Takabur

(Ar.: takabbur)

Takabbur dalam bahasa Arab berarti “keangkuhan”. Kata takabbur berasal dari kibr yang berarti “kemuliaan” dan “kebesaran”. Istilah takabur digunakan untuk sifat yang menjadikan seseorang terpisah dari orang lain karena memandang diri lebih hebat dari orang lain. Orang takabur disebut mutakabbir.

Di dalam Al-Qur’an ada dua macam takabur, yang positif dan yang negatif. Takabur dalam arti positif menunjuk pada perbuatan baik yang ditunjukkan kepada makhluk. Sifat takabur dalam pengertian seperti ini dinisbahkan kepada Allah SWT sebagai al-mutakabbir (Yang Memiliki Kebesaran) yang merupakan salah satu dari nama dan sifat-Nya yang agung (QS.59:23).

Dalam arti negatif, takabur berarti keangkuhan atau kesombongan. Sifat takabur dalam pengertian ini ditujukan kepada manusia. Oleh karena itu, penggunaan semua istilah takabur dalam Al-Qur’an yang ditujukan kepada manusia berkonotasi negatif dan menunjuk pada perbuatan yang tercela.

Takabur dalam ajaran Islam dipandang sebagai penyakit hati yang sering menghinggapi orang yang mempunyai kelebihan dari orang lain. Hal ini terwujud dalam bentuk lahiriah, yaitu membanggakan dan menyombongkan diri, bahkan meremehkan orang lain. Takabur membuat seseorang menjadi sangat egoistis dan berpandangan sempit. Sifat takabur dapat menghalangi seseorang untuk berpikir secara jernih guna memperoleh kebenaran dan hidayah.

Menurut Al-Qur’an (seperti dalam surah as-Sajdah [32] ayat 15), penolakan para pemimpin masyarakat terhadap seruan para rasul yang diutus kepada mereka bukan karena mereka tidak percaya pada kebenaran misi yang dibawa para rasul, melainkan karena sifat congkak dan angkuh dalam diri mereka. Sifat itu mengalahkan naluri iman mereka.

Hal seperti itu, antara lain, menghinggapi Fir’aun (raja Mesir) ketika Nabi Musa AS mengajaknya menghambakan diri kepada Allah SWT. Fir’aun dengan sombong mengatakan, “…Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS.79:24). Bahkan jauh sebelum itu, iblis menjadi kafir dan mendapat laknat dari Allah SWT karena keengganannya menaati perintah-Nya untuk sujud kepada Adam.

Keangkuhan iblis karena ia diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah, membuat iblis merasa lebih terhormat.

Takabur merupakan salah satu bentuk akhlak tercela yang sangat dibenci Islam. Karena itu, berbagai kecaman dan ancaman ditujukan kepada orang takabur. Al-Qur’an mengecam orang yang merasa dirinya lebih bersih dan lebih baik dari orang lain, karena apa yang tersembunyi dalam lubuk hati seseorang hanya Allah SWT yang mengetahuinya (QS.16:29, QS.39:32, dan QS.40:35).

Allah SWT memberikan ancaman siksaan neraka bagi orang takabur (QS.16:29, QS.39:60 dan 72, dan QS.40:35). Dalam hadis Rasulullah SAW juga dinyatakan bahwa tidak akan masuk surga orang yang dihinggapi penyakit takabur walaupun hanya sedikit­ (HR. Muslim).

Imam al-Ghazali mengidentifikasi beberapa faktor penyebab timbulnya sifat takabur. Faktor tersebut adalah merasa lebih dalam pengetahuan, amal ibadah, kebangsawanan, kecantikan, harta dan kekayaan, kekuatan dan kekuasaan, dan pengaruh di masyarakat.

Menurutnya, untuk menghilangkan kelebihan dan keistimewaan yang mungkin tidak terdapat pada orang lain diperlukan keberanian untuk introspeksi diri secara berkesinambungan. Hal ini dilakukan dengan mujahadat, yakni perjuangan batin untuk menundukkan hawa nafsu angkara murka.

Perasaan lebih dalam pengetahuan dapat dihilangkan dengan perenungan bahwa ilmu yang dimiliki adalah anugerah Allah SWT. Ilmu yang dimiliki manusia sangat sedikit (QS.17:85) dibandingkan dengan ilmu Allah SWT. Sikap seperti itu akan memberikan kesadaran bahwa di atas tiap orang yang berilmu ada Dia (QS.12:76).

Orang yang tekun beribadah dapat pula dihinggapi penyakit takabur, karena merasa dirinya lebih dekat kepada Tuhan. Penyakit ini hanya dapat dihilangkan dengan pelaksanaan ibadah secara ikhlas.

Perasaan lebih dalam kebangsawanan dan kecantikan adakalanya menjadikan seseorang bersikap demonstratif dan meremehkan orang lain. Menurut pandangan Islam, kelebihan dan keutamaan seseorang justru ditentukan oleh kualitas ketakwaannya kepada Allah SWT (QS.49:13). Demikian pula halnya dengan harta kekayaan (QS.96:6–7).

Penyakit ini dapat dihilangkan dengan menyadari secara sungguh-sungguh bahwa kekayaan yang dimiliki manusia sama sekali tidak pantas dibanggakan, karena manusia pada hakikatnya fakir dan membutuhkan Allah SWT (QS.35:15). Kekuatan, kekuasaan, dan pengaruh seseorang dalam masyarakat juga dapat menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya sifat takabur.

Daftar Pustaka

Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr dalam Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Ibnu Miskawaih. Tahdzhib al-Akhlaq wa Ta’khir al-A‘raq. Mesir: Maktabah al-Misriyyah, 1934.
al-Isfahani, Ragib. Mu‘jam Mufradat Alfaz Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Mau‘izah al-Mu’minin min Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Umarie, Barmawie. Systematik Tasawwuf. Solo: AB. Sitti Syamsiah, 1966.

M. Galib Matola