Taqiyah

(Ar.: taqiyah)

Secara kebahasaan, taqiyah berarti “menjaga diri, berlindung” atau “menjauhkan diri dari setiap jenis bahaya”. Istilah ini digunakan untuk orang yang menyembunyikan agama atau praktek keagamaannya dalam keadaan yang mungkin atau pasti menimbulkan bahaya baginya karena tindakan orang yang menentang agamanya.

Taqiyah adalah sebuah doktrin dalam lingkungan aliran Syiah atau tindakan seorang Syiah untuk menyembunyikan hakikat akidah yang dipercayai atau pendapat yang dijadikan pegangan maupun amal perbuatan yang ingin dilakukan, sehingga tak tampak kepada orang lain yang berbeda pandangan, sekalipun di dalam hatinya terdapat keyakinan bahwa yang dilakukan itu berbeda dengan keyakinannya.

Doktrin ini bermula dalam aliran Imamiyah, kemudian dikembangkan oleh aliran Itsna ‘Asyariyyah (Syiah Dua Belas) dan selanjutnya dipegang sebagai doktrin oleh aliran lainnya di dalam Syiah. Doktrin yang pada awalnya bercorak politik ini secara bertahap dan lambatlaun, terutama di lingkungan aliran Itsna ‘Asyariyyah, mengambil corak keagamaan dan diyakini sebagai bagian dari prinsip keagamaan.

Ada pengulas dari kalangan Suni yang menilai doktrin tersebut sebagai penyimpangan paham keagamaan aliran Syiah yang pada awalnya disebabkan oleh kegagalan beruntun yang dialami pendukung aliran tersebut untuk menempatkan turunan Ali bin Abi Thalib pada pucuk pimpinan kekuasaan, terutama sejak kekuasaan di tangan Daulah Abbasiyah.

Kegagalan tersebut senantiasa menempatkan mereka pada posisi harus memilih satu dari dua pilihan: pemberontakan atau gerakan bawah tanah. Dalam kondisi demikian itulah bibit taqiyah mulai tumbuh di lingkungan mereka untuk melindungi diri dari bahaya kekuasaan yang selalu mengancam dan untuk mempertahankan eksistensi mereka.

Menurut sudut pandang ulasan ini, taqiyah pada mulanya terkait dengan persoalan imamah, yang dalam pendirian kalangan Syiah diyakini sebagai hak Ali bin Abi Thalib yang telah dirampas sejak zaman Abu Bakar as-Siddiq, Daulah Umayah, dan Daulah Abbasiyah.

Menurut ulasan ini, sampai imam kesebelas, sejak Ali bin Abi Thalib hingga Hasan al-Askari, para imam tersebut mengambil sikap dan pendirian kitman, yaitu bahwa Nabi SAW telah memerintahkan kepada imam tersebut agar tidak menampakkan akidah dan pendirian mereka di depan umum.

Ketika sikap dan pendirian yang sama dipraktekkan oleh para pendukung, itulah yang dimaksud dengan taqiyah. Itu pula sebabnya mengapa para imam itu tidak pernah mengumumkan di depan umum sikap dan pendirian mereka, khususnya yang menyangkut hak imamah mereka yang telah dirampas tersebut.

Akan tetapi, menurut ulasan kalangan Suni itu, kenyataan sejarah bahwa kesebelas imam Syiah itu tidak tampil benar-benar sebagai “imam” dalam term kalangan Syiah, bukan karena kitman atau taqiyah; hal itu adalah karena di semua forum dunia Islam di sepanjang sejarah kaum muslimin, tak seorang pun di antara kesebelas imam itu diumumkan dan juga forum-forum tersebut tidak pernah mempermasalahkan soal “imam” menurut term Syiah.

Lagi pula, kesebelas imam itu sesungguhnya adalah orang jujur dan beriktikad baik terhadap Islam, sehingga apabila mereka menunjukkan secara lahiriah sikap loyal dan baik terhadap penguasa yang bukan Syiah di masa mereka, seperti sikap loyal Ali terhadap ketiga orang khalifah pendahulunya, atau sikap Hasan dan Husein sebagai orang yang pertama kali sembahyang di belakang Mu‘awiyah atau imam masjid yang diangkat secara resmi oleh pemerintah Mu‘awiyah, itu bukan karena kitman atau taqiyah, tetapi karena mereka merupakan pribadi-pribadi yang memahami agama Islam secara benar.

