Ternate adalah sebuah kesultanan yang berdiri pada abad ke-15 di Sampalu, pesisir tenggara Pulau Ternate (Propinsi Maluku Utara). Kesultanan Ternate berperan besar dalam penyebaran Islam di kawasan Maluku sampai ke Filipina. Sejak dahulu Ternate terkenal dengan hasil rempah sehingga menarik perhatian bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Sebelum menjadi kesultanan, Ternate merupakan sebuah kerajaan yang berdiri kira-kira pada abad ke-13 dan memeluk semacam agama syamanisme. Ternate bersama Tidore, Bacan, dan Jailolo adalah empat kerajaan bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama.
Menurut HAMKA, setelah kerajaan itu memeluk Islam timbullah penulisan sejarah bahwa pendiri keempat kerajaan itu adalah putra-putra Ja‘far as-Sadiq. Raja-raja pertama tersebut adalah Syahadati (Tidore), Kaicil Buka (Bacan), dan Darajati (Jailolo). Dalam catatan silsilah, ada 19 orang raja Ternate.
Diduga, raja Ternate yang pertama memeluk Islam adalah Zainal Abidin. Tetapi ada juga dugaan, umpamanya oleh F. Valentijn (sejarawan Belanda, 1666–1727), bahwa raja pertama yang memeluk Islam itu adalah Gapi Baguna, ayah Zainal Abidin, melalui dakwah Datuk Maulana Husain, seorang saudagar dari Jawa. Setelah memeluk Islam, Raja Gapi Baguna (1485–1486) dikenal dengan nama Marhum.
Ketika Sultan Zainal Abidin (1486–1500) memerintah di Ternate, ia mengambil kesempatan untuk belajar agama Islam di Gresik. Di sini Sultan Zainal Abidin bertemu dengan kepala daerah Hitu dari Ambon yang beragama Islam, yaitu Pate Putih, yang datang untuk tujuan yang sama.
Antara keduanya diadakan persetujuan yang berakibat bahwa para sultan Ternate kemudian mengklaim sebagian wilayah Pulau Ambon. Sekembalinya ke Ternate, Sultan Zainal Abidin mengukuhkan Islam dengan memasukkannya dalam struktur politik, kemudian berusaha untuk memperluas dan menanamkan ajaran Islam melalui pendidikan. Kemungkinan ia membawa serta para guru agama dari Jawa, sebab ternyata kemudian ia membuka ‘sekolah’ dan mewajibkan para pegawai daerah untuk mempelajari syariat Islam di Ternate.
Penyebaran Islam baru mulai ketika Sultan Zainal Abidin (atau ayahnya) memeluk Islam. Sultan Zainal Abidin dipandang sebagai sultan yang pertama berjasa dalam hal ini dengan dibukanya tempat untuk mempelajari ajaran Islam pada akhir abad ke-15. Selanjutnya ekspansi kekuasaan turut andil dalam penyiaran agama ini ke daerah taklukan.
Meskipun demikian, perkembangan Islam berjalan lambat dan mendapat tantangan dari penduduk yang masih terikat pada kepercayaan lama, sehingga penyembahan patung masih terus berlangsung, bercampur dengan ajaran Islam dan menyebabkan alam pikiran rakyat mengambang dalam keraguan.
Kondisi politik dan perdagangan pada abad ke-16 dan ke-17 ikut mempengaruhi konversi keagamaan. Kedatangan bangsa Barat (Portugis, Spanyol, dan Belanda) sejak abad ke-16, selain untuk berdagang, juga dimaksudkan untuk menyebarkan agama Kristen. Dengan demikian, bangsa tersebut turut memperlambat bahkan menghalangi gerak dakwah Islam.
Selain itu, kedatangan dan perkembangan agama Islam di Ternate dan daerah taklukannya berkaitan erat dengan sultan. Penyebaran agama melalui jalur “atas” ini melahirkan kelompok masyarakat yang lebih bercorak formal. Pendidikan agama berlangsung secara tradisional, anak-anak mengaji pada seorang kasisi (pegawai masjid). Oleh sebab itu, paham keagamaan tampak sempit dan statis.
