Tebuireng, Pondok Pesantren

Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 1899 di Desa Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng baru diakui pemerintah kolonial Belanda pada 1906.

Pesantren Tebuireng menyelenggarakan pengajian dengan metode sorogan (metode pengajaran individual atau kelompok kecil yang terdiri atas 3–5 santri; guru membaca dan menerjemahkan beberapa baris materi bacaan, lalu murid mengulanginya) dan metode wetonan (metode pengajaran kelompok yang terdiri atas 5–50 santri; guru mengajarkan materi bacaan kata per kata atau kalimat per kalimat, lalu menerjemahkan serta menerangkan maksud bacaannya, dan murid hanya memperhatikan).

Di samping itu, pesantren itu juga memiliki lembaga pendidikan formal, baik lembaga pendidikan agama maupun lembaga pendidikan umum, yaitu:

(1) Madrasah Ibtidaiyah,

(2) Madrasah Tsanawiyah,

(3) Madrasah Aliyah,

(4) Madrasah Diniyah,

(5) Madrasah Huffaz,

(6) Sekolah Menengah Pertama (SMP),

(7) Sekolah Menengah Atas (SMA),

(8) Jam’iyyah, dan

(9) Universitas Hasyim Asy’ari.

Masing-masing lembaga pendidikan tersebut diselenggarakan secara terpisah pada waktu serta ruangan yang berbeda.

Pesantren Tebuireng berada di bawah naungan suatu badan wakaf. Luas areal kampusnya sekitar 16 ha. Pada awal berdirinya pesantren ini merupakan sebuah bangunan teratak sangat sederhana berbentuk bujur sangkar, yang dipergunakan sebagai tempat tinggal kiai sekaligus tempat salat dan belajar.

Berdirinya pesantren itu dimulai dengan 28 orang santri dan usaha keras untuk mengamankan penduduk Desa Tebuireng dari perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Setelah 7 tahun Pesantren Tebuireng berdiri, mulai tampak hasilnya dengan datangnya murid baru, bukan saja dari Jawa Timur tetapi juga dari daerah lain.

Dalam mengasuh pesantren ini KH Hasyim Asy’ari berpegang teguh pada prinsip kemandirian dan sikap nonkooperatif dengan pemerintah Kolonial Belanda. Metode pengajaran pada masa awal berdirinya sama dengan yang digunakan pesantren lainnya, yaitu metode sorogan, bandongan (para santri mengikuti bacaan kitab yang dibaca kiai) dan halaqah (para santri duduk mengitari kiai untuk membaca kitab).

Baru pada 1919 didirikan Madrasah Salafiyah atau Madrasah Diniyah dengan sistem klasikal yang hanya mengajarkan pengetahuan agama. Kemudian KH Mohammad Ilyas (l. Kraksaan, Probolinggo, 1911), salah seorang kemenakan KH Hasyim Asy’ari, berusaha keras untuk memasukkan pembaruan ke dalam pesantren ini.

Mantan santri yang juga lulusan HIS (Hollandsche Inlandsche School) di Surabaya itu mulai memasukkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah di samping memasukkan surat kabar dan majalah untuk dibaca oleh para santri. Ia juga mengintensifkan pengajaran bahasa Arab secara aktif dengan sasaran mampu membaca, berbicara, dan menulis.

Ide pembaruan sistem pendidikan dan prakarsa KH M. Ilyas itu mendapat sambutan luas dari para pengelola pesantren lain, seperti KH Ali Maksum, KH Masyhuri Baidhowi, dan Kiai Alwi. Bahkan KH Wahid Hasyim, putra dan pengganti KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin pesantren (1947–1953), menyambut prakarsa pembaruan tersebut.

Ia mendirikan Madrasah Nizamiyah, yang pelajaran umumnya mencapai 70%, khususnya untuk memperdalam bahasa dan sastra asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa lain yang diminati para santri.

