Tasbih

(Ar.: tasbih)

Tasbih berarti “meyakini kesucian Allah SWT dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya dan dari segala sifat kekurangan”. Kalimat tasbih adalah subhana Allah (Maha Suci Allah). Kata tasbih berasal dari kata kerja sabbaha dan yusabbihu yang berarti “menyucikan”.

Perkataan tasbih sering juga dipergunakan dalam arti zikir dan kadang-kadang diartikan pula dengan puji. Ada pula salat sunah yang dinamai dengan salat tasbih. Salat ini disebut salat tasbih antara lain karena banyaknya lafal tasbih yang diucapkan di dalamnya.

Nabi Muhammad SAW memerintahkan supaya orang yang melakukan salat mengucapkan lafal tasbih, yakni tatkala seseorang sedang rukuk dan sujud. Pada saat rukuk, lafal tasbih yang lazim diucapkan adalah subhana rabbi al-‘azim (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) dan pada saat sujud adalah subhana rabbi al-a‘la (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi).

Selain bacaan tersebut, ada beberapa bacaan tasbih yang lain dalam rukuk dan sujud sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Nabi Muhammad SAW. Beberapa di antaranya:

(1) subbuh quddus rabb al-mala’ikah wa ar-ruh (Tuhan yang Maha Suci, Tuhan yang Maha Suci, Tuhan yang memiliki malaikat dan roh), berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Siti Aisyah;

(2) subhana dzi al-jabaruth wa al-malakut wa al-kibriya’ wa al-‘azamah (Maha Suci Tuhan [Aku akui kesucian Tuhan] yang mempunyai kekerasan, kekuasaan, kebesaran, dan keagungan), berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dan an-Nasa’i dari Auf bin Malik; dan

(3) subhanaka Allahumma rabbana wa bihamdika Allahumma igfirli (Maha Suci Engkau, wahai Allah, wahai Tuhan kami, dan dengan memuji Engkau aku akui kesucian­Mu. Wahai Allah ampunilah segala dosaku), berdasarkan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dan Ahmad bin Hanbal dari Aisyah.

Kadar atau banyaknya bacaan tasbih dalam rukuk atau sujud itu dijelaskan oleh hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari Anas bin Malik. Anas berkata, “Sesudah Rasulullah SAW, saya tidak pernah salat di belakang siapa-siapa yang salatnya lebih menyerupai salat Rasulullah SAW daripada anak muda ini, yakni Umar bin Abdul Aziz, karena kami hitung di dalam rukuknya kira-kira sepuluh kali tasbih dan di dalam sujudnya kira-kira sepuluh kali tasbih.”

Ada juga yang berpendapat bahwa tasbih dalam rukuk atau sujud itu cukup sekali saja. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmizi dari Huzaifah. Huzaifah berkata, “Saya pernah salat bersama Rasulullah SAW. Pada waktu rukuk Nabi SAW membaca subhana rabbi al-‘azim dan pada waktu sujud membaca subhana rabbi al-a‘la.”

Berdasarkan hadis itu dipahami bahwa Nabi SAW hanya membaca satu kali tasbih saja, baik dalam rukuk maupun dalam sujud. Dalam hadis lain yang diriwayatkan Abu Dawud dari Ibnu Mas‘ud disebutkan: “Apabila salah seorang dari kamu rukuk, maka hendaklah membaca subhana rabbi al-‘azim tiga kali dan itu paling sedikit; kemudian ketika sujud hendaklah membaca subhana rabbi al-a‘la tiga kali dan itu paling sedikit.”

Maka dalam prakteknya, berdasarkan hadis tersebut, sesuai dengan keadaan dan kebiasaan para pelakunya, pembacaan tasbih itu sekurang-kurangnya satu kali, sebanyak-banyaknya sepuluh kali, dan pada lazimnya tiga kali.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hukum membaca tasbih dalam rukuk dan sujud adalah wajib. Namun ada pula yang menganggapnya bukan wajib melainkan mustahabb atau sunah. Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat pembacaan tasbih itu hukumnya sunah. Hasbi ash-Shiddieqy mendukung pendapat ini.

Ahmad bin Hanbal dan sebagian ahli hadis berpendapat bahwa pembacaan tasbih dalam salat hukumnya wajib. Perbedaan pendapat ini muncul karena perbedaan mereka dalam memahami perintah yang ada, baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis Nabi SAW.

