Tasawuf

(Ar.: Tasawwuf)

Tasawuf merupakan cabang ilmu yang menekankan dimensi rohani: roh daripada materi, akhirat daripada dunia fana, dan batin daripada lahir. Nilai spiritual, seperti keikhlasan ibadah dan kerinduan kepada Allah SWT, merupakan tujuan pokok tasawuf. Para sufi berzuhud, menerima keputusan Allah SWT dengan hati lapang, dan berzikir hingga mencapai kesatuan wujud.

Para ahli masih memperselisihkan arti kata “tasawuf” secara etimologis, karena mereka menganut pandangan yang berbeda-beda mengenai asal-usul kata itu.

Asal-Usul Kata Tasawuf. Menurut pendapat para ahli, ada beberapa asal-usul kata “tasawuf”, antara lain sebagai berikut.

(1) Tasawuf berasal dari kata saff yang berarti “barisan dalam salat berjemaah”. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih saf terdepan dalam salat berjemaah. Di samping alasan itu mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT.

(2) Tasawuf berasal dari kata saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Kata ini diambil karena banyak orang sufi tampak memakai pakaian berbulu dan hidup dalam kegersangan fisik, tetapi memiliki kesuburan batin.

(3) Tasawuf berasal dari kata suffah yang berarti “pelana yang digunakan para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi di Madinah”.

Versi lain mengatakan bahwa suffah berarti “kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi SAW dari golongan muhajirin yang miskin”. Penghuni suffah ini disebut ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat teguh dalam pendirian, takwa, warak (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah. Kata suffah diambil karena tabiat mereka mirip dengan sifat ahl as-suffah.

(4) Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti “sesuatu yang terpilih atau terbaik”. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.

(5) Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang berarti “bersih” atau “suci”. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan kepada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.

(6) Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosophi (theo = Tuhan; sophos = hikmat), yang berarti “hikmat ketuhanan”. Mereka merujuk kepada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.

(7) Tasawuf berasal dari kata suf yang berarti “wol atau kain bulu kasar”. Disebut demikian, karena banyak orang sufi suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutra yang biasa dipakai orang kaya.

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi, tokoh fundamentalis tasawuf, mengatakan bahwa kebiasaan memakai kain wol kasar adalah kebiasaan para nabi dan orang saleh, sekaligus sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan.

Definisi Tasawuf. Adapun tentang definisi tasawuf (sufi) itu sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan sejumlah tokoh sufi. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

(1) Bisyr bin Haris mengatakan bahwa sufi ialah orang yang suci hatinya menghadap Allah SWT.

(2) Sahl at-Tustari mengatakan bahwa sufi ialah orang yang bersih dari kekeruhan, penuh dengan renungan, putus hubungan dengan manusia dalam menghadap Allah SWT, dan baginya tiada beda antara harga emas dan pasir.

(3) Al-Junaid al-Baghdadi (w. 298 H/910 M), tokoh sufi modern, mengatakan bahwa tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fitri, menekan sifat basyariyyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegang pada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menepati janji terhadap Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.

(4) Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi mendefinisikan tasawuf sebagai menjabarkan ajaran Al-Qur’an dan sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah.

(5) Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha (melepaskan diri dari perangai tercela), ha (menghiasi diri dengan akhlak terpuji), dan jim (mendekatkan diri kepada Tuhan).

(6) Ma‘ruf al-Karkhi (w. 200 H/816 M) mengatakan bahwa tasawuf ialah mengambil hakikat dan tidak tamak dari apa yang ada dalam genggaman tangan makhluk.

Dari beberapa definisi tersebut, Zakaria al-Ansari, penulis tasawuf (852 H/1448 M–925 H/1519 M) mencoba meringkaskannya, yaitu:

“Tasawuf mengajarkan cara untuk menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya kebahagiaan dan keselamatan abadi.”

Definisi yang dikemukakan al-Ansari oleh sebagian peneliti dipandang sebagai hal yang bertentangan dengan prinsip ajaran tasawuf itu sendiri. Sebab bagi sebagian sufi, tujuan tasawuf itu bukanlah untuk mendapatkan balas jasa berupa kebahagiaan abadi, tetapi pengabdian itu semata-mata ikhlas karena Allah SWT. Yang mereka harapkan hanya ingin bertemu dengan Allah SWT yang selalu dirindukan, seperti terlihat dari berbagai pernyataan Rabi’ah al-Adawiyyah.

Adapun definisi tasawuf menurut peneliti sebagai berikut. Ahmad Amin, peneliti tasawuf, berdasarkan realitas kehidupan para sufi mencoba merumuskan definisi tasawuf sebagai berikut: “Tasawuf ialah bertekun dalam beribadah, berhubungan langsung dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap yang diburu oleh orang banyak (seperti kelezatan dan harta benda), dan menghindarkan diri dari makhluk di dalam khalwat (pengasingan diri) untuk beribadah.”

Rumusan Ahmad Amin ini bertentangan dengan pendapat al-Junaid. Bagi al-Junaid, khalwat itu tidaklah penting dalam tasawuf, justru yang lebih ditekankan agar para sufi dapat memberikan nasihat kepada umat. Oleh sebab itu, Annemarie Schimmel, sejarawan dan dosen tasawuf pada Harvard University, mengatakan bahwa sulit mendefinisikan tasawuf itu secara lengkap, karena kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya. Definisi tersebut hanya dapat menjadi petunjuk awal untuk menyelaminya lebih jauh.

Ciri Umum Tasawuf. Karena sulit memberikan definisi yang lengkap tentang tasawuf, Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani (peneliti tasawuf) tidak merumuskan definisi tasawuf dalam bukunya Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami (Pengantar ke Tasawuf Islam).

Ia hanya memperbincangkan karakteristik tasawuf secara umum. Baginya ada lima ciri umum tasawuf, yaitu: (1) memiliki nilai moral; (2) memenuhi kefanaan (sirna) dalam realitas mutlak; (3) memiliki pengetahuan intuitif langsung; (4) menimbulkan rasa bahagia sebagai karunia Allah SWT dalam diri sufi karena mencapai maqamat (maqam atau beberapa tingkatan); dan (5) menggunakan simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.