Pada masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin, Ternate mengalami kemajuan yang pesat, bukan hanya di bidang keagamaan, melainkan juga di bidang ekonomi. Perdagangan yang dijalankan orang-orang Ternate, Jawa, dan Melayu menjadi lebih ramai dengan datangnya orang Arab. Kemajuan yang dialami Ternate menimbulkan iri hati kerajaan sekelilingnya.
Setelah Sultan Zainal Abidin mangkat, Bayansirullah naik menjadi sultan (1500–1522). Tidak diketahui apakah sultan yang baru ini anak sultan sebelumnya atau bukan. Sesuai dengan tradisi, sultan tidak selamanya harus putra sultan sebelumnya. Meskipun demikian, terdapat persyaratan bahwa calon sultan harus anak bangsawan yang mempunyai seorang ibu terhormat atau bangsawan pula.
Pada masa Sultan Bayansirullah, yang disebut juga dengan nama Abu Hayat, armada Spanyol di bawah pimpinan Carvalhinho dan Goncalo Gomes tiba di Maluku pada 8 November 1521 dan di Tidore mereka disambut ramah oleh penguasa. Sementara itu, armada Portugis pun tiba di Ternate dan pada 1522 Antonio de Brito mendirikan Benteng Saint John di pulau itu.
Ketika Sultan Bayansirrullah wafat, putra sulungnya, Duko Lamo, dicalonkan sebagai sultan tetapi ditolak bobatu (dewan kerajaan). Pada 1522–1535 pemerintahan dipegang oleh suatu komisi yang memerintah atas nama sultan.
Pada 1529 Dom Jorge de Maneses atau Malaka dengan sekutunya (Ternate dan Bacan) menyerbu dan mengalahkan Tidore (dan orang Spanyol). Akan tetapi, sesudah itu Portugis turut campur dalam urusan pemerintahan, dan ambisinya untuk menyebarkan agama Kristen menyebabkan kemarahan banyak penduduk.
Pada 1533 tindakan kasar Tristoa de Altaida menimbulkan pemberontakan sehingga sultan Ternate yang sebelumnya menjadi sekutunya berbalik memusuhinya dan penduduk dari Irian sampai Jawa dimobilisasi untuk mengusir Altaida dan orang Portugis lainnya.
Orang Ternate kemudian membakar benteng Portugis dan sebagian kota Ternate. Serangan Altaida selalu kandas berhadapan dengan gabungan para penguasa Maluku seperti Tidore dan Jailolo. Kekalahan Altaida menyebabkannya meminta bantuan kepada Malaka.
Pada 1536 bobatu menyetujui Kaicil Hairun sebagai sultan Ternate (1536–1570). Sementara itu, Galvao, yang juga berkuasa di Maluku 1536–1540, membuat rakyat setempat tertindas. Akibatnya rakyat di bawah pimpinan Sultan Hairun berontak terhadap Portugis. Serangan terhadap benteng-benteng Portugis terus dilancarkan. Rakyat Ternate semakin marah ketika mengetahui bahwa sultannya ditipu dan dengan diam-diam dibunuh Portugis 1570.
Pimpinan perlawanan diambil-alih Sultan Babullah (1570– 1583). Benteng-benteng Portugis berhasil direbut rakyat Ternate. Pada 28 Desember 1577 mereka berhasil mengusir Portugis yang kemudian pindah ke pulau lain dekat Tahula, tidak jauh dari Tidore.
Babullah adalah sultan Ternate yang paling besar. Selama pemerintahannya kesultanan berekspansi sampai ke Mindanao di utara, Bima di selatan, Irian Barat di timur, dan Makassar di barat. Wilayahnya mencakup 72 pulau, antara lain Ternate, Moti, Makian, Kayoa, Kepulauan Sula, Buru dan sekitarnya, Veranula (Seram), Boano dan Manipa, Halmahera, Sulawesi (antara lain Gorontalo dan Limboto, Tomini, dan Manado), Dondo, Labaque, serta Buton dan sekitarnya.
