Secara kebahasaan, ta’zir berarti “penolakan”, “kebesaran”, atau “pengajaran”. Dalam terminologi Islam, takzir berarti “hukuman yang bersifat pengajaran terhadap kesalahan yang tidak diancam hukuman had (khusus) atau kejahatan yang ketentuan hukumnya pasti, tetapi syaratnya tidak cukup”.
Sesuai dengan pengertian bahasa, pelaksanaan takzir tidak dikhususkan pada hukuman pemukulan, tetapi dapat juga dengan bentuk lain, seperti penamparan. Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa takzir berbeda dengan hukuman had yang jenis (bentuk) dan berat-ringannya telah ditentukan nas.
Pelaksanaan takzir diserahkan kepada imam atau penguasa (hakim) yang akan menetapkan atau menjatuhkan hukuman. Hakim memiliki kebebasan untuk menetapkan takzir kepada pelaku tindak pidana atau pelanggaran yang ancaman hukumannya tidak ditentukan nas (Al-Qur’an dan/atau hadis).
Karena itu, takzir dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan (kegunaan). Pemberian hak penentuan takzir kepada penguasa itu dimaksudkan agar mereka dapat mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi secara tiba-tiba.
Landasan takzir, antara lain, adalah surah al-Fath (48) ayat 9 yang di dalamnya terdapat kata tu‘azziruh. Sebagian ahli tafsir, antara lain Hasbi ash-Shiddieqy, mengartikan kata tersebut dengan “mengokohkan agama”.
Sejalan dengan penafsiran ini maka takzir di antara pengertian harfiahnya adalah menolak merupakan salah satu cara untuk menegakkan agama, yaitu dengan memberikan hukuman kepada para pelanggar hukum sehingga ajaran agama tetap kokoh.
Ulama sepakat tentang prinsip takzir ini, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai perlunya takzir dilaksanakan dan ketentuan maksimalnya. Menurut sebagian ahli hukum Islam, takzir boleh melampaui hukuman had, tetapi menurut pendirian sebagian ulama yang lain, batas maksimal takzir tidak boleh melebihi hukuman had.
Dalam jarimah takzir, ulama fikih membedakan antara pelanggaran terhadap hak Allah SWT dan hak pribadi. Menurut Abdul Aziz Amir, ahli hukum pidana Islam di Mesir, perbedaan tersebut penting antara lain karena ada empat hal berikut.
1) Pelaksanaan hukuman dalam jarimah takzir yang menyangkut hak pribadi tergantung pada gugatan pribadi yang bersangkutan. Misalnya, A memecahkan kaca mobil B. Tindakan A ini termasuk kategori jarimah takzir yang berkaitan dengan hak pribadi. Untuk penentuan dan pelaksanaan hukuman tindak pidana ini, B harus mengajukan gugatan kepada hakim.
Apabila gugatan telah diajukan, maka hakim tidak boleh menolak gugatan tersebut, apalagi memaafkannya, tetapi harus memproses dan menentukan hukuman terhadap pelanggaran tersebut.
Adapun jarimah takzir yang terkait dengan hak Allah SWT, seperti pelanggaran terhadap kepentingan atau keamanan negara, hakim berhak memproses pelanggaran itu, tanpa adanya gugatan, dan hakim juga boleh memaafkan perbuatan itu, jika ia menganggap ada kemaslahatan yang lebih besar dalam pemaafan itu.
2) Dalam jarimah takzir yang menyangkut hak pribadi, tidak berlaku tadakhul (penggabungan hukuman untuk beberapa pelanggaran), tetapi hakim harus menentukan satu hukuman untuk satu pelanggaran. Adapun untuk pelanggaran yang termasuk hak Allah SWT, tadakhul tersebut bisa dilakukan, apabila hakim memandang ada kemaslahatan yang lebih besar dalam memberlakukannya.
