Takdir

(Ar.: taqdir)

Taqdir dalam bahasa Arab berarti “ketentuan”, “perkiraan”, “ukuran”, atau “keputusan”. Dalam terminologi Islam, takdir adalah keputusan Tuhan yang berlaku bagi seluruh makhluk-Nya, termasuk manusia, atas dasar keyakinan akan adanya kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan serta status manusia.

Menurut golongan Asy‘ariyah, Tuhan itu berkuasa dan berkehendak mutlak. Seluruh alam semesta berada di bawah kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Manusia yang merupakan bagian dari alam ini juga berada di bawah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Abu Hasan al-Asy‘ari dalam kitab al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Uraian tentang Prinsip Agama) menyatakan bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; di atas Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan dan apa yang tidak boleh dibuat.

Golongan Asy‘ariyah membahas masalah takdir dalam kaitannya dengan kada yang berarti ketentuan dan kadar yang berarti jangka atau ukuran. Bagi golongan ini kada merupakan ketentuan Tuhan yang di dalamnya terdapat iradah-Nya untuk segala makhluk.

Adapun kadar merupakan perwujudan dari ketentuan yang ada, yang tak berubah sedikit pun. Karena kada, kehidupan manusia pada dasarnya adalah realisasi dari apa yang telah digariskan Tuhan pada azali (sejak permulaan zaman), baik kehidupan yang menyangkut hal yang baik maupun yang jelek, beruntung atau rugi, senang atau menderita, dan sebagainya.

Semuanya akan dijalani manusia sejak ia lahir hingga mengembuskan napas terakhir. Adapun wujud kada atau ketentuan tersebut dalam bentuk yang sesuai dengan iradah Tuhan itu disebut kadar.

Muhammad Abdul Karim Syahristani mengatakan bahwa semua nasib manusia telah ditetapkan Tuhan sejak azali dan tertulis di Lauh Mahfuz (catatan tentang ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT).

Sementara itu al-Ghazali mengatakan, tidaklah akan terjadi pada alam nyata dan alam gaib, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau jelek, manfaat atau mudarat, iman atau kufur, pandai atau bodoh, beruntung atau rugi, bertambah atau berkurang, taat atau maksiat, kecuali dengan kada dan kadar Allah SWT.

Hal tersebut terjadi karena kehidupan manusia telah ditentukan Tuhan sejak azali dan ia hanya tinggal menjalaninya. Dalam hal ini al-Asy‘ari mengutip sebuah hadis di dalam kitabnya al-Ibanah, yang berarti:

“Sesungguhnya seorang kamu telah dikumpulkan kejadiannya di dalam perut ibumu 40 hari. Kemudian berada di sana seperti tadi dalam bentuk segumpal darah, selanjutnya masih berada di sana seperti tadi dalam bentuk segumpal daging.

Setelah itu Allah SWT mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk menulis empat kalimat, yaitu tentang ajalnya, rezekinya, pekerjaannya, dan kesenangan atau kebahagiaannya. Kemudian ditiupkan kepadanya roh” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

Ajaran tentang takdir (kada dan kadar) ini tidak dikemukakan secara tegas dalam Al-Qur’an, tetapi dalam hadis banyak dijelaskan. Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, pernah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW, yang kemudian ternyata orang itu adalah Malaikat Jibril.

Ia menanyakan arti iman, islam, dan ihsan. Di dalam dialog antara Rasulullah SAW dan Malaikat Jibril itu, Rasulullah SAW memberikan pengertian tentang iman yang berarti: “Iman ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta engkau beriman kepada kadar (ketentuan Tuhan) baik dan buruk.”

Daftar Pustaka

al-Asy‘ari, Abu al-Hasan bin Ismail. Kitab al-Luma‘ fi ar-Radd ‘ala Ahl az-Zaig wa al-Bida’. Beirut: al-Matba‘ah al-Katulikiyah, 1953.
_________. al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah. Damascus: Idarah at-Tiba’ah al-Muniriyah, 1348 H/1929 M.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Iqtisad fi al-I‘tiqad. Cairo: Maktabah al-Jindi, 1972.
Salim, Haji Agus. Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal. Jakarta: Intermasa, 1987.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Cairo: al-Babi al-Halabi, 1967.

Asmaran As