Semua pulau itu dibentengi dengan sejumlah besar tentara dengan pasukan tetapnya berjumlah 130.300 orang. Setelah menaklukkan Banggai, Tebungku, dan Buru, ekspansi Babullah terbentur pada kekuasaan Makassar. Maka dibuatnya suatu perjanjian persahabatan dengan Kerajaan Goa-Tallo dan Selayar.
Hubungan Kesultanan Ternate dengan kerajaan itu sangat baik, dan Sultan Babullah mencoba untuk membuat rajanya menganut Islam, tetapi tidak berhasil.
Akan tetapi, kegemilangan yang dicapai Sultan Babullah ternyata tidak dapat dipertahankan para sultan sesudahnya. Sementara itu, ketika kekuasaan di Lissabon dipegang Raja Felipe II, Portugis dan Spanyol dipersatukan pada 1582.
Raja ini menyuruh gubernur jenderal Spanyol di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang Portugis di Maluku. Tetapi usaha Spanyol untuk merebut kembali Ternate tidak berhasil karena Belanda mulai muncul di perairan Maluku. Steven van der Haghen berhasil merebut benteng Portugis di Amboina 1605 dan Cornelis Bastians merebut benteng Tidore.
Akan tetapi, karena pertahanan Belanda belum kuat, Spanyol kembali mengukuhkan kekuasaannya. Daerah kekuasaan sultan Ternate jatuh ke tangan Spanyol. Sultan dan beberapa putranya ditawan ke Manila dan yang memihak Spanyol mendapat pembebasan kembali.
Pada 1607 Belanda kembali ke Maluku. Dengan bantuan Ternate yang membenci Spanyol, Belanda kembali menduduki Ternate dan kemudian mendirikan benteng-benteng. Pada suatu perjanjian antara Cornelis Matelief de Jonge dan Sultan Mudaffar pada 26 Juni 1607, ditetapkan bahwa Belanda bertindak sebagai pelindung Ternate terhadap Spanyol.
Kemudian mereka menyerang Spanyol di Tidore, dan Belanda berhasil merebut Makian dan Moti sehingga di tempat ini pun mereka mendirikan benteng. Sekitar 1624–1639 sering terjadi pertempuran antara Spanyol dan Belanda di daerah Maluku dan pihak Spanyol mengalami kekalahan. Pada 1639 antara Ternate dan Tidore terjadi suatu persetujuan persahabatan.
Pada awal abad ke-17, Ternate lepas dari cengkeraman Spanyol, tetapi mulai jatuh ke dalam cengkeraman Belanda. Sultan yang berkuasa lebih sibuk di daerah pusat pemerintahannya. Mereka terbius oleh kesenangan, kemewahan, dan kebesarannya di dalam istana. Orientasi kepada rakyat diganti dengan orientasi kepada Belanda.
Sultan Mudaffar, setelah mangkat, digantikan Sultan Hamzah (1627–1648), yang kemudian digantikan oleh Sultan Mandarsah (1648–1675). Melalui suatu perjanjian dengan Gubernur Jenderal Karel Reinierszoon 31 Januari 1652, Sultan Mandarsah melepaskan Ambon untuk kompeni Belanda.
Dalam pada itu perlawanan rakyat terhadap Belanda meluas dari daerah Amboina sampai ke Ternate. Sultan Mandarsah, yang oleh rakyat dianggap dekat dengan kompeni, diusir dan digantikan oleh saudaranya yang juga tidak bijaksana.
Sementara itu, Saidi, yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda, tertangkap dan dibunuh de Vlamingh van Oosthoorn yang datang ke Maluku sejak 1655. Sultan Ternate dipaksa membuat suatu perjanjian bahwa ia tidak perlu lagi menempatkan walikotanya di Ambon yang akan diurus oleh kompeni sendiri.
Pada 1683 Sultan Sibori yang dikenal dengan sebutan Sultan Amsterdam mengakui kekuasaan VOC. Sejak itu pengangkatan sultan Ternate turut ditentukan oleh Belanda, dan para sultan terikat dengan penandatanganan kontrak serta perjanjian sumpah setia kepada Belanda.
Hubungan intim para sultan dengan Belanda di satu pihak dan kerenggangan hubungan mereka dengan rakyat menyebabkan mereka kehilangan kepercayaan dari rakyat. Oleh sebab itu, berbagai pemberontakan rakyat berkobar antara abad ke-17 dan ke-19.