3) Hukuman takzir bagi pelanggaran terhadap hak Allah SWT, boleh diselesaikan dan dilaksanakan oleh setiap orang yang melihat terjadinya tindak pidana itu. Kebolehan ini didasarkan pada kaidah amar makruf nahi mungkar (perintah berbuat baik dan pencegahan berbuat mungkar). Adapun pelanggaran terhadap hak pribadi, apabila telah terbukti, yang akan melaksanakan hukumannya hanya hakim.
4) Dalam jarimah takzir yang menyangkut hak pribadi berlaku hak waris-mewarisi bagi korban dalam pelaksanaan hukumannya. Artinya, jika korban meninggal dunia, maka hak menuntut pelaksanaan hukuman takzir berpindah pada ahli warisnya.
Akan tetapi, apabila terpidana yang meninggal dunia, maka hukuman terhadap terpidana tidak boleh dilaksanakan pada ahli warisnya. Dalam jarimah takzir yang merupakan hak Allah SWT, tidak berlaku waris-mewarisi pada pelaksanaan hukumannya.
Pembagian Takzir. Ulama fikih membagi takzir kepada dua bentuk, yaitu: (1) at-ta’zir ‘ala al-ma‘asi (takzir terhadap perbuatan maksiat) dan (2) at-ta’zir li al-maslahah al-‘ammah (takzir untuk kemaslahatan umum). Perbedaan kedua bentuk takzir ini terletak pada hukum tindak pidana tersebut.
Tindak pidana dalam at-ta’zir ‘ala al-ma‘asi hukumnya haram selamanya dan bersifat maksiat, sedangkan tindak pidana dalam at-ta’zir li al-maslahah al-‘ammah, hukumnya dilarang apabila memenuhi syarat tertentu, karena pada dasarnya, tindakan itu sendiri tidak bersifat maksiat.
(1) At-ta’zir ‘ala al-ma’asi. Menurut ahli fikih, yang dimaksudkan dengan maksiat adalah melakukan suatu perbuatan yang diharamkan syarak dan meninggalkan perbuatan yang diwajibkan syarak. Perbuatan maksiat ini tidak saja yang menyangkut hak Allah SWT, tetapi juga yang menyangkut hak pribadi. Misalnya, syarak menentukan bahwa salat itu wajib, sedang memakan babi dan meminum minuman keras adalah haram.
Apabila seseorang memakan babi, meminum minuman keras, dan tidak mengerjakan salat, maka ketiga perbuatan itu disebut sebagai maksiat, dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa ada tiga kriteria jenis-jenis jarimah takzir tersebut, yaitu:
(a) Terhadap perbuatan itu disyariatkan hukuman hudud, tetapi karena tidak memenuhi syarat, maka hukuman hudud tersebut tidak bisa dilaksanakan. Misalnya, seseorang melakukan pencurian tetapi tidak mencapai satu nisab (seperempat dinar = 1,125 gram emas) harta yang dicuri.
Tindak pidana pencurian termasuk hudud, tetapi karena syarat pencurian yang dikenakan hukuman hudud tidak terpenuhi, maka hukumannya berubah menjadi takzir.
(b) Terhadap perbuatan itu disyariatkan hukuman hudud, tetapi ada penghalang untuk diberlakukan hukuman hudud tersebut. Misalnya, ayah membunuh anaknya atau anak mencuri harta ayahnya satu nisab atau lebih.
Dalam kedua kasus ini, ayah tidak dikenakan hukuman kisas karena membunuh anaknya atau anak tidak bisa dikenakan hukuman potong tangan karena mencuri harta ayahnya. Dalam kedua kasus ini, menurut ulama fikih, hukuman kisas atau hudud tidak bisa diberlakukan, karena antara keduanya ada hubungan keturunan yang mengakibatkan adanya syibhu al-milk (keraguan pemilikan).
Hal ini menjadi penghalang diterapkannya hukuman kisas atau hudud, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW: ”Tolaklah hudud apabila terdapat keraguan” (HR. al-Baihaqi). Karena hukuman hudud tidak bisa diterapkan, ulama fikih menetapkan bahwa hukuman yang akan dilaksanakan adalah hukuman takzir, sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki.
