Secara kebahasaan, Thalaq berarti “melepaskan ikatan”, “meninggalkan”, dan “memisahkan”. Di zaman Jahiliah istilah talak digunakan untuk memisahkan ikatan suami-istri. Fukaha (ahli fikih) dari berbagai mazhab fikih mengemukakan berbagai definisi talak, namun makna pokoknya tetap pada “pelepasan ikatan nikah”.
Definisi Talak. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan di masa yang akan datang. Yang dimaksud “secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan “di masa yang akan datang” adalah tertundanya pemberlakuan hukum talak tersebut oleh sesuatu hal.
Contoh yang pertama adalah talak ba’in, yaitu talak yang ketiga kalinya. Dalam keadaan seperti ini suami tidak mempunyai hak rujuk (kembali) kepada istrinya sebelum istri tersebut kawin lebih dahulu dengan orang lain. Ketika talak tersebut dinyatakan suami kepada istrinya, maka ketika itu pula hukum dan segala akibat talak berlaku.
Contoh yang kedua adalah talak raj‘i, yaitu talak pertama atau kedua yang dinyatakan suami kepada istri yang telah digaulinya. Dari segi lafal, hukum talak raj‘i telah berlaku, dan melakukan hubungan suami-istri diharamkan bagi mereka.
Sebagai akibat lainnya, hukum talak raj‘i ini baru berlaku secara penuh apabila masa idah (masa menunggu) istri telah habis. Dengan demikian, dalam talak raj‘i suami masih mempunyai hak untuk kembali kepada istrinya dalam masa idah tanpa akad baru, atau setelah habis masa idah dengan akad baru.
Mazhab Syafi‘i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Dengan definisi ini, baik hukum talak ba’in maupun talak raj‘i langsung berlaku ketika pernyataan talak disampaikan oleh suami, dan segala risiko talak tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Di pihak lain Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami-istri.
Dari tiga definisi yang dikemukakan di atas, terjadi perbedaan kecil antara Mazhab Maliki, Hanafi, serta Hanbali di satu pihak dan Mazhab Syafi‘i di pihak lain. Menurut kelompok jumhur (mayoritas) ulama, talak raj’i belum melepaskan hubungan perkawinan secara langsung dan tuntas.
Menurut Mazhab Syafi‘i, talak raj’i telah mengakibatkan berlakunya hukum dan akibat talak secara langsung. Mazhab Hanafi dan Hanbali menganggapnya sebagai rujuk, jika suami melakukan jimak (hubungan suami-istri) dengan istrinya yang telah ditalak raj‘i, karena dalam hal ini suami menunjukkan sikap ingin berbaik kembali dengan istrinya.
Mazhab Maliki juga menganggap tindakan ini sebagai rujuk jika disertai dengan niat. Mazhab Syafi‘i menganggap perbuatan jimak yang dilakukan tersebut tidak sebagai rujuk karena rujuk harus dilakukan dengan perkataan atau pernyataan yang jelas.
Talak dalam Islam merupakan jalan keluar dalam perkawinan yang tidak mungkin lagi dipertahankan. Talak disyariatkan dalam Islam, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an antara lain surah al-Baqarah (2) ayat 230–231 dan 236–237, ath-talaq (65) ayat 1, dan al-Ahzab (33) ayat 49. Masalah talak juga ditemui dalam hadis Nabi SAW, misalnya riwayat Imam Malik mengenai kasus Ibnu Umar yang menalak istrinya dalam keadaan haid.
Nabi SAW menyuruhnya kembali kepada istrinya sampai habis masa haidnya yang kedua. Artinya, setelah suci dari haid pertama, istrinya haid lagi, kemudian suci lagi. Setelah itu, barulah ia menalaknya kalau masih ingin menalaknya juga.
Sehubungan dengan disyariatkannya talak dalam Islam, ulama mencoba mengemukakan analisis mereka. Hubungan suami-istri adalah perjanjian yang kuat dan kokoh. Karena itu, Allah SWT menetapkan tata aturan yang menjamin kelestariannya.
Namun, adakalanya niat untuk membangun keluarga secara harmonis dapat terbentur oleh sikap kemanusiaan kedua belah pihak yang mengakibatkan tidak tercapainya keharmonisan yang dikehendaki Allah SWT tersebut.
Dalam mengatasi persoalan inilah talak disyariatkan dengan tata cara yang telah ditentukan-Nya, karena mempertahankan hubungan perkawinan yang dipenuhi rasa ketidakcocokan antara suami-istri secara berkelanjutan bukan merupakan tujuan suatu perkawinan. Karena itu, Allah SWT memberi hak talak sebanyak tiga kali, dengan harapan pada talak pertama suami-istri dapat saling menyadari kesalahan masing-masing dan berusaha melakukan pendekatan untuk mencapai keharmonisan.
Jika tidak berhasil melakukan pendekatan yang lebih baik, Allah SWT menyediakan talak yang kedua. Diharapkan juga pada talak yang kedua ini kedua belah pihak akan lebih sadar dan dapat memahami karakter dan sifat masing-masing, yang selanjutnya melakukan penyesuaian diri.
