Tahlil berarti mengucapkan kalimat la ilaha illa Allah (tidak ada Tuhan selain Allah). Kalimat ini dinamakan juga kalimat tauhid, karena kandungannya berkaitan dengan keesaan Allah SWT. Di Indonesia ada upacara tahlilan, yakni pembacaan tahlil bersama-sama di rumah duka setelah seseorang meninggal.
Dalam istilah ilmu kalam, kalimat la ilaha illa Allah disebut juga kalimat nafy itsbat, yakni kalimat yang mengandung ungkapan yang meniadakan segala Tuhan dengan menetapkan hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, dan Tuhan yang satu itulah yang berhak dan wajib disembah. Setiap muslim wajib mengucapkan kalimat ini dan menghayati kandungannya, sehingga ia betul-betul menjadi orang yang bertauhid.
Islam menetapkan bahwa tauhid yang menjadi kandungan tahlil itu merupakan pokok ajaran Islam. Oleh sebab itu setiap muslim wajib meyakininya di dalam hati. Seorang nonmuslim yang akan memeluk Islam tidak dianggap sah memeluk Islam jika ia belum mengucapkan kalimat tahlil ini, yang terangkum dalam dua kalimat syahadat.
Menurut pandangan Islam, kalimat tahlil ini secara historis telah diikrarkan juga oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW dan kandungannya merupakan inti dari keyakinan mereka. Oleh sebab itu, dalam bidang akidah tidak ada perbedaan antara akidah umat Islam dan umat nabi-nabi terdahulu.
Hanya saja umat nabi-nabi terdahulu telah banyak menyeleweng dari akidah tersebut. Pandangan bahwa nabi-nabi terdahulu juga telah mengucapkan kalimat tahlil tergambar dari sabda Nabi SAW yang berarti: “Sebaik-baik yang saya ucapkan dan juga oleh nabi-nabi sebelum saya ialah la ilaha illa Allah” (HR. Amr bin Syu’aib).
Hukum tahlil adalah sunah dibaca berulang-ulang. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda yang berarti: “Barangsiapa mengucapkan la ilaha illa Allah wahdah la syarika lah lahu al-mulk wa lahu al-hamd wa huwa ‘ala kulli syai‘in qadir (tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, bagi-Nya kekuasaan dan Dia kuasa atas segala sesuatu) sebanyak seratus kali setiap harinya, pahalanya sama dengan memerdekakan sepuluh orang budak, dituliskan baginya seratus kebajikan serta dihapuskan dari seratus kejahatan, dan ia terpelihara dari godaan setan pada hari itu.”
Dalam sebuah hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda yang berarti: “Tahlil juga sunah dibacakan di hadapan orang yang hampir meninggal di antara kamu dengan la ilaha illa Allah.”
Di Indonesia, ucapan tahlil ini sering pula dilaksanakan pembacaannya secara bersama-sama di masjid, musala atau pun di rumah. Pembacaan tahlil seperti ini sering dilakukan sesudah salat magrib dan subuh. Di sebagian daerah di Indonesia, tahlil sering dibaca secara bersama-sama setelah seseorang meninggal dunia, yang pembacaannya dilakukan di rumah duka. Upacara seperti ini disebut tahlilan.
Pelaksanaannya ada yang dilakukan 3 hari atau 7 hari setelah kematian. Upacara tahlilan seperti ini sering mendapat tantangan dari sebagian ulama. Mereka memandang perbuatan demikian adalah bid’ah. Namun demikian ada pula ulama yang mempertahankannya dan menganggapnya sebagai perbuatan baik.
Daftar Pustaka
Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya’‘Ulum ad-Din. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1939.
Muslim, Imam. Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. al‑Adzkar. Cairo: Matba‘ah Zakariya Ali Yusuf, t.t.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tuhfah adz-dzakirn. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Yunasril Ali