Berdasarkan ciri umum tasawuf tersebut, kelihatan ada persamaan antara tasawuf Islam dan mistisisme dalam agama lain. Reynold Alleyne Nicholson, sejarawan dan ahli mistisisme dalam Islam, cenderung mengatakan bahwa tasawuf Islam (sufisme menurut ungkapan bahasa Eropa) tidaklah murni berasal dari ajaran Islam, tetapi banyak mengambil bentuk dari para sufi agama lain.

Selanjutnya, ia memandang bahwa tasawuf Islam dipengaruhi agama Nasrani. Ia menunjuk pada kehidupan sufi yang zuhud, senang pada kesunyian, suka memakai pakaian dari bulu domba, banyak berzikir, dan lain-lain. Hal ini mempunyai kesamaan dengan ajaran Nasrani. Oleh karena itu, Nicholson berpendapat bahwa ajaran tersebut berakar dari ajaran agama Nasrani.

Di sisi lain, Nicholson melihat pula adanya pengaruh Neo-Platonisme dalam ajaran tasawuf. Hal ini disebabkan oleh kontak antara Arab dan Yunani, sehingga ajaran Neo-Platonisme tersebar di dunia Arab. Ajaran tersebut mempengaruhi sebagian pemikir Islam. Dengan demikian, masuklah ajaran emanasi (pancaran), iluminasi (penerangan), gnosis (pengetahuan religius), dan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri) ke dalam tasawuf.

Lebih jauh lagi ia melihat bahwa gnostisisme (gerakan yang menunjukkan sistem pemikiran religi yang terdiri atas unsur kafir, Yahudi, dan Kristen) Nasrani mempengaruhi pula sebagian sufi. Selanjutnya, ia melihat di bagian timur dunia Islam ada agama Buddha yang ajarannya mirip dengan tasawuf Islam. Ia menunjuk bahwa paham Nirwana dalam agama Buddha mirip dengan ajaran fana dalam tasawuf.

Akan tetapi dari hasil penelitian selanjutnya Nicholson ternyata membatalkan pendapatnya yang mengatakan bahwa tasawuf Islam tidaklah murni berasal dari ajaran Islam, tetapi banyak mengambil dari para sufi agama lain. Kemudian ia berpendapat bahwa kehidupan kerohanian sufi mempunyai sumber yang kaya dari Islam itu sendiri.

Menurut pendapatnya, untuk menggambarkan tasawuf itu secara lengkap harus dilihat perkembangan tasawuf itu sendiri. Dengan melihat perkembangannya maka akan jelas kelihatan warna tasawuf itu dalam setiap periode yang dilaluinya. Sebagai contoh, cikal bakal tasawuf itu hanya mengambil bentuk zuhud, tetapi dalam periode berikutnya, tasawuf telah tampak dalam bentuk kajian kerohanian yang mendalam sebagai hasil dari perkembangan pemikiran Islam.

Bagi Harun Nasution, kebenaran teori yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf dipengaruhi unsur asing sulit dibuktikan, karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat dalam Al-Qur’an dan hadis yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Tuhan, antara lain dalam surah al-Baqarah (2) ayat 186 yang berarti: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa kepada-Ku.”

Dalam ayat lain disebutkan pula: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS.2:115).

Disebutkan pula dalam surah Qaf (50) ayat 16 yang berarti, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.”

Dalam hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, “Barangsiapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai daripada pengamalan segala yang Kufardukan atasnya.

Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya. Apabila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Apabila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi”­ (HR. Bukhari).

Tingkatan Perjalanan Tasawuf. Sesuai dengan kodratnya yang terdalam, manusia senantiasa berhasrat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk itu Allah SWT pun berkenan menunjukkan kepadanya jalan yang lurus yang akan ditempuhnya untuk dekat kembali kepada-Nya.

Jalan untuk menempuh itu, menurut ajaran tasawuf, berupa tarekat. Sufi atau calon sufi dengan bimbingan seorang syekh mursyid (guru tarekat) secara berangsur-angsur melalui maqamat dan keadaan mental (ahwal), yang akhirnya sampai dekat kepada Allah SWT sedekat-dekatnya.

Dalam menentukan maqamat itu kitab tasawuf tidak memberikan angka dan susunan yang sama. Oleh karena itu, pendapat beberapa ahli berbeda. Adapun pendapat mereka tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Abu Said bin Abi al-Khair, salah seorang sufi abad ke-4 H, mengatakan bahwa maqam itu ada 40 (al-maqamat al-arba‘in), yaitu: niat, inabat (penyesalan), tobat, iradat (kendali diri), mujahadah (perjuangan batin), muraqabah (mawas diri), sabar, zikir, rida, mukhalafat an-nafs (melawan hawa nafsu), mufakat, taslim (penyerahan), tawakal, zuhud, ibadah, warak (menjauhi yang tak halal), ikhlas, sidik (benar/jujur), al-khauf (takut akan kemurkaan Allah SWT), raja’ (mengharapkan rahmat Allah SWT), fana (peleburan diri), baka (hidup kekal), ‘ilm al-yaqin (ilmu yakin), haqq al-yaqin (benar-benar yakin), makrifat atau mengenal, juhd (usaha keras), wilayat (kewalian), mahabah atau cinta, wijd (ekstase), qurb (kedekatan), tafakur (perenungan), wisal (kontak atau hubungan), kasyf (tersingkapnya hijab atau dinding yang membatasi hati manusia dan Allah SWT), khidmat (pelayanan), tajrid atau tajarrud (pembersihan diri), tafrid (kesendirian), inbisat (perluasan), tahkik (penentuan kebenaran), nihayat (tujuan akhir yang luhur), dan tasawuf.

(2) Abu Bakar al-Kalabazi menyebutkan bahwa maqam ada 10 yaitu: tobat, zuhud, sabar, fakir (miskin), tawaduk (rendah hati), takwa, tawakal, rida, mahabah (cinta), dan makrifat;

(3) Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (sufi dan tokoh fundamentalis tasawuf), dalam bukunya, Kitab al-Luma‘ (Bekal Hidup), menyebutkan hanya 7 maqam, yaitu: tobat, warak, zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan rida.

Di antara perjalanan beberapa maqam yang dilalui, seorang sufi tidak jarang mendapatkan mauhibah (karunia) dari Tuhan yang disebut dengan hal (jamaknya: ahwal). hal adalah keadaan mental yang diperoleh seseorang sufi dari Tuhannya, seperti perasaan senang, sedih, gembira, dan takut yang sifatnya sementara. Adapun maqam dicapai oleh seorang sufi melalui usaha dan sifatnya tahan lama.