Apabila tidak juga berhasil, maka talak ketiga tidak memberi kesempatan untuk rujuk kembali, kecuali sang istri menikah dahulu dengan pria lain secara sempurna dan kemudian mereka bercerai. Setelah keduanya bercerai, suami pertama boleh menikahi kembali istri yang telah ditalaknya tiga kali tersebut.
Talak sebagai jalan keluar dari kemelut rumahtangga yang telah ditentukan Allah SWT mempunyai aturan yang harus diikuti. Dari segi benar atau tidaknya talak yang dijatuhkan, talak dapat dibagi menjadi talak sunni dan talak bid‘i. Talak sunni adalah talak yang dilakukan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam syariat Islam.
Misalnya, menalak istri harus dilakukan secara bertahap (dimulai dengan talak satu, dua, dan tiga) dan dalam keadaan suci (istri tidak sedang haid serta belum digauli). Adapun talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan melalui cara yang tidak diakui syariat Islam, misalnya menjatuhkan talak tiga kali sekaligus, menalak istri yang sedang haid, dan menalak istri dalam keadaan suci tetapi telah digauli terlebih dahulu.
Hukum Talak. Meskipun talak disyariatkan dalam Islam, ulama tetap membahas apakah talak itu pada dasarnya boleh (ibahah) atau tercela (khathr). Rasulullah SAW bersabda, “Pekerjaan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Namun demikian, talak tersebut merupakan tindakan hukum yang termasuk dalam hukum taklifi (pembebanan kewajiban dan larangan). Artinya, hukum talak tersebut bisa wajib, sunah, boleh, makruh, dan haram. Status hukum ini dilihat dari segi kondisi yang menyebabkan talak itu terjadi.
Dalam kitab al-Mugni bi Syarh al-Kabir (buku fikih) dikatakan bahwa talak itu dihukumkan wajib apabila terjadi syikak (pertengkaran yang tidak mungkin diselesaikan) walaupun para penengah dari kedua belah pihak telah berusaha mendamaikannya; dihukumkan makruh apabila dijatuhkan tanpa sebab; dihukumkan haram apabila dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan syarak (hukum Islam); dihukumkan sunah apabila dijatuhkan kepada istri yang tidak patuh pada perintah Allah SWT dan suami; dan dihukumkan boleh apabila ada alasan untuk menjatuhkan talak, seperti pergaulan yang tidak baik.
Mengenai hukum asal talak, ulama berbeda pendapat. Ibnu Taimiyah, Kasani al-Hanafi, dan Ibnu Abidin al-Hanafi mengatakan bahwa hukum asal talak adalah tercela, kecuali jika dibutuhkan atau ada alasan kuat untuk menjatuhkannya. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang mengatakan: “Pekerjaan halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Menurut mereka, perkawinan itu adalah nikmat yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya, yang mengandung kemaslahatan agama dan dunia. Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surah ar-Rum (30) ayat 21 yang berarti: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.”
Dengan demikian, talak merupakan pengingkaran terhadap nikmat Allah SWT karena talak membuat hubungan silaturahmi dan rahmat Allah SWT terputus. Mereka juga mengatakan bahwa talak yang dilakukan tanpa alasan merupakan suatu kezaliman, sedangkan berbuat zalim itu sendiri dilarang syarak.
Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa hukum asal talak adalah boleh. Hal ini didasarkan pada ayat tentang talak, antara lain dalam surah al-Baqarah (2) ayat 236 yang berarti: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya….”
Dan surah ath-talaq (65) ayat 1 yang berarti: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu….”
Di samping itu mereka juga mengemukakan beberapa hadis, antara lain hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW sendiri pernah menalak istrinya, Hafsah binti Umar, tetapi kemudian turun wahyu yang menyuruh Nabi SAW rujuk kembali (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Menurut mereka, Rasulullah SAW tidak mungkin akan melakukan sesuatu yang terlarang. Demikian juga beberapa alasan yang mereka kemukakan tentang perbuatan sahabat dalam masalah talak.
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya secara bid‘i. Menurut jumhur ulama (termasuk imam yang empat) dan ulama Mazhab Zaidiyah, talak yang dilakukan secara bid’i dihukumkan tetap berlaku. Namun suami yang menyatakan talak tersebut berdosa karena dia telah melanggar aturan yang ditentukan syarak.
Alasan yang dikemukakan untuk mendukung pendapat mereka adalah bahwa ayat yang berhubungan dengan talak tidak membedakan talak sunni dan talak bid‘i. Dengan demikian talak bid’i pun termasuk dalam cakupan ayat talak secara umum. Menurut jumhur, dalam kasus Ibnu Umar, perintah Nabi SAW untuk rujuk harus dipahami bahwa talak tersebut telah jatuh.
Adapun Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Hazm, dan segolongan Syiah Imamiyah berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya secara bid’i dihukumkan tidak berlaku karena suami telah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan syarak.
