheran dan Sayid Jalaluddin Asytiyani dari Universitas Masyhad, Iran.
Ternyata, aktivitas intelektual Thabathaba’i tidak hanya tampak dalam kegiatan belajar-mengajar di hadapan ribuan muridnya, tetapi juga dalam dunia menulis. Selain menulis artikel di beberapa jurnal ilmiah, ia juga menuangkan pikirannya ke dalam buku ilmiah.
Masa aktivitas dan pengabdian Thabathaba’i di dunia tulis-menulis dapat dibagi menjadi tiga periode.
(1) Masa studi di Najaf. Di kota ini ia menulis puluhan buku karya ilmiah, antara lain tentang perwalian, pembuktian, sufisme, analisis, sintesis, dan iktibar.
(2) Masa studi di Tabriz. Di kota kelahirannya ini ia antara lain menulis buku tentang kekuasaan dan tindakan, manusia sebelum lahir, manusia di dunia dan akhirat, kenabian, dan metode penulisan kaligrafi.
(3) Masa studi di Qum. Di kota para pelajar ini Thabathaba’i menulis buku yang kemudian dianggap sangat penting di dunia pemikiran dan intelektual Islam, antara lain hasyiyyah bar Asfar (Catatan Pinggir Buku Asfar, karya Sadaruddin Syirazi yang biasa dikenal dengan Mulla Sadra) sebanyak sembilan jilid, Musahabat ba Ustadz Korbin (Dialog dengan Profesor Henry Corbin (seorang orientalis ahli tasawuf, yang sering kali mengikuti pertemuan ilmiah, diskusi, dan dialog dengan Thabathaba’i), Risalah dar hukumat-i Islami (Risalah tentang Pemerintahan Islam) yang diterbitkan dalam dua bahasa: Persia dan Arab, hasyiyyah-i Kifayah (Catatan Pinggir atas Kitab Kifayah), ‘Ali wa al-Falsafah al-Ilahiyyah (Ali dan Metafisika), Qur’an dar Islam (Al-Qur’an dalam Islam), Syi‘ah dar Islam (Syiah dalam Islam) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan Ushul al-Falsafah wa Rawisi Ri’alism (Prinsip Dasar Filsafat dan Metode Realisme) yang berisi tanggapan atas materialisme dialektik dan materialisme historis, yang menjadi acuan gerakan perjuangan kaum muda muslim di Teheran.
Thabathaba’i selama bertahun-tahun mengkaji dan berusaha memahami kandungan Al-Qur’an. Ia berhasil menulis buku di bidang tafsir Al-Qur’an, yang berjudul al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Bagi at-Thabathaba’i, Al-Qur’an mengemukakan dirinya sendiri sebagai mukjizat Nabi SAW yang abadi dan tetap hidup. Al-Qur’an menantang orang Arab untuk menggubah karangan yang keindahan dan kebenarannya setara dengan Al-Qur’an. Di bidang tafsir Al-Qur’an, Thabathaba’i membuat peta pembagian mufasir Al-Qur’an yang terdiri dari dua kelompok besar.
Pertama, mufasir Ahlusunah. Kelompok ini terdiri atas 6 generasi:
(1) sahabat setelah Nabi Muhammad SAW wafat,
(2) tabiin,
(3) murid para mufasir generasi tabiin,
(4) orang yang pertama kali menulis buku tentang ilmu tafsir,
(5) mufasir yang menghimpun hadis Nabi SAW dengan membuang sanadnya, dan
(6) mufasir yang muncul sesudah berbagai ilmu pengetahuan berkembang dalam Islam. Menurut Thabathaba’i, masing-masing kelompok kecil ini berbeda-beda dalam menggunakan metode penafsiran Al-Qur’an.
Kedua, mufasir Al-Qur’an dari kalangan Syiah. Menurut Thabathaba’i, kelompok mufasir Syiah ini menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan hadis Nabi SAW dan sabda para ahlulbait, yaitu Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husain. Thabathaba’i membagi mufasir Syiah menjadi tiga kelompok kecil:
(1) orang yang melakukan penafsiran dengan merujuk kepada hadis Nabi SAW dan para imam ahlulbait,
(2) orang yang pertama kali menulis buku tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur’an sama dengan metode kelompok keempat dari mufasir Ahlusunah, dan
(3) orang yang menguasai berbagi bidang ilmu pengetahuan.
Dengan pemetaan mufasir Al-Qur’an itu, Thabathaba’i menyimpulkan bahwa penafsiran Al-Qur’an dapat ditempuh dengan salah satu dari tiga jalan berikut:
(1) menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan bantuan data ilmiah atau non-ilmiah; menurutnya jalan ini tidak boleh diikuti sebab digunakan pendapat sendiri;
(2) menafsirkan ayat dengan bantuan hadis yang diriwayatkan para imam suci; menurut Thabathaba’i, kalangan Ahlusunah dan Syiah telah menggunakan metode ini; dan
(3) menafsirkan ayat dengan merenungkan dan mengkaji satu ayat dengan ayat lainnya yang berkaitan dengan bantuan hadis Nabi SAW.
Thabathaba’i sering kali menggunakan jalan ketiga ini dalam buku tafsirnya dengan mengutip ayat Al-Qur’an sebagai landasannya, “Kami telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS.16:89). Dan hadis Nabi SAW, “Sesungguhnya sebagian ayat membenarkan sebagian ayat lainnya.”
Daftar Pustaka
at-Thabathaba’i, Muhammad Husin. Islam Syiah: Asal-usul dan Perkembangannya, terj. Djohan Effendi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
____________. Menguak Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan Hamim Ilyas. Bandung: Mizan, 1989.
____________. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lamy li al-Mathba’ah, 1972.
“Ulama at-Thabathaba’i Pelopor Perubahan Intelektual dan Filosofis Dunia Islam,” Yaum al-Quds, edisi 31 Safar 1412 H.
as-Suyuti, Imam. al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.
az-Zahabi, Muhammad Husain. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Cairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1979.
Idris Thaha