Pada dasarnya pendapat para ahli tersebut tidak jauh berbeda. Adanya perbedaan jumlah maqam dan susunannya disebabkan oleh perbedaan interpretasi mereka dalam menerjemahkannya ke dalam ungkapan atau tulisan.

Dari maqamat di atas kelihatan bahwa ujung perjalanan sufi ialah berada sedekat-dekatnya di sisi Allah SWT. Akan tetapi oleh sebagian sufi pada abad ke-3 H, maqamat tersebut ditambahkan dengan istilah “penyatuan diri” dengan Tuhan.

Memang pada mulanya sufi ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan sebagai Maha Kekasihnya. Namun oleh sufi abad ke-3 H tersebut, ketika filsafat telah berkembang di dunia Islam, mereka mulai merancang teori fana, baka, ittihad, dan hulul; kemudian mencapai puncaknya pada wahdatul wujud, yakni pada abad ke-6 H.

Sejak abad ke-3 H kajian tasawuf sudah mulai terpecah menjadi dua aliran. Pertama, aliran sufi Suni yang cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah. Kedua adalah aliran fana dan kajian metafisis, yang disebut tasawuf falsafi. Cikal Bakal Tasawuf. Benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi SAW.

Peristiwa dan Perilaku Hidup Nabi SAW. Sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadan. Di sana Nabi SAW banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi SAW di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.

Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika melakukan isra mikraj. Di dalam isra mikraj itu Nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika mikraj di langit ke tujuh), bahkan telah sampai ke hadirat Ilahi dan sempat berdialog dengan Allah SWT.

Dialog itu terjadi berulang kali, dimulai ketika Nabi SAW menerima perintah dari Allah SWT tentang kewajiban salat lima puluh kali dalam sehari-semalam. Atas usul Nabi Musa AS, Nabi SAW memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan bahwa umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi Muhammad SAW terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikian merupakan benih yang menumbuhkan sufisme di kemudian hari.

Perikehidupan (Sirah) Nabi SAW juga merupakan benih tasawuf, yaitu pribadi Nabi SAW yang sederhana, zuhud, dan tidak pernah terpesona oleh kemewahan dunia. Dalam salah satu doanya ia bermohon: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Pada suatu waktu Nabi SAW datang ke rumah istrinya, Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq. Ternyata di rumahnya tidak ada makanan. Keadaan seperti itu diterimanya dengan sabar, lalu ia menahan laparnya dengan berpuasa (HR. Abu Dawud, at-Tirmizi, dan an-Nasa’i).

Oleh sebab itu, Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888–8 Desember 1956), seorang sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis di dalam bukunya, hayah Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang dilakukan Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara itulah ia memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.

Ibadah Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawuf. Nabi SAW adalah orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah RA disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi SAW mengerjakan salat malam, di dalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya.

Tatkala rukuk dan sujud terdengar suara tangisnya, namun ia tetap terus melakukan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi SAW demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya, “Wahai Junjungan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah, kenapa engkau masih terlalu banyak melakukan salat?” Nabi SAW menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR. Bukhari dan Muslim).

Selain banyak melakukan salat, Nabi SAW banyak berzikir. Ia bersabda, “Sesungguhnya saya meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali” (HR. at-Tabrani). Dalam hadis lain dikatakan bahwa Nabi SAW meminta ampun setiap hari sebanyak seratus kali (HR. Muslim). Selain itu Nabi SAW banyak pula melakukan iktikaf dalam masjid, terutama dalam bulan Ramadan.

Karena sudah tenggelam dalam bermunajat kepada Tuhan, suatu kali ia pernah lupa dengan Aisyah. Hal ini diterangkan dalam hadis yang populer dalam tasawuf. Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa Nabi SAW bertanya, “Siapakah engkau?” Aisyah menjawab, “Saya Aisyah.” Nabi SAW bertanya pula, “Siapa Aisyah?” Aisyah menjawab, “Anak as-Siddiq.” Nabi SAW bertanya lagi, “Siapa as-Siddiq?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar.” Nabi SAW bertanya lagi, “Siapa Abu Bakar?” Selanjutnya Aisyah tidak mau menyahut lagi. Ia sudah tahu bahwa Nabi SAW sedang tenggelam dalam bermunajat kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, hanya tubuh lahirnya yang masih kelihatan di dekat Aisyah, tetapi batinnya sedang berada di dekat Allah SWT.

Akhlak Nabi SAW. Akhlak Nabi SAW merupakan acuan yang tidak ada bandingannya. Akhlaknya bukan hanya dipuji manusia, tetapi juga oleh Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT yang berarti: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS.68:4). Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Nabi SAW, ia menjawab, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an” (HR. Ahmad dan Muslim). Tingkah laku Nabi SAW tercermin dalam kandungan Al-Qur’an sepenuhnya.

Dalam diri Nabi SAW terkumpul sifat utama, yaitu rendah hati, lemah-lembut, jujur, tidak suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun, dan tidak mabuk pujian. Nabi SAW selalu berusaha melupakan hal yang tidak berkenan di hatinya dan tidak pernah berputus asa dalam berusaha.

Oleh sebab itu, Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula bagi para sufi. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah al-Ahzab (33) ayat 21 yang berarti: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Kehidupan Empat Sahabat Nabi SAW. Sumber lain yang diacu para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi SAW yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan, dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.

Kehidupan para sahabat dijadikan acuan para sufi karena para sahabat sebagai murid langsung Nabi SAW dalam segala perbuatan dan ucapan mereka senantiasa mengikuti kehidupan Nabi SAW.

Oleh sebab itu, perilaku kehidupan mereka dapat dikatakan sama dengan perilaku kehidupan Nabi SAW, kecuali dalam hal tertentu yang khusus bagi Nabi SAW. Setidak-tidaknya kehidupan para sahabat paling mirip dengan kehidupan yang dicontohkan Nabi SAW karena mereka menyaksikan langsung apa yang diperbuat dan dituturkan Nabi SAW. Oleh karena itulah Al-Qur’an memuji mereka:

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS.9:100).