Mereka yang mengatakan bahwa hukum membaca tasbih adalah wajib mengemukakan perintah bertasbih pada surah Thaha (20) ayat 130 yang berarti: “… dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya, dan bertasbihlah pada waktu-waktu malam hari dan pada waktu-waktu siang hari …”

Menurut mereka, yang dimaksud dengan tasbih dalam ayat ini adalah salat (sebelum turunnya perintah salat lima waktu). Dalam ayat ini Allah SWT menamakan salat dengan tasbih. Penyebutan salat dengan tasbih mengisyaratkan bahwa tasbih itu adalah rukun salat. Ini berarti bahwa tasbih yang merupakan salah satu rukun dalam salat itu wajib ditunaikan.

Yang demikian ini sama artinya dengan penamaan salat dengan rukuk dan sujud dalam beberapa ayat Al-Qur’an, yang semua menunjukkan bahwa rukuk dan sujud itu wajib hukumnya. Perbuatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang merupakan pengganti dari kata salat hukumnya wajib untuk dikerjakan. Seandainya membaca tasbih itu tidak wajib, tentulah tidak ada artinya Allah SWT menyuruh salat dengan menggunakan suruhan bertasbih.

Di samping itu, mereka juga beralasan dengan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud dari Uqbah bin Amr, Uqbah berkata, “Ketika turun firman Allah fasabbih bismi rabbika al-‘azim (maka bertasbihlah kamu dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar), Rasulullah SAW bersabda, “Jadikanlah tasbih itu dalam rukukmu; dan ketika turun firman Allah sabbih isma rabbika al-a‘la (Tasbihkanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi), Rasulullah SAW bersabda, Jadikanlah tasbih itu dalam sujudmu.”

Nabi SAW memerintahkan supaya membaca tasbih dalam rukuk dan sujud. Perintah Nabi SAW itu menunjukkan bahwa hukum membaca tasbih adalah wajib.

Dalam pada itu, Muhammad Khudari Bek (ulama Mesir yang banyak menulis buku, antara lain dalam bidang fikih) menegaskan penyataan “bertasbihlah di waktu petang dan pagi” dalam arti salat dua rakaat di waktu petang dan pagi, sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW sekeluarga pada masa permulaan Islam sebelum Isra Mikraj.

Jumhur ulama mengemukakan alasan bahwa jika tasbih itu wajib, orang tidak sah salatnya tanpa membaca tasbih itu. Tetapi ternyata Nabi SAW tidak memerintahkan seseorang untuk mengulangi salatnya karena orang tersebut lupa atau tidak tahu membaca tasbih dalam rukuk atau sujudnya itu.

Tasbih bukan hanya diucapkan di dalam salat, tetapi juga diucapkan di luar salat. Allah SWT memerintahkan agar bertasbih (mengucapkan tasbih, meyakini kesucian-Nya) sepanjang waktu (QS.33:42).

Keutamaan membaca tasbih ini amat banyak, antara lain seperti yang ditunjukkan Rasulullah SAW melalui sabdanya yang diriwayatkan Ibnu Majah:

“Barangsiapa membaca subhana Allah wa bihamdihi seratus kali dalam sehari, maka akan dihapus dosa-dosanya sekali pun sebanyak buih di laut”; “Ada dua ucapan yang ringan atau mudah diucapkan tetapi berat dalam timbangan dan dicintai Allah yang Maha Pemurah, yaitu subhana Allah wa bihamdihi dan subhana Allah al-‘azim”; dan “Bacaan yang paling dicintai Allah SWT ada empat, yang tidak salah engkau memulai dari mana saja, yaitu: subhana Allah, Alhamdu li Allah, La ilaha illa Allah, dan Allahu Akbar.”

Daftar Pustaka

Abu Dawud. Sunan Abi Dawud. t.tp.: Dar Ihya’ as-Sunnah an-Nabawiyyah, t.t.
Hamidi, Mu’ammal. Doa dan Zikir Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.
Hanbal, Ahmad bin. Musnad al-Imam Ahmad ibn hanbal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Hassan, A. Pengajaran Salat. Bandung: CV. Diponegoro, 1990.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.
an‑Nasa’i, Imam. Sunan an‑Nasa’i. Beirut: Dar al‑Fikr, t.t.
Muslim, Imam. Sahih Muslim. Bandung: Dahlan, t.t.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Kahlani. Subul as-Salam. Bandung: Dahlan, t.t.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Kuliah Ibadah. Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
_________. Pedoman Dzikir dan Doa. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
_________. Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
at-Tirmizi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah. Sunan at-Tirmidzi. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.

Oman Fathurrahman