(c) Terhadap perbuatan itu tidak ditentukan sama sekali hukumannya, baik hudud, kisas, diat, dan kafarat. Bentuk terakhir inilah maksiat yang paling banyak, seperti mengingkari atau mengkhianati amanah, pengurangan timbangan atau takaran, memberikan kesaksian palsu, melakukan muamalah riba, dan sogok-menyogok.
(2) At-ta’zir li al-maslahah al-‘ammah. Menurut kesepakatan ahli fikih, pada prinsipnya jarimah takzir tersebut adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat maksiat. Akan tetapi, syariat Islam juga membolehkan para penguasa (hakim) menetapkan bentuk jarimah takzir lain apabila kemaslahatan umum menghendaki penetapan tersebut.
Namun demikian, jarimah takzir yang ditetapkan penguasa itu, menurut ulama fikih, perbuatan itu sendiri bukan diharamkan, tetapi keharamannya terletak pada sifat perbuatan itu. Sifat yang membuat keharaman itu adalah terkait dengan gangguan terhadap kepentingan, kemaslahatan, dan keamanan masyarakat dan negara.
Menurut ulama fikih, terhadap seluruh perbuatan itu, pihak penguasa boleh menetapkan hukumannya; dan hukuman yang ditetapkan itu termasuk kategori takzir.
Abdul Qadir Audah, Abdul Aziz Amir, dan Ahmad Fathi Bahnasi, ketiganya pakar hukum pidana Islam, mengemukakan beberapa bentuk hukuman takzir yang terdapat dalam nas, yaitu:
1) Hukuman peringatan, ancaman, hardikan/dampratan, dera, dan pukul. Jenis-jenis hukuman seperti ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT surah an-Nisa’ (4) ayat 34. Dalam hadis Nabi SAW pernah diceritakan bahwa Abu Zarr al-Giffari (w. 32 H/653 M) pernah didamprat Nabi SAW karena mencela ibu seseorang (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
2) Hukuman penjara, baik yang bersifat sementara (penahanan sementara), seperti Nabi SAW melakukan penahanan sementara terhadap seseorang yang dituduh mencuri unta orang lain (HR. Abu Dawud, Ahmad bin Hanbal, an-Nasa’i, dan at-Tirmizi dari Bahz bin Hukaim), maupun penjara sebagai hukuman tetap, seperti yang diberlakukan kepada seseorang yang berulang kali melakukan tindak pidana.
3) Hukuman penyaliban. Nabi SAW pernah mengenakan hukuman salib kepada seseorang yang dijuluki Abu Nab (HR. Abu Dawud dan Ahmad bin Hanbal).
4) Hukuman pembunuhan. Hal ini dijumpai dalam sabda Nabi SAW: ”Siapa saja yang merusak persatuanmu yang berada di bawah suatu pemimpin dan berupaya memecah-belahmu, maka bunuhlah ia (HR. al-Jamaah [mayoritas ahli hadis]).
Oleh sebab itu, ulama fikih sepakat membolehkan hakim menerapkan hukuman pembunuhan bagi penyebar fitnah, mata-mata, orang yang telah sering melakukan tindak pidana, pelaku homoseksual, lesbian, apabila hakim melihat suatu kemaslahatan untuk menerapkan hukuman pembunuhan ini. Hukuman pembunuhan dalam kategori takzir ini dalam fikih Islam disebut dengan al-qatl as-siyasi.
5) Hukuman pembuangan, seperti yang dilakukan Umar bin al-Khattab terhadap Nasr bin Hajjaj. Nasr bin Hajjaj adalah seorang pemuda tampan pada masa khalifah Umar bin al-Khattab. Ketika itu banyak wanita yang tertarik kepada pemuda ini.