Walaupun timbul reaksi keras dari para wali murid atas usaha pembaruan KH M. Ilyas, yang kemudian ditunjuk menjadi kepala Madrasah Salafiyah (1926), setahap demi setahap pembaruannya berhasil baik. Sejak itu pelajaran seperti membaca dan menulis Latin, bahasa Indonesia, ilmu bumi, dan sejarah Indonesia, masuk kurikulum Madrasah Salafiyah bersama-sama dengan mata pelajaran agama.

Pada 1932, KH M. Ilyas bersama KH Wahid Hasyim dikirim ke Mekah untuk menunaikan haji dan melanjutkan pelajaran agama. Mereka belajar bahasa Arab, hadis, fikih, dan ilmu agama lainnya pada para ulama terkenal di Masjidilharam.

KH Wahid Hasyim kembali ke Indonesia pada 1933, disusul kemudian oleh KH M. Ilyas pada 1935. Mereka kembali mengabdikan diri di Pesantren Tebuireng. Ketika KH Wahid Hasyim menjabat sebagai pimpinan Nahdlatul Ulama, Madrasah Nizamiyah dibubarkan.

Pada 1950-an, sesuai dengan kebijakan pemerintah, madrasah di Pesantren Tebuireng ditata kembali. Penataan tersebut membuat madrasah di Pesantren ini terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Muallimin. Setelah KH Yusuf Hasyim mulai memegang kepemimpinan (1965), pengembangan pesantren mulai ditingkatkan kembali.

Dua tahun sesudah itu, didirikan lembaga pendidikan tinggi yang diberi nama Universitas Hasyim Asy’ari dengan tiga fakultas, yaitu: Tarbiyah, Dakwah, dan Syariah. Pada 1971 kiai yang juga politikus itu melangkah lebih jauh lagi dengan mendirikan Madrasah Huffaz, tempat mendidik para calon penghafal Al-Qur’an.

Kemudian pada 1975 dibuka pula SMP dan SMA dengan siswa campuran putra-putri. Pada 1985, dengan jumlah santri lebih dari 5.000 orang, Pesantren Tebuireng melengkapi lagi fasilitas penunjang pendidikannya dengan mendirikan:

(1) Lembaga Bahasa,

(2) Lembaga Pertimbangan Syar’i,

(3) Lembaga Pengembangan Masyarakat,

(4) Unit Dokumentasi dan Pusat Informasi,

(5) Perpustakaan,

(6) Percetakan dan Penerbitan, dan

(7) Jasa Komputer.

Selain di bidang pendidikan agama dan kaderisasi ulama yang dikembangkan sejak awal berdirinya, Pesantren Tebuireng juga mempunyai peranan besar di panggung politik, terutama yang berhubungan dengan umat Islam.

Pendiri pesantren ini, KH Hasyim Asy’ari, adalah pendiri dan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Majelis Islam A’la Indonesia, dan Masyumi. KH Wahid Hasyim adalah salah seorang ulama yang ikut membidani lahirnya naskah Piagam Jakarta dan kemudian menjadi menteri Agama Republik Indonesia.

Pengaruh Pesantren Tebuireng, sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam bermazhab Ahlusunah waljamaah tertua di Indonesia, telah berakar dan menyebar hampir ke seluruh wilayah Indonesia melalui para kadernya.

Setelah mereka kembali ke masyarakat, banyak yang berhasil mendirikan pesantren serupa dengan Pesantren Tebuireng, baik dalam bentuk, metode pendidikan, aliran mazhab, maupun gaya berpikir serta politiknya. Sampai sekarang, Pesantren Tebuireng sebagai pencetak calon ulama Ahlusunah waljamaah di Indonesia masih tetap menjadi model sekaligus kiblat bagi pesantren lain, terutama pesantren yang beraliran sama.

Daftar Pustaka

Abubakar, H. Sejarah hidup KH. A. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan Almarhum KH. A. Wahid Hasyim, 1957.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985.
Marwan Saridjo, et al. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti, 1979.
Sukardi, Heru. KH. Hasyim Asy’ari. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1980.

Ridlo Masduki