Sementara itu, pengulas di kalangan Syiah mengakui bahwa kaum Syiah terkenal akan praktek taqiyah mereka. Dalam keadaan bahaya, mereka menyembunyikan agama mereka dan merahasiakan praktek dan upacara keagamaan khas terhadap lawan mereka.

Taqiyah juga didasarkan atas firman Allah SWT, seperti tersebut pada surah Ali ‘Imran (3) ayat 28 dan surah an-Nahl (16) ayat 106. Pada ayat pertama tersebut terdapat kata tattaqu dan tuqatan, yang keduanya berasal dari akar kata yang sama dengan taqiyah.

Ayat kedua tersebut, menurut sumber Suni maupun Syiah, diturunkan dalam konteks kasus Ammar (sahabat) yang memutuskan berpura-pura meninggalkan Islam dan menerima penyembahan berhala akibat tekanan dan paksaan kaum kafir Mekah untuk menghindari siksaan dan kematian sebagai yang dialami kedua orangtuanya yang tetap menunjukkan keimanannya kepada Islam.

Setelah dibebaskan, dengan diam-diam Ammar hijrah ke Madinah dan di kota tersebut ia dengan penyesalan melaporkan perihal sikapnya tersebut kepada Nabi SAW. Nabi SAW menanggapi bahwa kewajiban Ammar ialah apa yang telah ia lakukan. Menurut sudut pandang ulasan ini, taqiyah, di samping memiliki landasan naqli, juga hanya dihadapkan kepada suatu kondisi yang sungguh-sungguh mengancam keselamatan yang bersangkutan.

Menurut sumber lain, taqiyah sebagai suatu konsep bukan asli dari kalangan Syiah, sebab praktek taqiyah sudah berlangsung jauh sebelum dipraktekkan orang Syiah. Masyarakat Yahudi di wilayah Kekaisaran Roma memasuki masa sulit dalam mempertahankan agamanya semenjak Kaisar Constantine Agung (311–337) menyatakan diri memeluk agama Kristen.

Ia adalah kaisar Roma yang pertama memeluk agama tersebut, dan mengumumkannya sebagai agama resmi di dalam wilayah Kekaisaran Roma sampai ke Britania. Kaisar Phocas dan Heraclius yang semasa dengan Nabi Muhammad SAW berusaha membasmi agama Yahudi, dan jika mungkin, melenyapkan eksistensi kebangsaannya.

Kebengisan demi kebengisan yang memaksa terjadinya tukar agama dan pembaptisan atas orang Yahudi pun berlangsung. Meskipun demikian, orang Kristen sendiri tetap merasakan kenyataan bahwa kebanyakan mereka yang telah bertukar agama itu masih tetap menganut agama Yahudi di dalam hati mereka.

Ini terbukti kemudian pada sambutan antusias yang diberikan orang Yahudi terhadap penaklukan Kekaisaran Roma oleh kekuasaan Islam, dan selanjutnya orang Yahudi benar-benar masuk dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan kekuasaan baru tersebut.

Daftar Pustaka

Fachruddin, Fuad Mohd. Syi’ah: Suatu Pengamatan Kritikal. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1990.
an‑Namr, Abdul Mun’im. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. t.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.
al-Qazwini, Amir Muhammad al-Kazimi. asy-Syi‘ah fi ‘Aqa’idihim wa Ahkamihim. Beirut: Dar az-Zahra’, 1977.
as-Subhi, Ahmad Mahmud. Fi ‘Ilm al-Kalam. Cairo: Mu’assasah at-Tahtafa al-Jamiyah, 1982.
_______. Nazariyyah Imamah lada asy-Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
Thabathaba’i, Muhammad Husin. al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-‘Alami li at-Tiba‘ah, 1983.
___________. Shiite Islam, atau Islam Syiah: Asal Usul dan Perkembangannya, terj. Jakarta: Grafiti Press, 1989.
al-Wardani, Ali. asy-Syi‘ah fi Mir: Min al-Imam ‘Ali hatta al-Imam al-Khumaini. Cairo: Maktabah Madbuli a-Agir, 1993.

Moch. Qasim Mathar