Menurut mereka, petunjuk tentang penjatuhan talak dengan cara yang ditentukan adalah sesuatu yang wajib diikuti. Dengan demikian, segala sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan tersebut tidak dapat dibenarkan dan istri tersebut tidak mempunyai idah. Hal ini didasarkan pada surah ath-talaq (65) ayat 1.
Adapun yang dimaksud dengan “menghadapi idah mereka secara wajar” adalah istri yang ditalak dalam keadaan suci dan belum digauli. Hadis Nabi SAW juga mengatakan: “Setiap amal yang tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka dia tertolak (tidak diterima)” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hanbal).
Di samping itu mereka juga mengemukakan suatu alasan yang berhubungan dengan kasus Ibnu Umar. Dalam satu riwayat dikatakan bahwa istri yang ditalak Ibnu Umar ternyata tidak dalam keadaan haid (HR. Muslim). Karena itu, rujuk yang diperintahkan Nabi SAW adalah rujuk dari suatu talak yang wajar, bukan talak bid‘i.
Ahmad Gandur, Abdurrahman as-Sabuni, dan Imam Abu Zahrah (ulama abad ke-14 H), sependapat dengan pendapat terakhir karena hal tersebut lebih sesuai dengan kaidah umum yang berlaku dalam Islam, sehingga hikmah talak dapat dicapai.
Hak Talak. Talak adalah hak yang berada sepenuhnya di tangan suami. Namun demikian, terhadap suami yang telah keluar dari tabiatnya, Islam juga memberi hak bagi istri untuk menuntut cerai melalui khuluk. Dengan demikian, ada keseimbangan hak yang sesuai dengan kodrat manusia itu sendiri.
Talak dianggap sah apabila dijatuhkan secara sadar oleh suami yang berakal dan balig. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Bukhari dan at-Tirmizi yang berarti: “Setiap talak itu adalah boleh, kecuali talak orang yang akalnya tertutup (tidak sehat)” dan hadis yang diriwayatkan Ashab as-Sunan (Penyusun Kitab Sunan) dari Ali bin Abi Thalib yang berarti: “Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku dalam tiga hal, yaitu dari orang yang tidur sampai ia terbangun, dari anak kecil sampai ia bermimpi (balig), dan dari orang gila sampai ia sembuh.”
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum talak yang dijatuhkan suami yang dalam keadaan mabuk. Jumhur ulama mengatakan bahwa talak orang yang sedang mabuk dihukumkan berlaku karena mabuk itu disebabkan perbuatannya sendiri. Ulama lain menyatakan bahwa orang yang mabuk tersebut berada dalam keadaan tidak sadar. Karena itu, talak yang dijatuhkannya dalam keadaan mabuk tidak berlaku karena terjadi di luar kesadarannya.
Saksi Talak. Adanya hak talak di tangan suami menimbulkan perbedaan pendapat di antara ulama tentang perlu atau tidaknya saksi dalam talak. Pendapat mereka dapat dibedakan atas pendapat jumhur ulama di satu pihak dan ulama lain di pihak lain.
Jumhur ulama berpendapat, karena talak itu hak mutlak suami, kapan saja talak itu dijatuhkan dihukumkan sah, baik ada saksi maupun tidak. Para ulama Syiah Imamiyah berpendapat bahwa penjatuhan talak harus disertai dengan saksi. Artinya, talak yang dijatuhkan tanpa disaksikan dua orang saksi adalah tidak sah.
Hal ini didasarkan pada surah ath-talaq (65) ayat 2 yang berarti: “Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah….”. Ayat ini jelas berbicara tentang talak. Sejalan dengan pendapat ini, ada beberapa negara Islam yang menjadikan saksi sebagai syarat sahnya suatu talak.
Pendapat ulama Syiah Imamiyah sebenarnya dahulu telah dianut beberapa sahabat, seperti Ali bin Abi Thalib dan Imran bin Husin, dan beberapa tabiin, seperti Muhammad al-Baqir, Ibnu Sirin, dan Ibnu Juraij. Dengan demikian, bagi kelompok kedua saksi dalam talak dihukumkan wajib karena bunyi ayat tersebut mengandung perintah wajib.
Adapun bagi kelompok pertama (jumhur ulama), perintah dalam ayat tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya perintah sunah, sehingga talak tanpa saksi dihukumkan sah. Di samping itu jumhur berpendapat bahwa saksi yang diminta dalam ayat tersebut adalah saksi dalam masalah rujuk, bukan dalam masalah talak.
Dalam persoalan saksi talak, ulama abad ke-14 H, seperti Abu Zahrah, Ali al-Khafif, Ahmad Gandur, Sayid Sabiq, Abdurrahman as-Sabuni, Mustafa as-Siba’i, serta Ali Hasaballah, dan bahkan Imam Syafi‘i dalam qaul qadim (pendapat yang lama) berpendapat sama dengan ulama Syiah Imamiyah.