Pada 1817, setelah kekuasaan Inggris berakhir, Belanda kembali mengokohkan kekuasaannya di Ternate dengan menempatkan seorang residen di sana. Karesidenan Ternate yang berada di bawah gubernemen Maluku meliputi wilayah Kesultanan Ternate, Tidore, dan Bacan.
Meskipun demikian, Belanda tetap mengakui dan menghormati hak sultan atas daerahnya. Pada abad ke-19, wilayah Kesultanan Ternate meliputi Pulau Ternate dan sekitarnya, sebagian Pulau Halmahera, Kepulauan Sula, serta Kepulauan Banggai dan Tobungku di pantai timur Sulawesi Tengah.
Ketika berkunjung ke Ternate, Gubernur Jenderal Van der Capellen membuat perjanjian dengan sultan Ternate dan Tidore 27 Mei 1824, yang menetapkan kekuasaan tertinggi di tangan pemerintah Belanda. Belanda mendapat hak untuk melantik sultan, menyusun wilayah administrasi di daerah sultan, serta menempatkan amtenar di Ternate dan Tidore.
Waktu itu sultan yang berkuasa adalah Muhammad Zain (1823–1859), seorang yang cukup radikal dalam memegang paham agama. Dia berpendapat bahwa pemakaman sultan secara besar-besaran dengan aneka macam upacara kebesaran merupakan cara yang berlebihan dan bahkan bertentangan dengan ajaran Islam.
Pada 1844, setelah bermusyawarah dengan bobatu, sultan memutuskan untuk menghapus beberapa tradisi pemakaman yang bertentangan dengan agama Islam. Apa yang dilakukan sultan itu dapat dilihat sebagai usaha pemurnian ajaran agama yang baru digalakkan pada permulaan abad ke-20.
Muhammad Zain digantikan sultan yang lemah, Muhammad Arsad (1861–1873). Kemudian kesultanan dipegang oleh Komisi Pemerintahan yang terdiri dari Jogugu-Mayor Prang, Kapitan Laut Ayanhar, Imam Sekretaris Abdul Aziz, dan Hukum-Sangaji Makdum. Pada awal abad ke-20, Kesultanan Ternate dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Meski telah dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda, Kesultanan Ternate masih tetap berdiri. Namun jabatan sultan sempat mengalami kekosongan hingga 1986. Pada 1986 ditunjuk Moedaffar Sjah (68 tahun) menjadi sultan Ternate ke-48.
Struktur pemerintahan Kesultanan Ternate dijalankan seperti pemerintahan modern. Hal itu terlihat dalam struktur pemerintahannya yang mempunyai perdana menteri, mahkamah agung, dan jaksa agung. Jabatan ini boleh diduduki masyarakat awam.
Hal lain yang menarik di Kesultanan Ternate adalah sistem demokrasi yang diterapkan dalam pemerintahan kesultanan. Jabatan sultan, misalnya, walaupun harus menuruti garis keturunan tetapi harus tetap dipilih Dewan Delapan Belas, yang terdiri dari para kepala adat.
Daftar Pustaka
Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam: A History of The Propagation of the Muslim Faith. Lahore: Muhammad Ashraf, 1979.
Bakri, Kholis Bahtiar, dan Muhammad Alwi Attamimi. “Legu dan Dadansa Pengingat Sultan,” Gatra, No. 3 Tahun IX, 7 Desember 2002.
HAMKA. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hanna, Willard A., dan Des Alwi. Turbulent Times Past in Ternate and Tidore. Moluccas: Rumah Budaya Banda Naira, 1990.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900. Jakarta: Gramedia, 1988.
Putuhena, M. Shaleh A. “Struktur Pemerintahan Kesultanan Ternate dan Agama Islam,” Halmahera dan Raja Ampat Sebagai Kesatuan Majemuk: Studi-Studi terhadap Suatu Daerah Transisi. Jakarta: Leknas LIPI, 1981.
Zuhri, KH Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: al‑Ma’arif, 1981.
Hery Noer Aly