Tanzimat

(Ar.: tanzimat)

Tanzimat berarti “mengatur”, “menyusun”, dan “memperbaiki”. Istilah ini menjadi nama suatu gerakan pembaruan di Turki pada abad ke-19. Gerakan Tanzimat ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaru di bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan, dan sebagainya.

Gerakan Tanzimat dimulai ketika Sultan Mahmud II (1785–1839) berhasil menghancurkan Janissary pada 1826. Oleh sebab itu, gerakan pembaruan ini merupakan kelanjutan dari usaha yang dilancarkan Sultan Mahmud II. Kemunculan Tanzimat dilatarbelakangi beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.

(1) Desakan Eropa kepada Kerajaan Usmani (Kerajaan Ottoman) untuk mengayomi warga Eropa yang ada di bawah kekuasaan Usmani Turki atau kaum Zimi.

(2) Diberlakukannya hukum fikih yang menetapkan hukuman mati bagi orang Eropa yang berada di dalam kekuasaan Usmani Turki yang murtad setelah masuk Islam. Hukum fikih seperti ini tidak disukai orang Eropa.

(3) Para tokoh Tanzimat ingin membatasi kekuasaan sultan yang absolut karena mereka telah dipengaruhi oleh Revolusi Perancis ketika belajar di Barat.

Di antara tokoh yang muncul pada masa Tanzimat ini ialah sebagai berikut.

(1) Mustafa Rasyid Pasya (1800–1858). Ia pernah menjadi duta besar Usmani Turki untuk Perancis pada 1834 dan juga di negara-negara lain. Pada 1839 ia menjadi menteri luar negeri, dan kemudian menjadi perdana menteri. Dialah yang menyambut baik gagasan pembaruan yang dilaporkan oleh Mehmet Sadik Rifat Pasya yang pada waktu itu menjadi duta besar di Wina.

(2) Mehmet Sadik Rifat Pasya (1807–1856) yang pada 1834 menjadi pembantu menteri luar negeri. Ia pernah menjadi duta besar di Wina, menteri luar negeri, menteri keuangan, dan ketua dewan Tanzimat. Di antara pemikirannya yang terpenting adalah kemakmuran suatu negara sangat bergantung pada kemakmuran rakyat, kemakmuran rakyat sangat ditentukan adanya rasa aman, sedangkan rasa aman baru dapat diwujudkan dengan menghilangkan sistem pemerintahan yang absolut.

Oleh karena itu, agar semuanya dapat tercapai, diperlukan undang-undang. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa kesewenang-wenangan pemerintah akan menumbuhkan permusuhan di kalangan rakyat. Dalam tulisannya, ia banyak mengemukakan kata-kata halk (rakyat), millet (bangsa), huquq (hak), dan hurriyyat (kemerdekaan).

(3) Mustafa Sami, yang berpendapat bahwa Eropa bisa maju disebabkan perhatiannya yang cukup besar terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, mempunyai toleransi beragama, tidak terputusnya kebudayaan baru dengan kebudayaan lama, dan adanya pendidikan bagi pria dan wanita. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila ingin maju, Turki harus meraih hal tersebut.

(4) Ali Pasya (1815–1871).

(5) Fuad Pasya (1815–1869). Kedua tokoh terakhir adalah murid Mustafa Rasyid Pasya yang memimpin pembaruan Tanzimat pasca Piagam Humayun. Mereka melakukan usaha-usaha antara lain:

(a) mengadakan penyempurnaan hukum pidana, hukum dagang, dan hukum maritim;

(b) mengeluarkan undang-undang yang memberikan hak kepada orang asing untuk memiliki tanah di Kerajaan Usmani (1867);

(c) mendirikan Mahkamah Agung (1867); dan

(d) membuka Sekolah Galatasaray yang mengajarkan pendidikan umum dan bahasa Perancis (1868).

Pada 1839 atas pengaruh pendapat Mehmet Sadik Rifat Pasya, Sultan Abdul Majid (1839–1861) mengeluarkan Hatt-i Syerif Gulhane (Piagam Gulhane) yang berisi penjelasan bahwa Kerajaan Usmani di masa lampau bisa maju karena syariat dan undang-undang dipatuhi.

Sebaliknya, kemunduran Kerajaan Usmani pada masanya disebabkan undang-undang tidak dipatuhi. Oleh sebab itu, perlu diadakan perubahan yang pada pokoknya menjamin ketenteraman hidup, harta, dan kehormatan warga negara. Di samping itu undang-undang harus tetap mengatur masalah perpajakan, wajib militer, dan masalah perdata.

Pada 1856 diumumkan lagi satu piagam baru, yaitu Hatt-i Humayun (Piagam Humayun), yang pada dasarnya lebih banyak berisi pembaruan pengaturan kedudukan orang Eropa yang ada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani.

Piagam ini memperkuat jaminan yang tercantum dalam Piagam Gulhane, di samping anggaran belanja negara, pemasukan modal Eropa, undang-undang perdagangan, penghapusan hukum bunuh terhadap orang murtad, dan masuknya non-Islam ke dalam dewan hukum. Untuk mengurus semua ini dibentuklah Majelis Agung Pembaruan (Majlisi ‘Ali Tanzimat).

Setelah pembaruan yang dilakukan di masa Tanzimat, pembaruan di Turki dilanjutkan Usmani Muda (mulai pertengahan kedua abad ke-19).

Daftar Pustaka

Berkes, Niyasi. The Development of Secularism in Turkey. Montreal: McGill University Press, 1964.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age, 1798–1939. London, Oxford, New York: Oxford University Press, 1962.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Syalabi, Ahmad. Mausu’ah at-Tarikh al-Islami wa al-hadarah al-Islamiyyah. Cairo: an-Nahdah al-Misriyah, 1977.

Syahrin Harahap