Abu Zahrah mengatakan bahwa perlunya saksi dalam talak sangat logis, sehingga terjadi keseimbangan antara nikah yang wajib dihadiri saksi dan talak yang juga harus dihadiri saksi. Jika memulainya diwajibkan dua orang saksi, untuk mengakhirinya juga sangat logis diwajibkan kehadiran dua orang saksi. Hal ini lebih menjamin kemaslahatan dan dapat menghindarkan tindakan sewenang-wenang dari pihak suami serta memperkecil terjadinya talak itu sendiri.
Jenis-Jenis Talak. Dilihat dari boleh atau tidak suami rujuk dengan istri yang telah ditalaknya, talak terbagi atas talak raj’i dan talak ba’in.
Talak Raj’i Talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istrinya. Dalam keadaan ini suami berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar yang baru selama rujuk tersebut dilakukan dalam masa idah istri.
Talak seperti ini, sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229, dijatuhkan secara bertahap atau satu demi satu. Rujuk yang merupakan hak suami selama dilakukan dalam masa idah istri didasarkan pada surah al-Baqarah (2) ayat 228 yang berarti: “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu….”
Oleh karena itu ulama yang menganggap perlunya saksi dalam rujuk dan talak dihukumkan sunah berpendapat bahwa jika suami akan rujuk di masa idah, rujuknya tersebut tidak memerlukan keridaan istri dan saksi. Menurut ulama lain, rujuk juga harus disaksikan. Hal ini didasarkan pada surah ath-talaq (65) ayat 2.
Mengenai cara rujuk, ulama juga berbeda pendapat meskipun mereka sepakat bahwa rujuk adalah sah dan lebih baik jika dilakukan dengan perkataan atau pernyataan suami. Perbedaan tersebut muncul apabila suami merujuk istrinya dengan perbuatan, seperti menggauli (menyetubuhi) atau mencium.
Menurut ulama Mazhab Hanafi dan Hanbali, perbuatan ini dianggap sebagai rujuk meskipun tanpa niat merujuk. Menurut ulama Mazhab Maliki, tindakan menggauli istri dapat dikatakan rujuk apabila hal tersebut disertai dengan niat. Namun menurut Mazhab Syafi‘i, tindakan menggauli istri, menciumnya ataupun melakukan perbuatan sejenis itu tidak dinamakan rujuk karena rujuk harus dinyatakan dengan perkataan jelas dan tegas.
Ibnu Hazm juga berpendapat sama, bahwa rujuk tersebut harus dinyatakan dengan perkataan, diketahui istri, dan disaksikan dua orang saksi, sesuai dengan tuntutan surah ath-talaq (65) ayat 1.
Adapun akibat dari talak raj’i adalah berkurangnya bilangan talak yang dimiliki oleh suami. Jika talak tersebut talak satu, dia hanya punya kesempatan dua kali; jika talak itu talak kedua, dia hanya punya hak menalak satu kali; dan jika talak itu talak ketiga, hilang segala hak talaknya dan bahkan dia tidak dibolehkan rujuk lagi.
Talak ba’in. Talak yang dijatuhkan suami pada istrinya di mana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Talak ba’in terdiri dari talak ba’in Kubra (besar) dan talak ba’in sugra (kecil). Talak ba’in Kubra adalah talak yang ketiga kalinya.
Dalam talak ba’in Kubra, suami baru dapat kembali pada istrinya dengan akad nikah setelah istri tersebut kawin dengan lelaki lain dan bercerai kembali secara wajar (QS.2:230). Talak ba’in sugra adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah disetubuhi, talak dengan tebusan (khuluk), dan talak raj’i yang telah habis masa idahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut.
Dalam talak seperti ini, suami tidak memiliki hak rujuk lagi pada istri yang telah ditalaknya tersebut, kecuali dengan akad dan mahar baru. Namun tidak disyaratkan si istri kawin dahulu dengan lelaki lain sebagaimana dalam talak ba’in Kubra.
Ada perbedaan lain dari kedua bentuk talak ba’in. Dalam talak ba’in Kubra, jika suami kembali kepada istri yang telah ditalaknya dengan akad nikah dan mahar baru, ia memiliki kembali hak talak sebanyak tiga kali karena perkawinannya yang kedua tersebut dianggap sebagai perkawinan baru.
Dalam talak ba’in sugra, sekalipun antara suami dan istri terikat kembali dalam perkawinan melalui akad dan mahar baru, bilangan talak yang dimiliki suami telah berkurang. Jika talak tersebut adalah talak pertama, dia hanya memiliki hak talak dua kali, dan seterusnya. Artinya, talak yang dilakukan sebelumnya diperhitungkan sebagai pengurangan terhadap tiga kali talak yang dimilikinya.
Demikian menurut kebanyakan ulama. Berbeda dengan jumhur, Ibnu Hazm mengatakan bahwa bentuk talak ba’in hanya dua, yaitu talak yang ketiga kalinya dan talak sebelum dukhul (sanggama).