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi menuliskan di dalam bukunya, Kitab al-Luma‘, tentang ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabiin) tentang kehidupan para sahabat: “Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka sukai daripada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya kepada rezeki Allah.”

Adapun kehidupan keempat sahabat Nabi SAW yang dijadikan panutan oleh para sufi secara terperinci dijelaskan di bawah ini. Pertama ialah Abu Bakar as-Siddiq. Pada mulanya ia adalah seorang saudagar Quraisy yang kaya. Setelah masuk Islam, ia menjadi seorang yang sangat sederhana.

Ketika menghadapi Perang Tabuk, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah SWT. Abu Bakar-lah yang pertama menjawab, “Saya ya Rasulullah.” Akhirnya Abu Bakar memberikan seluruh harta kekayaannya untuk jalan Allah SWT.

Melihat hal demikian, Nabi SAW bertanya kepadanya, ”Apalagi yang tinggal untukmu wahai Abu Bakar?” Ia menjawab, “Cukup bagiku Allah dan Rasul-Nya.” Diriwayatkan bahwa selama 6 hari dalam seminggu Abu Bakar selalu dalam keadaan lapar. Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi ke masjid.

Di sana Nabi SAW bertemu dengan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kemudian ia bertanya, “Kenapa anda berdua sudah ada di masjid?” Kedua sahabat itu menjawab, “Karena menghibur lapar.”

Diceritakan pula bahwa Abu Bakar hanya memiliki sehelai pakaian. Ia berkata, “Jika seseorang hamba begitu dipesonakan oleh hiasan dunia, Allah membencinya sampai ia meninggalkan hiasan itu.” Oleh karena itu, Abu Bakar memilih takwa sebagai “pakaiannya”. Ia menghiasi dirinya dengan sifat rendah hati, santun, sabar, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan ibadah dan zikir.

Kedua, Umar bin Khattab yang terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Nabi SAW berkata, “Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan hati Umar.” Ia terkenal dengan kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan, pada suatu ketika setelah menjabat sebagai khalifah, ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.

Diceritakan bahwa Abdullah bin Umar, putra Umar bin Khattab, ketika masih kecil bermain-main dengan anak-anak lain. Semua anak itu mengejek Abdullah karena ia mengenakan pakaian yang penuh dengan tambalan. Hal itu disampaikannya kepada ayahnya yang ketika itu menjabat khalifah.

Umar merasa sangat sedih karena tidak mempunyai uang untuk membeli pakaian anaknya. Oleh sebab itu, ia menulis surat kepada pegawai Baitulmal (Perbendaharaan Negara) meminta dipinjami uang dan pada bulan depan akan dibayar dengan jalan memotong gajinya.

Pegawai Baitulmal menjawab surat itu dengan mengajukan suatu pertanyaan, apakah Umar yakin umurnya akan sampai bulan depan. Maka dengan diiringi derai air mata, Umar menulis lagi sepucuk surat kepada pegawai Baitulmal bahwa ia tidak jadi meminjam uang karena tidak yakin umurnya sampai bulan yang akan datang.

Disebutkan dalam buku tasawuf dan biografinya, Umar menghabiskan malamnya untuk beribadah. Hal demikian dilakukannya untuk mengimbangi waktu siangnya yang banyak tersita untuk mengurus kepentingan umat. Ia merasa bahwa pada waktu malamlah ia mempunyai kesempatan yang luas untuk menghadapkan hati dan wajahnya kepada Allah SWT.

Ketiga, Usman bin Affan yang menjadi teladan para sufi dalam banyak hal. Usman adalah seorang yang zuhud, tawaduk, banyak mengingat Allah SWT, banyak membaca ayat Allah SWT, dan memiliki akhlak yang terpuji. Diriwayatkan, ketika menghadapi Perang Tabuk, sementara kaum muslimin sedang menghadapi paceklik, Usman memberikan bantuan yang besar berupa kendaraan dan perbekalan tentara.

Diriwayatkan pula, Usman telah membeli sebuah telaga milik seorang Yahudi untuk kaum muslimin. Hal ini dilakukan karena air dari telaga tersebut tidak boleh diambil kaum muslimin.

Di masa pemerintahan Abu Bakar terjadi kemarau panjang. Banyak rakyat mengadu kepada khalifah dengan menerangkan kesulitan hidup mereka. Seandainya rakyat tidak segera dibantu, kelaparan akan banyak merenggut nyawa. Pada saat paceklik inilah Usman menyumbangkan bahan makanan sebanyak seribu ekor unta.

Tentang ibadahnya, diriwayatkan bahwa Usman terbunuh ketika sedang membaca Al-Qur’an. Tebasan pedang para pemberontak mengenainya ketika sedang membaca surah al-Baqarah (2) ayat 137 yang berarti: “…Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Ketika itu ia tidak sedikit pun beranjak dari tempatnya, bahkan tidak mengizinkan orang mendekatinya. Ketika ia rebah berlumuran darah, mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an itu masih terpegang di tangannya.

Keempat, Ali bin Abi Thalib yang tidak kurang pula keteladanannya dalam dunia kerohanian. Ia mendapat tempat khusus di kalangan para sufi. Bagi mereka, Ali merupakan guru kerohanian yang utama. Ali mendapat warisan khusus tentang ini dari Nabi SAW. Selain itu, ia juga memiliki ilmu laduni (ilmu dari sisi Allah SWT).

Abu Ali ar-Ruzbari, seorang tokoh sufi, mengatakan bahwa Ali dianugerahi ilmu laduni. Ilmu itu, sebelumnya, secara khusus diberikan Allah SWT kepada Nabi Khidir AS, seperti firman-Nya yang berarti: “… dan yang telah Kami ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami” (QS.18:65).

Kezuhudan dan kerendahan hati Ali terlihat pada kehidupannya yang sederhana. Ia tidak malu memakai pakaian yang bertambal, bahkan ia sendiri yang menambal pakaiannya yang robek. Suatu waktu ia pernah menjinjing daging di pasar, lalu orang menyapanya, “Apakah Tuan tidak malu membawa daging itu ya Amirulmukminin (Khalifah)?” Kemudian dia menjawab, “Yang saya bawa ini adalah barang halal, kenapa saya harus malu?”

Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi berkomentar tentang Ali dan berkata, “Di antara para sahabat Rasulullah SAW Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib memiliki keistimewaan tersendiri dengan pengertiannya yang agung, isyaratnya yang halus, kata-katanya yang unik, uraian dan ungkapannya tentang tauhid, makrifat, iman, ilmu, hal yang luhur, dan sebagainya yang menjadi pegangan serta teladan para sufi.”

Kehidupan Para Ahl as-suffah. Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para Ahl as-suffah. Mereka ini tinggal di Masjid Nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah, dan senantiasa mendekati diri kepada Allah SWT.

Ahl as-suffah itu mencakup antara lain Abu Hurairah, Abu Zarr al-Giffari, Salman al-Farisi, Mu‘az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas‘ud, Abdullah bin Abbas, dan Huzaifah bin Yaman. Abu Nu‘aim al-Isfahani, penulis tasawuf (w. 430 H/1038 M), menggambarkan sifat Ahl as-suffah di dalam bukunya hilyat al-Aulia’ (Permata Para Wali) sebagai berikut:

“Mereka adalah kelompok yang terjaga dari kecenderungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban dan menjadi panutan kaum miskin yang menjauhi keduniaan. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Bahkan pekerjaan dagang ataupun peristiwa yang berlangsung di sekitar mereka tidaklah melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kemiskinan material dan mereka tidak digembirakan kecuali oleh sesuatu yang mereka tuju.”

Di antara para Ahl as-suffah itu ada yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Hal ini memang diwariskan Rasulullah SAW kepada mereka, seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Nabi SAW tentang ciri orang munafik.

Jika ia berbicara tentang orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendengarnya dan ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi SAW. Umar bin Khattab pernah tercengang mendengar uraian Huzaifah tentang ciri orang munafik.

Adapun Abu Zarr al-Giffari adalah seorang Ahl as-suffah termasyhur yang bersifat sosial. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Zarr tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi. Apabila memperoleh sesuatu berupa materi, ia membagibagikan materi tersebut untuk fakir miskin.

Kehidupan Para Tabiin. Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke-1 dan ke-2 H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok Bani Umayah, Syiah, Khawarij, dan Murji’ah.

Pada masa kekuasaan Bani Umayah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah Bani Umayah secara bebas berbuat kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.

Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu Tawwabun (kaum Tawabin).

Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawabin itu dipimpin Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada 68 H/688 M.

Di samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.

Ketika Bani Umayah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana. Mu‘awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin menjauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta para sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H/680 M–64 H/683 M), dikenal sebagai khalifah yang tidak mempedulikan ajaran agama.

Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud, sederhana, saleh, dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Salah satu dari para penyeru tersebut ialah Abu Zarr al-Giffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.

Dari perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid (jamak: zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, mereka disebut ‘abid (jamak: ‘abidin atau ‘ubbad), atau nasik (jamak: nussak).

Tokoh tabiin kelas pertama yang muncul di Madinah ialah Sa‘id bin Musayyab (15 H/637 M–94 H/713 M). Ia mendapat pendidikan dari mertuanya, Abu Hurairah. Pada dirinya terkumpul kealiman dalam bidang hadis dan fikih di samping juga dalam bidang ibadah, kezuhudan, dan akhlak mulia. Selanjutnya muncul Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab, seorang tabiin yang hidup zuhud.

Diriwayatkan (berdasarkan ucapan tabiin) suatu kali Sulaiman bin Abdul Malik masuk ke Masjidilharam. Di dalam masjid ia melihat Salim dan menegurnya, “Mintalah kepadaku segala kebutuhanmu.” Salim menjawab, “Demi Allah, dalam Baitullah ini aku tidak meminta kepada siapa pun kecuali kepada Allah.”

Di kota Basrah termasyhur pula nama al-Hasan al-Basri (Madinah, 642–Basrah, 729). Ia dibesarkan dalam asuhan Ali bin Abi Thalib dan banyak belajar tentang ilmu kerohanian darinya dan dari Huzaifah bin Yaman. al-Hasan al-Basri termasyhur dengan kezuhudannya yang berlandaskan khauf (takut kepada kemurkaan Allah SWT) dan raja’ (mengharapkan rahmat Allah SWT).

Yang dimaksud dengan khauf ialah takut terjerumus pada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari Allah SWT. Khauf harus diiringi dengan raja’, yakni senantiasa mengharap karunia-Nya. Oleh sebab itu, al-Basri mengatakan, “Jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan.”

Tokoh zuhud Basrah lainnya ialah Malik bin Dinar (w. 171 H/788 M). Ia adalah putra seorang budak berkebangsaan Persia (Iran) dari Sijistan dan menjadi murid al-Hasan al-Basri. Tentang kezuhudan Malik bin Dinar diceritakan oleh asy-Sya‘rani bahwa ia makan dari hasil kerja mengambil pelepah kurma dan di rumahnya tidak ada apa-apa kecuali mushaf (kumpulan lembaran) Al-Qur’an, kendi, dan tikar.

Diceritakan pula bahwa ia pernah berkata, “Seandainya seseorang mempelajari ilmu untuk diamalkan, ilmunya akan berkembang, tetapi kalau ia mencari ilmu bukan untuk diamalkan, ia akan bertambah keji, sombong, dan merendahkan kaum awam.”

Para peneliti tasawuf, antara lain at-Taftazani, menyebutkan bahwa corak yang menonjol dari para tokoh kerohanian di Basrah ialah kezuhudan dan rasa takut yang luar biasa terhadap kemurkaan Allah SWT. Rasa takut tersebut ternyata menimbulkan minat untuk lebih banyak beribadah dan menjauhi kelezatan duniawi.

Tokoh tabiin di Kufah, antara lain Sufyan as-Sauri (97 H/715 M–161 H/778 M), terkenal dengan kealimannya dalam bidang hadis dan fikih. Dalam bidang hadis ia mendapat gelar amir al-mukminin fi al-hadits (khalifah hadis), sedangkan dalam fikih ia telah mencapai derajat mujtahid mutlak dan mazhabnya pernah berkembang selama 2 abad. Dalam bidang kerohanian ia termasyhur zuhud, warak, banyak beribadah, dan sanggup menentang penguasa yang dipandangnya zalim.

