Kata taqarrub berasal dari kata qaruba yang berarti “dekat”. Dalam tasawuf, taqarrub berarti “mendekatkan diri kepada Allah SWT”. Ajaran ini bertujuan agar manusia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, yakni dengan berbuat baik dengan jalan mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.
Hal mendekatkan diri kepada Allah SWT sebenarnya di dasarkan pada ajaran Rasulullah SAW dalam sebuah hadis qudsi yang mengatakan:
“Seandainya hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya satu hasta. Seandainya hamba-Ku mendekat kepada-Ku satu hasta, maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa. Dan jika hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT itu sangat dekat dengan hamba-Nya. Hal ini antara lain dijelaskan melalui firman Allah SWT yang berarti:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS.2:186)
Oleh kaum sufi, kata da‘a dalam Al-Qur’an itu diartikan berseru, yaitu Allah SWT mengabulkan seruan orang yang ingin dekat kepadaNya. Adapun firman Allah SWT yang lebih tegas yang mengatakan betapa dekatnya manusia dengan Tuhan adalah surah Qaf (50) ayat 16 yang berarti:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.”
Tasawuf atau sufisme mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan atau usaha mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Tuhan, sehingga seseorang merasa benar-benar berada pada ‘hadirat Tuhan’. Keberadaan pada ‘hadirat Tuhan’ ini merupakan puncak kenikmatan seorang sufi.
Namun di kalangan ahli sufi mengenai konsep ‘hadirat Tuhan’ ini masih terdapat perbedaan pendapat. Hal ini berpangkal dari perbedaan mereka tentang konsep hakikat manusia. Bagi sufi yang berpendapat bahwa manusia diciptakan dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) berkeyakinan bahwa berada pada ‘hadirat Tuhan’ berarti manusia hanya bisa mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan.
Adapun bagi sufi yang berpendapat bahwa manusia (rohnya) itu berasal dari pancaran Nur Tuhan, berada pada ‘hadirat Tuhan’ artinya manusia dapat kembali bersatu (ittihad) dengan Tuhan.
Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang di bawah bimbingan guru yang mursyid, yakni melalui stasiun yang disebut maqamat. Jalan seseorang untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Tuhan hingga dengan sadar ia benar-benar berada pada ‘hadirat Tuhan’ dipelajari dalam ilmu tasawuf.
Jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tidaklah mudah. Sementara jalan untuk menempuh maqamat itu sulit. Perpindahan dari satu stasion ke stasion lain ditempuh dengan usaha yang berat dalam waktu yang tidak singkat. Jika seseorang menjalani maqamat secara tekun, ia akan merasa amat dekat dengan Tuhan (hal al-qurb/aqarrub). Dalam hubungannya dengan ini, Nabi SAW bersabda,
“Tidak ada cara mendekatkan diri kepadaku yang dilakukan orang-orang yang bertaqarrub, seperti melaksanakan apa yang difardukan kepada mereka. Dan seorang hamba Allah tak henti-hentinya sesudah melakukan apa yang wajib, melakukan apa yang sunah, sehingga ia benar-benar mencintai Aku dan Aku mencintainya. Maka jika Aku telah mencintai dia maka Aku jadi pendengaran dan penglihatan baginya; kemudian ia melihat dan mendengar (dengan kekuatan yang dahsyat) karena pertolongan-Ku” (HR. Bukhari).
Ketaatan seseorang yang luar biasa dalam menjalankan apa yang wajib dan apa yang sunah, berarti ia mencintai Allah SWT dan Allah SWT pun mencintainya dan bahkan membantu meningkatkan kemampuannya.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1929.
al-Kalabazi, Abu Bakar Muhammad. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tasawwuf. Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyah, 1969.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
al-Qusyairi, Abu al-Qasim Abdul Karim. ar-Risalah al-Qusyairiyyah. Cairo: Muhammad ‘Ali Subaih, 1966.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960.
Asmaran As