Khuluk. Perceraian atas permintaan pihak istri dengan mengembalikan mas kawin yang diterimanya. Sebagaimana diuraikan di atas, hak menuntut cerai bagi pihak perempuan hanya dengan jalan khuluk.
Apabila dalam sebuah rumah tangga tujuan perkawinan diduga tidak akan tercapai dan penyebabnya adalah sikap yang negatif dari pihak suami sehingga si istri melihat perkawinan tersebut sulit dipertahankan, dia berhak menuntut cerai pada suaminya, dengan syarat memberikan ganti rugi harta pada suaminya. Ganti rugi ini bisa dengan cara mengembalikan seluruh atau sebagian mahar yang pernah diterima si istri atau dengan harta lain yang bukan mahar.
Dalam khuluk ganti rugi dari pihak istri merupakan unsur penting. Unsur inilah yang membedakannya dengan cerai biasa. Apabila seorang istri menuntut cerai pada suaminya tanpa ganti rugi, cerai ini tidak dinamakan khuluk.
Khuluk disyariatkan dalam Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah (2) ayat 229 yang berarti: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….”
Demikian pula dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dan an-Nasa’i dari Ibnu Abbas tentang kasus Sabit bin Qays dan istrinya. Dalam hadis tersebut dikatakan, istri Sabit bin Qays menyatakan keberatannya tentang keadaan rumahtangga mereka yang cenderung tidak bisa menjalankan ketentuan-ketentuan Allah SWT, lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya:
“Apakah akan engkau kembalikan kepadanya (Sabit) kebunnya (yang diberikan sebagai mahar waktu perkawinan)?” Istri Sabit bin Qays menjawab, “Ya.” Lalu Rasulullah SAW memerintahkan Sabit bin Qays menerima kembali kebun itu dan kemudian menjatuhkan talaknya satu kali.
Dari ayat dan hadis ini terlihat bahwa keengganan istri terhadap sikap, pergaulan, dan tingkah laku suami dalam berumahtangga, dapat menjadi alasan baginya untuk mengajukan cerai dengan bersedia mengembalikan mahar atau membayar ganti rugi kepada suaminya.
Sehubungan dengan itu, permasalahan yang menjadi perbedaan pendapat di antara ulama adalah pengelompokan khuluk, apakah khuluk termasuk talak atau fasakh. Jumhur ulama mengatakan bahwa khuluk termasuk talak ba’in, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi SAW di atas yang menyatakan: “Jatuhkan talaknya satu kali.”
Menurut mereka, fasakh tidak tepat karena fasakh tidak memiliki unsur ikhtiar (kesadaran untuk melakukan), sementara dalam khuluk ada unsur ikhtiar. Sebagian ulama lain, seperti Imam Ahmad, Daud az-Zahiri, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan juga dari kalangan sahabat, seperti Ibnu Abbas, Usman bin Affan, dan Ibnu Umar (Abdullah bin Umar bin Khattab), mengatakan bahwa khuluk termasuk fasakh.
Menurut mereka, jika khuluk termasuk talak, talak dalam Islam berarti empat kali, padahal ayat Al-Qur’an menyebutkan talak hanya tiga kali. Di samping itu dalam khuluk, meskipun si istri mempunyai idah, suami tidak berhak rujuk atau kembali kepada istrinya yang telah dikhuluk.
Perbedaan pendapat tentang khuluk menimbulkan pula perbedaan pendapat dalam penentuan masa idah istri yang dikhuluk. Apabila khuluk itu adalah talak, idahnya adalah idah talak dan perceraiannya termasuk talak ba’in. Di samping itu, jika sebelumnya mereka telah bercerai dua kali, lalu khuluk lagi, dan kemudian si suami ingin kembali kepada istrinya, si istri harus kawin dahulu dengan orang lain karena dengan khuluk ini berarti telah terjadi tiga kali talak.
Sebaliknya, apabila khuluk bukan talak tetapi fasakh, menurut mereka khuluk tersebut tidak mengurangi bilangan talak. Begitu pula jika sebelumnya si istri telah ditalak suaminya sebanyak dua kali, lalu terjadi khuluk, dan kemudian keduanya ingin berbaik kembali, mereka dapat menikah kembali tanpa si istri harus kawin lebih dulu dengan orang lain.
Adapun penyebab terjadinya khuluk antara lain adalah munculnya sikap nusyus dari pihak suami dan adanya syikak. Sikap nusyus mungkin disebabkan istri dalam pandangan suami sudah tua, sakit-sakitan atau wajahnya tidak menarik lagi, dan lain sebagainya. Dalam kasus seperti ini, istri berhak meminta cerai melalui jalan khuluk. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang berarti:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik….”
Perdamaian yang dimaksud dalam ayat ini bisa dilakukan dengan perceraian atas permintaan istri dengan kesediaannya membayar kembali mahar yang telah diberikan suaminya atau harta lainnya.
