Macam ibadah atau berbagai tata cara dan bacaan yang dipergunakan dalam suatu ibadah disebut tanawwu‘ al-’ibadah. Konsep tanawwu‘ al-’ibadah ini dikemukakan oleh Imam Syafi‘i (150 H/767 M–204 H/820 M) ketika ia membahas berbagai hadis yang menyangkut tata cara dan bacaan ibadah tertentu.
Konsep tanawwu‘ al-’ibadah berawal dari beragamnya hadis Rasulullah SAW tentang pelaksanaan dan bacaan dalam ibadah, contohnya doa iftitah (doa pembukaan setelah takbir pertama dalam salat).
Dalam riwayat Ali bin Abi Thalib, Rasulullah SAW menyatakan bahwa doa iftitah adalah “Wajjahtu wajhiya li alladzi fathara as-samawati wa al-ardi…” yang berarti: “Aku hadapkan mukaku kepada pencipta langit dan bumi…”(HR. Muslim). Dalam riwayat Abu Hurairah, bacaan doa iftitah yang dipakai Rasulullah SAW adalah “Allahumma ba‘id baini wa baina khathayaya kama ba‘adta baina al-masyriq wa al-magrib…” yang berarti: “Ya Allah, jauhkanlah antara aku dengan dosa-dosaku, sebagaimana Engkau menjauhkan antara timur dan barat…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kedua hadis di atas sama-sama dituntunkan Rasulullah SAW untuk dibaca setelah takbir pertama (takbiratulihram). Dari segi kualitas, kedua hadis tersebut termasuk hadis sahih dan makbul (dapat diamalkan dan diterima sebagai hujah/landasan hukum). Upaya penarjihan (penguatan salah satu hadis) untuk mengamalkannya sulit dilakukan karena menurut Imam Syafi‘i, upaya tersebut hanya dapat dilakukan kalau ada beberapa hadis yang bertentangan. Adapun dua doa iftitah di atas tidak bertentangan.
Contoh lain dalam bacaan tahiat awal atau akhir dalam salat. Dalam hadis riwayat Abdullah bin Mas‘ud, Rasulullah SAW menyatakan bahwa bacaan tahiat itu adalah “at-Tahiyyatu li Allahi wa as-salawatu wa ath-thayyibatu, as-salamu ‘alaika ayyuha an-Nabi wa rahmatullahi wa barakatuh…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis riwayat lain dari Ibnu Abbas, bacaan tahiat yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW adalah “at-Tahiyyatu al-mubarakatu as-salawat ath-thayyibat li Allahi, as-salamu ‘alaika ayyuha an-Nabi…” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan at-Tirmizi).
Kedua hadis ini adalah hadis sahih dan makbul. Jika Imam Syafi‘i memilih bacaan tahiat yang terdapat dalam hadis kedua, bukan berarti tahiat dalam hadis pertama tidak sah untuk dibaca.
Di samping adanya hadis yang berbeda dalam bacaan suatu ibadah, juga dijumpai hadis yang berbeda dalam tata cara ibadah, contohnya frekuensi mencuci setiap anggota tubuh ketika wudu. Hadis dari Usman bin Affan yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa anggota tubuh ketika wudu, seperti muka, tangan, dan kaki dicuci tiga kali.
Dalam hadis Ibnu Abbas dikatakan cukup satu kali (HR. mayoritas ahli hadis, kecuali Muslim). Kemudian dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dan Bukhari dari Abdullah bin Zaid dikatakan bahwa mencuci anggota tubuh ketika wudu itu masing-masing dua kali. Menurut Imam Syafi‘i, ketiga hadis ini sama-sama sahih dan makbul. Imam Syafi‘i memilih mencuci setiap anggota tubuh ketika wudu sebanyak tiga kali.
Contoh lain adalah persoalan mengangkat kedua tangan ketika iktidal (kembali dari rukuk) dalam salat. Dalam hadis riwayat Bukhari, tidak ada perintah untuk mengangkat tangan (seperti pada takbir pertama salat) ketika iktidal.
Tetapi dalam riwayat Bukhari lainnya bersama Muslim dari Ibnu Umar dikatakan bahwa Nabi SAW mengangkat tangannya sejajar dengan bahu ketika ia memulai salat, ketika takbir untuk rukuk, dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk. Imam Syafi‘i memilih mengangkat tangan ketika kembali dari rukuk.
Menurut Abdul Hamid Hakim (1893–1959, tokoh fikih Indonesia), pemilihan ini hanya atas dasar pertimbangan bahwa hadis pertama hanya diriwayatkan oleh Bukhari, sedangkan hadis kedua diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Menurut Imam Syafi‘i, kedua cara yang dituntunkan hadis di atas boleh dilakukan seseorang dalam salatnya.
Menurut Imam Syafi‘i, jika seseorang ingin mengamalkan cara dan bacaan yang afdal (lebih utama), perlu melihat kualitas suatu hadis, yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
(1) melihat yang lebih banyak sanadnya (para penutur hadis sejak dari sahabat sampai perawi);
(2) melihat riwayat yang lebih banyak menunjukkan tata cara tertentu; dan
(3) melihat sanad yang termasuk ke dalam kelompok silsilah adz-dzahab (dianggap lebih sahih).
Pemilihan salah satu cara atau bacaan dalam hadis yang berbeda hanyalah atas pertimbangan keyakinan seseorang, bukan karena hadis itu lemah sehingga amalannya dianggap tidak sah. Menurut Imam Syafi‘i, bacaan dan tata cara dalam salat bisa saja berbeda asalkan didasarkan pada hadis yang sahih (paling tidak hasan), karena semuanya ini datang dari Rasulullah SAW.
Menurut Abdul Hamid Hakim, dalam memilih suatu bacaan atau tata cara yang akan diamalkan dalam ibadah, seseorang perlu mengetahui alasannya. Paling tidak, ia harus bertanya kepada orang yang tahu dalam masalah tersebut. Prinsip dasar dalam ibadah adalah adanya petunjuk dari Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Menurut Ibnu Taimiyah (661 H/1262 M–728 H/1327 M), seseorang boleh memakai bacaan atau tata cara yang ditunjukkan hadis tersebut tanpa harus menuding orang yang berbeda bacaan atau tata cara salatnya telah berbuat bid’ah.
Menurut asy-Syatibi (w. 790 H/1380 M, ahli usul fikih Mazhab Maliki), suatu perbuatan baru dapat dikatakan bid’ah apabila suatu bacaan atau tata cara dalam suatu ibadah tidak mempunyai landasan hukum sama sekali. Oleh sebab itu, konsep tanawwu‘ al-’ibadah yang dikemukakan Imam Syafi‘i lebih menunjukkan rasa toleran dalam masalah furu‘iyyah (cabang, bukan pokok) yang semuanya mempunyai dasar.
Oleh sebab itu, pernyataan bahwa bacaan dan tata cara ibadah tertentulah yang benar dan yang lainnya salah dalam konsep tanawwu‘ al-’ibadah, dapat dihindari dan tidak perlu muncul.
Daftar Pustaka
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. Subul as-Salam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1960.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1973.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Kuliah Ibadah. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Syahatah, ‘Abdullah Mahmud. Fiqh al-’ibadah. t.tp.: al-Hai‘ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1994.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali Ibnu Muhammad. Nail al-Authar. Mesir: Idarat al-Thabaat al-Muniriyat, t.t.
Nasrun Haroen