Umar bin al-Khattab berpendapat bahwa jika Nasr bin Hajjaj ini masih berada di Madinah, banyak wanita yang akan berupaya mendapatkannya. Menurut Umar, hal ini akan dapat mengganggu ketenteraman masyarakat. Oleh sebab itu, Umar bin Khattab menyuruh Nasr bin Hajjaj pindah ke Basrah.
Menurut para ulama fikih, kegagahan Nasr bin Hajjaj bukanlah suatu maksiat, malahan suatu rahmat yang diberikan Allah SWT kepadanya dan hal tersebut bukan dimaksudkan untuk mengganggu ketenteraman masyarakat.
Akan tetapi, karena kegagahannya ini bisa menimbulkan fitnah di antara sesama wanita di Madinah ketika itu, yang sekaligus bisa berakibat terganggunya ketenteraman masyarakat, maka demi ketenteraman masyarakat, Umar bin Khattab menyuruh Nasr bin Hajjaj pindah ke Basrah.
6) Hukuman penyebarluasan berita tindak pidana yang bersangkutan, seperti yang dilakukan terhadap orang yang mengemukakan kesaksian palsu, melakukan kecurangan dalam timbangan, takaran, dan alat ukur lainnya.
7) Hukuman pemisahan tempat tidur bagi istri yang nusyus (QS.4:34).
8) Hukuman pencopotan dari jabatan, apabila seorang pejabat melakukan tindak pidana pelanggaran terhadap amanah jabatannya, sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
9) Hukuman berupa ketidaklayakan seseorang untuk suatu hak, seperti tidak layak sebagai saksi, karena sering melakukan kecurangan dan tidak layak menduduki suatu jabatan karena sering tidak memegang amanah.
10) Hukuman penyitaan harta, yang diberlakukan terhadap orang yang murtad. Penyitaan barang-barang ini, dalam fikih Islam disebut dengan musadarah mal al-murtadd (penyitaan harta orang murtad).
11) Hukuman denda. Terhadap pemberlakuan hukuman denda dalam jarimah takzir terdapat perbedaan pendapat ulama fikih. Misalnya, dalam kasus seseorang yang tidak mau melaksanakan salat, lalu menurut pertimbangan hakim ia harus dikenakan hukuman denda sejumlah uang untuk setiap salat yang ditinggalkannya.
Hukuman ini ditetapkan oleh hakim, karena menurut pertimbangannya, jika dikenakan hukuman lain yang bersifat jasmani atau rohani, tidak akan tercapai tujuan hukuman itu.
Menurut ahli fikih, terhadap seluruh bentuk hukuman takzir yang ada nasnya tersebut, pihak penguasa atau hakim boleh memilih salah satu di antaranya untuk diterapkan sesuai dengan jenis dan tingkatan pidana takzir yang dilakukan, dengan mempertimbangkan kemaslahatan pribadi terpidana dan masyarakat atau negara.
Hukuman takzir yang tidak disebutkan dalam nas kebanyakan menyangkut ta’zir li al-maslahah al-‘ammah. Untuk itu, penentuan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim.
Dalam kaitan dengan ini pun, seorang hakim harus mempertimbangkan kemaslahatan pribadi terpidana, lingkungan yang mengitarinya, kemaslahatan yang menghendaki, dan sesuai dengan tujuan syarak dalam menetapkan hukuman.
Daftar Pustaka
Audah, Abdul Qadir. at-Tasyri‘ al-Jina’i al-Islami. Cairo: Dar al-‘Urubah, 1964.
Bahnasi, Ahmad Fathi. al-Mas’uliyyah al-Jina’iyyah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-Qalam 1961.
_______. as-Siyasah al-Jina’iyyah fi asy-Syari‘ah al-Islamiyyah. Cairo: Dar al-‘Urubah, 1965.
Halimah. Hukum Pidana Syariat Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah. Jakarta: Bulan Bintang, 1971.
Hanafi, A. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Ibnu Rusyd. Bidaayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Ihya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Cairo: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
Syaltut, Mahmud. al-Islam: ‘Aqidah wa Syari‘ah. Cairo: Dar al-Qalam, 1966.
Hadi Rahmat