Syikak berarti pertengkaran yang terjadi terus-menerus antara suami dan istri. Jika istri tidak sabar lagi menghadapi permasalahan ini, dia bisa mengajukan cerai melalui jalan khuluk atau dapat juga suami yang menawarkan khuluk pada istrinya karena pertengkaran yang terus-menerus datang dari pihak istri.
Dalam hal ini Imam asy-Syaukani (w. 1250 H/1834 M), ahli fikih, mujtahid, ahli hadis, dan usul fikih, membolehkan suami menawarkan khuluk kepada istrinya. Jika pihak istri menerima tawaran tersebut dan bersedia membayar ganti rugi, perceraian yang terjadi ini termasuk khuluk.
Dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 35 Allah SWT membenarkan terjadinya perceraian, termasuk dengan khuluk, jika pertengkaran antara suami-istri terjadi secara terus-menerus, sehingga mereka sendiri sulit menyelesaikannya secara damai kendati pun mereka telah mengangkat hakim untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Ulama mengemukakan akibat dari putusnya perkawinan melalui jalan khuluk sebagai berikut.
(1) Terjadinya talak ba’in jika unsur ganti ruginya terpenuhi dan jika unsur ganti rugi tidak ada, maka perceraian ini merupakan talak biasa.
(2) Gugurnya seluruh hak yang berhubungan dengan harta di antara kedua belah pihak jika harta itu diperoleh setelah khuluk terjadi.
(3) Mahar yang masih menjadi tanggungan suami juga gugur dari hak istri jika ganti rugi khuluk tersebut bukan mahar.
(4) Segala bentuk nafkah yang wajib ditunaikan suami sebelum khuluk gugur setelah terjadinya khuluk.
(5) Nafkah istri selama masa idah tidak gugur dan wajib dibayarkan suami.
Fasakh. Batalnya akad dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami-istri yang disebabkan terjadinya cacat atau kerusakan pada akad itu sendiri, atau disebabkan hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad tidak dapat dilanjutkan.
Fasakh yang disebabkan adanya cacat atau kerusakan yang terjadi dalam akad nikah antara lain:
(1) setelah akad dilakukan, diketahui bahwa pasangan itu ternyata saudara sepersusuan dan
(2) seorang anak yang belum balig (lelaki atau perempuan) dinikahkan oleh walinya yang bukan ayah atau kakeknya, kemudian anak ini mencapai usia balig, maka ia berhak untuk memilih (hak khiar), apakah perkawinan yang telah diakadkan itu diteruskan atau dihentikan.
Hak ini dinamakan khiyar bulug (hak pilih setelah seseorang sampai usia balig). Jika salah seorang di antara anak yang telah balig tersebut memilih untuk tidak melanjutkan perkawinan tersebut, akad ini dianggap fasakh (batal).
Adapun fasakh yang disebabkan sesuatu yang datang kemudian pada akad sehingga menyebabkan akad tersebut tidak dapat dilanjutkan antara lain sebagai berikut. (1) Jika suami yang dahulu kafir dan kemudian masuk Islam, sementara istrinya musyrik, pada saat itu juga akad tersebut dibatalkan karena laki-laki muslim dilarang menikah dengan perempuan musyrik.
Namun apabila istri tersebut seorang ahli kitab, perkawinan tersebut dapat dilanjutkan karena laki-laki muslim dibolehkan menikahi perempuan ahli kitab. (2) Apabila salah seorang dari suami-istri murtad atau keluar dari agama Islam untuk selamanya.
Talak berbeda dengan fasakh. Pertama, talak menyebabkan terhentinya hubungan suami-istri melalui ucapan tertentu dan terhentinya hubungan itu bisa bersifat sementara, seperti dalam talak raj‘i. Fasakh menyebabkan terputusnya hubungan perkawinan untuk selamanya dan suami tidak dapat rujuk pada istrinya.
Unsur kehendak untuk memutus hubungan perkawinan tidak ada dalam fasakh, kecuali dalam penentuan khiyar bulug. Sementara talak harus dilakukan secara sadar dan penyebabnya bukan karena sesuatu yang terjadi pada akad. Kedua, perceraian yang termasuk dalam kelompok talak mengurangi bilangan talak yang dimiliki suami, sedangkan fasakh tidak mempunyai bilangan tertentu.
Dengan demikian fasakh tidak juga mengurangi apa-apa. Ketiga, talak itu adakalanya talak raj’i (suami berhak rujuk atau kembali pada istrinya selama masa idah) dan adakalanya talak ba’in (suami tidak dibolehkan rujuk, kecuali dengan akad dan mahar baru). Tidak demikian halnya dengan fasakh.
Dalam fasakh, suami tidak boleh rujuk. Di samping itu fasakh memutuskan hubungan perkawinan antara suami-istri seketika itu juga, sedangkan dalam talak, pemutusan hubungan perkawinan itu bervariasi. Jika dalam talak ba’in hubungan perkawinan putus seketika, dalam talak raj’i hubungan perkawinan baru dianggap putus secara tuntas setelah habis masa idah.
