Tajarrud atau tajrid secara bahasa berarti “melepaskan”, “menjauhkan”, atau “memisahkan”. Di bidang tasawuf, tajarrud berarti “menjauhkan diri dari kemewahan duniawi dan hidup dalam kesederhanaan serta mengisinya dengan berbagai ibadah, wirid, salat, dan baca Al-Qur’an, sehingga unsur jasmani melemah dan unsur rohani menguat”.
Bagian terpenting dari tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga ada perasaan dan kesadaran berada di “hadirat” Tuhan. Keberadaan di “hadirat” Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Intisari dari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Sejalan dengan tujuan tasawuf tersebut, para sufi berkeyakinan bahwa kebahagiaan yang hakiki dan langgeng bersifat spiritual. Berdasarkan falsafah hidup ini, baik buruknya sikap mental seseorang dinilai berdasarkan pandangannya terhadap kehidupan duniawi. Kaum sufi sependapat bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi hanya sekadar jembatan.
Menurut al-Ghazali, seandainya bukan karena rasa ketergantungan manusia pada kenikmatan dan kemewahan harta benda, pasti tidak akan terjadi kerusakan moral. Kalau bukan karena adanya kompetisi dalam mengejar atribut-atribut kebesaran duniawi, tentu tidak akan ada tindakantindakan manipulasi, fitnah, riya, dan sikap mental sejenisnya. Karena melihat realitas kehidupan pada masanya dan dalam lingkungannya, para sufi ingin meninggalkan kehidupan duniawi demi mencintai Tuhan.
Karena itulah Ma‘ruf al-Karkhi (w. 200 H/816 M), seorang sufi, memberi batasan bahwa tasawuf adalah mengambil hakikat dan putus asa (tidak tamak) terhadap apa yang ada di tangan makhluk; siapa yang tidak benar-benar fakir, maka dia tidak benar-benar bertasawuf.
Sementara itu Abu al-Husein an-Nuri (w. 295 H/908 M), seorang sufi yang banyak menulis puisi-puisi tasawuf, mengatakan bahwa tasawuf adalah meninggalkan sejumlah hal yang menjadi bagian dirinya agar Tuhan menjadi bagiannya. Dalam kesempatan lain ia mengatakan bahwa tasawuf adalah membenci dunia dan mencintai Tuhan.
Dalam perkembangan ajaran tasawuf, istilah tajarrud atau tajrid berarti lepasnya manusia dari ikatan-ikatan duniawi dan selanjutnya, menurut Abu Yazid al-Bustami, bersatu dengan Tuhan (ittihad). Paham ittihad yang dibawanya ini dinamakan“tajrid, fana’ fi at-tauhid”, yakni suatu jalan untuk menemui Tuhan dengan tiada suatu perantara apapun juga.
Abu Yazid al-Bustami mengumpamakan dirinya sebagai seekor ular yang apabila terlepas dari kulitnya baru dapat mengetahui zat yang sebenarnya dan ketika itu ia berkata,
“Maha suci Aku, alangkah agungnya diri-Ku.” Pengertian tajrid, fana’ fi at-tauhid akan semakin jelas dengan ungkapan Abu Yazid dalam syathaht (ucapan sufi ketika dalam keadaan mabuk ketuhanan)-nya ketika ia “mikraj”. Dalam hal ini ia berkata, “Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata, ‘Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau.’ Aku menjawab, ‘Kekasih-Ku, aku tak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata, Telah kami lihat engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau karena ketika itu aku tak ada di sana.’”
Daftar Pustaka
Atjeh, Abubakar. Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf. Solo: Ramadhani, 1984.
Basyuni, Ibrahim. Nasy’ah at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: al-Masyhad al-Husain, t.t.
Hilal, Ibrahim. at-Tasawwuf al-Islami Baina ad-Din wa al-Falsafah. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah. 1979.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
Tim Penyusun Naskah. Pengantar Ilmu Tasawuf. Sumatera Utara: Proyek Binperta IAIN, 1981/1982.
Asmaran As