Tokoh zuhud Kufah lainnya meliputi antara lain Rabi bin Khaisam, Sa’id bin Jubair, Tawus bin Kaisan al-Yamani, Sufyan bin Uyainah, Jabir bin Hayyan, dan Abu Hasyim. Umumnya mereka mempunyai ketekunan yang istimewa dalam beribadah.

Dalam salah satu riwayat dari al-Ghazali dikatakan bahwa di antara mereka ada yang sanggup melakukan qiyam al-lail (salat malam) sepanjang malam. Pada masa al-Hasan al-Basri dan tokoh kezuhudan pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah ini yang menjadi dasar zuhud ialah khauf dan raja’’.

Masa Peralihan dari Zuhud ke Tasawuf. Pada akhir abad ke-2 Hijriah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada masa ini juga muncul analisis singkat tentang kesufian. Meskipun demikian, menurut Nicholson, membedakan antara kezuhudan dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian pada masa ini adalah orang zuhud. Oleh sebab itu, menurut at-Taftazani, mereka lebih layak dinamai zahid daripada sufi.

Di antara tokoh kerohanian pada akhir abad ke-2 Hijriah yang agak condong pada kajian tasawuf ialah Ibrahim bin Adham (w. 161 H/778 M) di Khurasan. Ia seorang putra raja di Balkh (Afghanistan), tetapi tidak terpesona dengan kemewahan dan kekuasaan duniawi. Akhirnya, ditinggalkannya kerajaan ayahnya dan berkelana dengan pakaian wol kasar di padang pasir. Lalu ia menjadi tukang kebun di Syam (Suriah).

Suatu kali ia ditanya, “Mengapa anda menjauhi orang banyak?” Ia menjawab, “Kupegang teguh agama di dadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku menyangka aku seorang penggembala atau orang gila. Hal itu kulakukan dengan harapan bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan menjaga keimananku, sehingga aku selamat sampai di pintu gerbang kematian.”

Tokoh lain pada masa ini ialah Imam Fudail bin Iyad (w. 187 H/803 M). Ia berasal dari Khurasan dan meninggal di Mekah. Pada mulanya ia seorang perampok, kemudian berubah menjadi seorang zahid yang taat. Dalam kajiannya, ia menekankan perlunya pembinaan batin daripada amal lahir. Kemudian muncul pula Daud at-Ta’i (w. 165 H/782 M), seorang zahid dan guru dari Ma‘ruf al-Karkhi. Muridnya kemudian mengembangkan teori makrifat.

Warna kezuhudan lebih tampak lagi pada Rabi’ah al-Adawiyah (95 H/713 M–185 H/801 M), seorang anak keluarga miskin yang hidup sebagai hamba sahaya, kemudian menjalani hidup dalam kezuhudan. Hari-harinya dihabiskan di atas tikar sajadah. Yang mendorong Rabi’ah berbuat demikian ialah rasa cinta (mahabah)-nya kepada Tuhan, sehingga tidak tersisa lagi waktu dan ruang hatinya selain untuk Allah SWT.

Cinta kepada Allah SWT membuatnya meninggalkan segalanya dan cinta itu pula yang mendorongnya untuk beribadah sebanyak-banyaknya agar dapat bertemu dengan Allah SWT yang dicintainya.

Kajian Tasawuf pada Abad ke-3 dan ke-4 Hijriah. Dari cara hidup zuhud pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah, dimulailah kajian kesufian pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah. Dalam kajian tersebut terdapat dua kecenderungan para tokoh: pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan sunah (tasawuf Suni); dan kedua, cenderung banyak berbaur pada kajian tasawuf filsafat, khususnya kajian filsafat metafisika.

Salah satu dari tokoh kelompok pertama adalah Haris al-Muhasibi (Basrah, 165 H/782 M–Baghdad, 243 H/858 M). Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri (muhasabah). Pembicaraannya yang lebih terperinci tentang itu tertuang dalam karyanya ar-Ri‘ayat li huquq Allah (Menjaga Hak Allah) yang banyak mempengaruhi al-Ghazali dalam menyusun karyanya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din (Menghidupkan Ilmu Agama).

Di samping karya tersebut, al-Muhasibi juga menulis Kitab al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Dalam bukunya at-Tawahhum, al-Muhasibi menyuguhkan kedahsyatan maut dan hari pembalasan. Ia menulis kehalusan dan kemurnian cinta ketuhanan secara artistik di dalam Fasl fi al-Mahabbah (Penjelasan tentang Konsep Cinta).

Tokoh lainnya ialah Sirri as-Saqati, Abu Ali ar-Ruzbari, dan Abu Zaid al-Adami. Di samping itu terdapat pula Abu Sa’id al-Kharraz yang banyak menumpahkan kajiannya pada maqam dan hal, Sahl at-Tustari yang terkenal dengan kekhusyukannya dalam beribadah serta disiplin diri, dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 289 H/902 M) yang paling populer dan mempunyai analisis yang dalam tentang tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi Suni.

Baginya memperdalam pengenalan kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Al-Junaid mewariskan ilmunya itu kepada muridnya. Di antara muridnya yang masyhur ialah Abu Bakar asy-Syibli.

Dalam lingkungan aliran pertama ini muncul tiga orang penulis teori tasawuf yang bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini:

(1) Abu Nasr as-Sarraj at-Tusi (w. 378 H/989 M), seorang penulis kitab besar dan fundamentalis dalam tasawuf berjudul Kitab al-Luma‘;

(2) Abu Thalib al-Makki (w. 386 H/996 M), yang membuktikan pula keabsahan doktrin dan praktek sufi di dalam karyanya, Qut al-Qulub; dan

(3) Abu Bakar al-Kalabazi, penulis buku kecil at-Ta‘arruf li Madzhab ahl at-Tasawwuf (Perkenalan pada Aliran Ahli Tasawuf). Ketiga penulis tersebut telah memperkenalkan doktrin dan praktek tasawuf yang muncul pada abad ke-4 Hijriah dan sebelumnya.

Adapun dalam lingkungan aliran yang kedua, di kalangan sufi filsafat, terdapat pula Zunun al-Misri (180 H/797 M–246 H/861 M). Ia adalah seorang sufi yang juga ahli kimia, mengetahui tulisan hieroglif Mesir Kuno, dan akrab dengan pengetahuan hermetis (kedap udara). Dalam buku biografi para sufi, ia sering disebut tokoh legendaris. Dalam tasawuf ia dikenal sebagai Bapak Teori Makrifat. Menurutnya, pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan, yaitu:

(1) pengetahuan awam, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat;

(2) pengetahuan ulama, yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan alat logika dan akal; dan

(3) pengetahuan sufi (‘arif), yaitu pengetahuan tentang Tuhan dengan hati sanubari.