Fasakh itu bisa terjadi dengan sendirinya, tanpa campur tangan orang lain atau hakim. Misalnya, dalam kasus perkawinan yang kemudian ternyata suami-istri itu bersaudara sesusuan. Dalam hal ini akad tersebut batal dengan sendirinya, tidak memerlukan penyelesaian dari hakim.
Namun ada beberapa kasus dalam penyelesaian fasakh yang memerlukan penanganan hakim. Misalnya, fasakh yang disebabkan masuk Islamnya seorang suami yang dulunya kafir, sedangkan istrinya tetap bertahan sebagai musyrik. Dalam hal ini penanganan hakim diperlukan karena ada kemungkinan si istri bisa diajak masuk Islam, sehingga akad tersebut tidak perlu dibatalkan.
Contoh lainnya adalah dalam hal suami atau istri yang murtad. Di sini penanganan hakim diperlukan karena ada kemungkinan si suami atau si istri tidak menjadi murtad atau kembali dari kemurtadannya, sehingga perkawinan tersebut dapat dilanjutkan.
Zihar. Dari segi bahasa berakar dari kata az-zahr yang berarti punggung. Dalam istilah fikih, zihar diartikan sebagai perkataan suami terhadap istrinya yang mengandung maksud menyamakan istrinya dengan ibunya sendiri. Misalnya, perkataan: “Punggung kamu seperti punggung ibuku.” Pengkhususan kata “punggung” dalam hal ini disebabkan biasanya yang ditunggangi itu adalah punggung. Oleh karena itu orang Arab menyebut binatang tunggangan dengan kata az-zahr.
Dalam kaitannya dengan hubungan suami-istri, menyerupakan istri dengan punggung ibu berarti menyamakan istri dengan orang yang haram dinikahi selamanya. zihar pada masa Jahiliah dianggap sebagai salah satu bentuk perceraian dan mempunyai dampak negatif yang sangat besar.
Apabila seorang suami di zaman Jahiliah ingin menganiaya istrinya, sementara ia tidak mau menceraikannya, dia menzihar istrinya. Akibatnya, si istri terkatung-katung, tidak bersuami dan juga tidak berstatus janda. Ketika Islam datang, hukum zihar diperbaiki sehingga para wanita yang di-zihar tidak lagi teraniaya.
Wanita yang di-zihar memang diharamkan untuk digauli, tetapi hanya bersifat sementara, yaitu sampai suami membayar kafarat ziharnya. Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman dalam surah al-Mujadilah (58) ayat 2 yang berarti:
“Orang-orang yang men-zihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Permasalahan lain dari zihar adalah apakah zihar tersebut khusus dalam penyerupaan istri dengan ibu saja atau penyerupaan istri dengan salah seorang mahram atau muhrim yang haram di kawini selamanya.
Menurut jumhur ulama yang berpegang pada bunyi ayat dalam Al-Qur’an dan hadis, zihar tersebut khusus penyerupaan dengan ibu saja; kias tidak dapat diberlakukan dalam masalah ini. Ulama Mazhab Hanafi, Abdurrahman al-Auza’i (ahli fikih), Sufyan as-Sauri, Imam Syafi‘i, dan Zaid bin Ali Zainal Abidin (pendiri Mazhab Zaidiyah) mengatakan bahwa ilah (sebab) larangan ini adalah menyerupakan istri dengan orang yang haram dikawini selamanya.
Dengan demikian, zihar juga berlaku bagi mahram-mahram lainnya yang tidak boleh dikawini selama-lamanya. Karena itu jika yang diserupakan dengan istri tersebut adalah saudara kandung, bibi atau saudara sepersusuan, hal tersebut termasuk ke dalam zihar.
Jika seorang suami men-zihar istrinya secara benar, ada dua akibatnya. Pertama, haram bagi suami untuk menggauli istrinya sebelum ia membayar kafarat zihar (QS.58:3). Jumhur ulama mengiaskan mencium istri dengan jimak, sehingga mencium istri pun tidak boleh dilakukan sebelum kafarat zihar dibayar.
Namun sebagian ulama berpendapat bahwa yang diharamkan tersebut hanyalah jimak, karena al-masis (menyentuh) dalam ayat tersebut merupakan kata sindiran dari perbuatan jimak. Kedua, wajib bagi suami untuk membayar kafarat zihar jika suami ingin kembali kepada istrinya. Namun bagaimana atau apa indikasi yang menunjukkan sang suami ingin kembali pada istrinya tersebut, ulama berbeda pendapat.
Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan sahabatnya mengatakan bahwa indikasi keinginan suami untuk kembali (berbaik) pada istrinya adalah keinginan untuk menggauli istri yang telah di-ziharnya karena keinginan tersebut telah menunjukkan tekad, sekalipun keinginannya itu tidak dilakukannya.
Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hanbali dan Imam Malik menyerupai pendapat Imam Hanafi, bahwa indikasi itu dapat ditunjukkan melalui tekad untuk menggauli istrinya, sekalipun jimak tersebut tidak dilakukannya. Di pihak lain, Imam Syafi‘i mengatakan bahwa indikasinya adalah dengan tidak menalak istrinya.
Adapun kafarat dari zihar yang harus ditunaikan suami yang menzihar istrinya, sesuai dengan bunyi surah al-Mujadilah (58) ayat 3–4 adalah memerdekakan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Jumhur ulama sepakat bahwa bentuk-bentuk kafarat di atas diberlakukan secara berurut. Artinya, tidak boleh yang kedua dijadikan yang pertama atau yang ketiga dijadikan yang pertama. Dalam istilah mereka, hukuman itu dikenakan kepada pelaku zihar sesuai dengan tertib hukuman yang terdapat dalam ayat tersebut.
Lian. Suami yang menuduh istrinya berbuat zina. Menurut fukaha (ahli fikih), gambaran utuh dari lian adalah seorang suami bersumpah empat kali dengan nama Allah SWT bahwa istrinya berbuat zina dan yang kelima kalinya ia mengatakan bahwa Allah SWT akan melaknatnya jika dia berdusta.
Kemudian sang istri juga bersumpah empat kali bahwa tuduhan suaminya itu dusta dan pada yang kelima kalinya ia mengatakan bahwa kemurkaan Allah SWT akan menimpa dirinya jika tuduhan suaminya itu benar (QS.24:6–9).
Liannya bisa berbentuk tuduhan suami terhadap istri bahwa istrinya itu berbuat zina, sementara dia tidak dapat mengajukan empat orang saksi, dan bisa juga berbentuk penolakan bahwa anak yang dikandung istrinya bukan anaknya.
Penyelesaian kasus lian harus ditangani hakim. Apabila suami di hadapan hakim enggan untuk melakukan lian sebagaimana yang dikehendaki ayat, berarti dia menuduh secara dusta.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Hanbali, si suami dikenakan hukuman qadzf dengan di dera 80 kali (QS.24:4). Hukuman ini sama dengan hukuman terhadap seseorang menuduh orang lain berbuat zina. Sementara itu Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa si suami tidak segera dikenai hukuman qadzf, tetapi dipenjarakan dahulu sampai ia mau melian istrinya atau dia mengakui bahwa tuduhannya itu adalah dusta belaka.
Ketika inilah hukuman qadzf baru dikenakan padanya. Adapun lian ini mengakibatkan terjadinya perceraian antara keduanya untuk selamanya, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas dari Rasulullah SAW: “Orang yang saling melian, jika telah bercerai tak dapat berkumpul kembali untuk selamanya.”
Namun kalau ternyata setelah bercerai tuduhan suaminya itu hanya dusta belaka, menurut Imam Abu Hanifah, si suami dikenakan hukuman qadzf dan boleh berkumpul kembali melalui akad nikah yang baru. Menurut jumhur, mereka selamanya tidak boleh nikah kembali.
Menurut Imam Malik, perceraian terjadi antara suami-istri yang saling melian setelah keduanya selesai melian, sedangkan menurut Imam Syafi‘i, perceraian itu terjadi setelah suami selesai mengucapkan liannya. Adapun Imam Abu Hanifah dan Imam Hanbali mengatakan bahwa perceraian itu baru terjadi setelah hakim memutuskannya.
al-ila’. Sumpah seorang suami yang menyatakan bahwa dia tidak akan menggauli istrinya. Pada zaman Jahiliah al-ila’ merupakan salah satu bentuk talak. Namun setelah datang Islam, al-ila’ dijadikan hanya sebagai sumpah.
Al-ila’ yang dilakukan suami tentunya mengakibatkan kemudaratan bagi pihak istri. Ini berarti suami telah menzalimi istrinya dan hal ini tidak sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dalam suatu rumahtangga. Untuk itu suami wajib mencabut sumpahnya setelah membayar kafarat yang ditentukan (QS.2:226–227).
Al-ila’ berlaku jika suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih. Akibat dari al-ila’ adalah kewajiban suami menggauli kembali istrinya setelah dia membayar kafarat, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian mereka atau memerdekakan budak.
Jika tidak sanggup menunaikannya, ia harus berpuasa selama tiga hari. Apabila suami tidak mau kembali pada istrinya dengan membayar kafarat sementara waktu empat bulan telah lewat, menurut Imam Abu Hanifah, jatuhlah talak istri dengan talak ba’in.
Menurut jumhur ulama, jika waktu empat bulan telah lewat dan istri telah meminta suaminya untuk kembali dengan menunaikan kafarat tetapi suami tidak mau, hakim harus memberikan pilihan bagi si suami, kembali kepada istrinya atau menalak istrinya tersebut. Jika si suami tidak memilih salah satu dari kedua alternatif, hakim menjatuhkan talaknya dan talak itu dianggap sebagai talak raj‘i.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. al-Ahwal asy-Syakhsiyyah. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1967.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Damascus: Khazanah al-Fikr al-’Arabi, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
az‑Zuhaili, Wahbah. al‑Fiqh al‑Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al‑Fikr, 1984.
Nasrun Haroen