Pengetahuan sufi ini disebut juga makrifat, yakni kemampuan hati sanubari untuk melihat Tuhan. Kemampuan itu sendiri berasal dari Tuhan pula. Orang yang telah mencapai pengetahuan ini disebut ‘arif.

Tokoh lain yang paling berani dari kelompok tasawuf filsafat adalah Abu Yazid al-Bustami (w. 260 H/874 M), yang secara terus-terang mengungkapkan as-sakr (mabuk ketuhanan), fana dan baka (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), dan ittihad (bersatu dengan Tuhan).

Bagi al-Bustami, seorang sufi yang sudah begitu dekat dengan Tuhan akan lebur dan bersatu dengan-Nya. Ketika itu yang diucapkan bukan lagi perkataannya sendiri, melainkan perkataan Tuhan. Dalam keadaan demikian Abu Yazid mengucapkan kata-kata ganjilnya: “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku.” Ucapan demikian disebut syathahat (tunggalnya: syathah), yaitu ucapan sufi ketika ia dalam ekstase (mabuk ketuhanan).

Puncak tasawuf filsafat abad ke-3 dan ke-4 H ini terletak pada Husain bin Mansur al-Hallaj (244 H/859 M–309 H/922 M). Ia merupakan tokoh yang paling kontroversial dalam sejarah tasawuf dan akhirnya menemui ajalnya di tiang gantungan.

Teori tasawuf yang dikembangkan al-Hallaj ialah al-hulul, yakni paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk menjadi tempat-Nya, setelah sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.

Bagi al-Hallaj, di dalam diri manusia terdapat sifat kemanusiaan (an-nasut) dan sifat ketuhanan (al-lahut). Apabila manusia telah dapat menghilangkan sifat kemanusiaan dari dirinya dengan jalan fana, akan tinggallah di dalam dirinya sifat ketuhanan. Ketika itulah Tuhan akan masuk ke dalam dirinya yang disebut al-hulul.

Teori lain yang dikemukakan al-Hallaj ialah teori al-haqiqah al-Muhammadiyyah (Nur Muhammad), yaitu pandangan bahwa Muhammad mempunyai dua rupa. Rupa pertama adalah yang kadim, darinyalah muncul alam ini.

Rupa kedua adalah Muhammad sebagai manusia, nabi, dan rasul Allah SWT. Muhammad dalam bentuk pertamalah yang dikatakan “Nur Muhammad”, yang tidak mengalami kematian karena kadimnya. Perbedaan kadimnya dengan kadim zat Allah SWT hanya dari segi sebutan.

Salah satu yang menandai kemapanan tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 H ini ialah munculnya tarekat sufi dalam bentuknya yang paling awal. Tarekat itu dalam prakteknya mempunyai seorang syekh mursyid (pimpinan tarekat) atau pir. Seorang syekh diikuti sejumlah pengikut yang disebut murid, salik atau darwis.

Mereka tinggal dalam sebuah pondok yang disebut ribath atau khanqah. Murid yang telah selesai melakukan latihan akan mendapat ijazah dari syekhnya yang disebut khirqah, yakni berupa jubah atau sobekannya. Murid yang telah mendapat khirqah sudah boleh menjadi khalifah (wakil syekh) pada cabang tarekat tersebut.

Tarekat yang muncul pada masa ini ialah Tarekat al-Mulamatiyah atau al-Qassariyah yang dinisbahkan kepada Hamdun al-Qassar, Tarekat Tayfuriyah yang dinisbahkan kepada Abu Yazid al-Bustami, Tarekat al-Kharraziyah yang dinisbahkan kepada Abu Sa’id al-Kharraz, Tarekat an-Nuriyah yang dinisbahkan kepada Abu al-Husein an-Nuri (w. 295 H/908 M; seorang sufi yang banyak menulis puisi tasawuf), dan Tarekat al-Hallajiyah yang dinisbahkan kepada Mansur al-Hallaj.

Perkembangan Tasawuf pada Abad ke-5 Hijriah. Setelah al-Hallaj meninggal, semakin tenggelamlah tasawuf filsafat, sementara tasawuf Suni semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Abad ke-5 H boleh dikatakan sebagai masa kemunduran tasawuf filsafat dan masa berjayanya tasawuf Suni. Hal ini terutama didukung oleh keunggulan aliran Asy‘ariyah dalam teologi yang sejalan dengan tasawuf Suni.

Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (376 H/987 M–466 H/1074 M), penulis ar-Risalah al-Qusyairiyyah, sebuah kitab tasawuf yang mengangkat kerangka teoretis tasawuf walaupun kajiannya agak umum dan ringkas. Oleh sebab itu, buku tersebut banyak mendapat perhatian ulama tasawuf sesudahnya.

Tokoh lain yang muncul pada masa ini ialah Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396 H/1006 M–481 H/1088 M) dengan karyanya Manazil as-Sa’irin ila Rabb al-‘alamin (Kedudukan Orang yang Mendekatkan Diri kepada Allah SWT).

Dalam karyanya yang ringkas tersebut ia menguraikan maqamat para sufi yang menurutnya mempunyai awal dan akhir. Maqam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali di atas landasan awalnya, yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas sunah. Sebagai penganut Mazhab Hanbali, al-Harawi terkenal sebagai penentang tasawuf filsafat yang dibawa al-Bustami dan al-Hallaj.

Kecemerlangan tasawuf pada abad ke-5 memuncak pada masa al-Ghazali. Karena ilmu dan kedudukannya yang tinggi dalam Islam, ia diberi gelar hujjatul Islam. Al-Ghazali menempuh dua masa kehidupan yang berbeda: pertama, ketika ia dalam kondisi penuh semangat dalam menimba ilmu, mengajar, dan penuh gairah dalam kedudukan sebagai guru besar di Perguruan Nizamiyah yang senantiasa diliputi harta duniawi; dan kedua, masa syakk (ragu) terhadap kebenaran ilmu yang didapatnya dan terhadap kedudukan yang dipangkunya.

Akhirnya keraguan itu terobati dengan pengamalan tasawufnya. Hal ini terjadi di akhir masa pertamanya dan merupakan masa peralihannya. Ia menjalani bagian kedua dari kehidupannya dengan ketenteraman dan keheningan tasawuf. Pada masa inilah ia banyak menghasilkan tulisan tentang tasawuf.

Al-Ghazali mempunyai karya tulis yang begitu banyak dalam bidang tasawuf, antara lain Ihya’ ‘Ulum ad-Din yang paling besar, paling populer, dan mendapat tempat di hati masyarakat serta telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Dalam buku tersebut al-Ghazali dengan ilmunya yang luas dan mendalam mendamaikan teologi, fikih, dan tasawuf. Ia juga melakukan pembahasan secara luas tentang ibadah, perilaku yang menjadi adat kebiasaan dalam kehidupan, dosa yang membinasakan, dan jalan menuju keselamatan berupa maqamat dan ahwal.

Dari telaah atas karya tasawuf al-Ghazali, at-Taftazani kemudian menyimpulkan bahwa al-Ghazali telah berhasil mendeskripsikan secara jelas jalan menuju Allah SWT sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase pencapaian rohaniah dalam bentuk maqamat dan ahwal, yang akhirnya sampai pada fana, tauhid, makrifat, dan sa‘adah (kebahagiaan).

Karya tasawuf yang berbobot lainnya pada abad ke-5 H adalah ath-thabaqat as-sufiyyah (Tingkatan Sufi) oleh Abdur Rahman as-Sulami (w. 412 H/1021 M), hilyah al-Aulia’ oleh Abu Nu‘aim al-Isfahani (w. 430 H/1039 M), dan Kasyf al-Mahjub (Menyingkap Tabir) oleh Ali bin Usman al-Jullabi al-Hujwiri.

Perkembangan Tasawuf Sesudah Abad ke-5 Hijriah. Setelah menghilang di tengah masyarakat, pada awal abad ke-6 H tasawuf filsafat muncul kembali dalam bentuk yang lain. Suhrawardi Maqtul (w. 587 H/1191 M) mencetuskan teori hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi). Pokok teori tersebut ialah bahwa Allah SWT adalah cahaya mutlak yang merupakan sumber segala cahaya. Dari cahaya Allah SWT itu memancar cahaya lain, bahkan segala yang ada di alam ini berasal dari cahaya hakikat-Nya. Apabila jiwa telah terpancar jauh dari sumbernya, ia ingin kembali kepada cahaya asalnya. Untuk itu lebih dahulu ia harus melalui latihan rohaniah agar bisa terlepas dari kungkungan kefanaan duniawi dan dapat berenang dalam samudera cahaya menuju cahaya yang hakiki.

Puncak perkembangan tasawuf pada abad ke-6 dan ke-7 H terletak pada Ibnu Arabi dengan teori tasawuf filsafatnya (wahdatul wujud), yang memandang bahwa wujud mutlak dan hakiki itu adalah Allah SWT, sedangkan wujud ka’inat (alam) ini hanyalah wujud majazi (kiasan) yang bergantung pada wujud Tuhan.

Dengan demikian, pada prinsipnya wujud yang sebenarnya adalah satu, yaitu wujud Allah SWT. Fenomena alam yang serba ganda ini hanya merupakan wadah tajali (penampakan lahir diri) Allah SWT. Teori wahdatul wujud ini diuraikan dalam bukunya, Fusus al-hikam dan al-Futuhat al-Makkiyyah.

Sufi lain yang muncul pada abad ke-6 dan ke-7 ini umumnya mempunyai pandangan yang mirip dengan konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi. Di antara mereka ialah Ibnu Sab’in (614 H/1217 M–669 H/1271 M) dengan karyanya Budd al-‘arif, Ibnu al-Farid (579 H/1183 M–632 H/1235 M) dengan karyanya berupa kumpulan puisi sufi berjudul at-Taiyah, dan Jalaludin ar-Rumi (604 H/1208 M–672 H/1274 M) dengan karyanya al-Masnawi.

Dalam lapangan tasawuf amali muncul pemuka tarekat besar, antara lain Abdul Qadir al-Jailani (470 H/1078 M–561 H/1166 M) di Baghdad, pendiri Tarekat Kadiriyah; Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa‘i (w. 578 H/1182 M) di Irak, pendiri Tarekat Rifaiyah; Abu an-Najib as-Suhrawardi (490 H/1097 M–563 H/1168 M) dan Syihabuddin Abu Hafs Umar bin Abdullah as-Suhrawardi (539 H/1145 M–632 H/1235 M), anak saudaranya, keduanya pendiri Tarekat Suhrawardiyah; Abu Hasan Ali asy-Syazili (w. 686 H/1287 M) di Tunisia, pendiri Tarekat Syaziliyah; dan Sayid Ahmad al-Badawi (596 H/1200 M–675 H/1277 M) di Mesir, pendiri Tarekat Ahmadiyah.

Sesudah abad ke-7 H tidak ada lagi tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam pengetahuan tasawuf. Kebanyakan dari mereka hanya mengembangkan ide para pendahulunya, misalnya Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (w. 832 H/1429 M) dengan bukunya al-Insan al-Kamil (Manusia yang Sempurna). Ia hanya melacak kembali teori wahdatul wujud.

Pada masa ini muncul pula Abdul Wahhab asy-Sya‘rani (898 H/1493 M–973 H/1565 M), seorang sufi yang berpengetahuan luas tetapi tidak kritis. Bukunya penuh dengan takhayul serta ungkapan yang menonjolkan diri sendiri. Kemudian, datang pula Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri al-Hindi (w. 1030 H/1621 M) dengan bukunya yang berjudul at-Tuhfat al-Mursalah (Kiriman Cendera Mata) yang mengembangkan teori wahdatul wujud menjadi ajaran “martabat tujuh”.

Daftar Pustaka

Ali, Yunasril. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. ‘Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
al-Isfahani. Abu Nu‘aim. hilyah al-Auliya’. Cairo: Matba‘ah as-Sa‘adah, 1922.
al-Jili, Abdul Karim bin Ibrahim. al-Insan al-Kamil fi Ma‘rifah al-Awakhir wa al-Awa’il. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959.

Yunasril Ali