Tahiriyah, Dinasti

Salah satu dinasti yang muncul pada masa Daulah Abbasiyah (750–1258) di sebelah timur Baghdad adalah Tahiriyah. Pusat dinasti ini adalah Khurasan dengan ibukota Naisabur.

Dinasti Tahiriyah didirikan oleh Tahir bin al-Husain (159 H/776 M–207 H/822 M) di Khurasan pada 205 H/821 M, dan bertahan sampai 259 H/873 M. Tahir muncul ketika pada pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara kedua pewaris takhta kekhalifahan antara Muhammad al-Amin (memerintah 194 H/809 M–198 H/813 M), anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab (Zubaidah; 762–Baghdad, 831), sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dan Abdullah al-Ma‘mun, anak Harun ar-Rasyid dari istrinya yang keturunan Persia, sebagai pemegang kekuasaan di wilayah sebelah timur Baghdad.

Dalam perselisihan itu Tahir, yang dikenal sebagai ahli perang “bermata satu”, berada di pihak al-Ma‘mun. Ia diutus al-Ma‘mun memimpin pasukan sebanyak 40 ribu personel menghadapi pasukan dari pihak al-Amin yang dipimpin Ali bin Isa, yang berkekuatan 50 ribu personel. Pada peperangan ini pasukan Tahir mendapat kemenangan, tepatnya di Rey (kota dekat Teheran) pada 811.

Tahir juga dapat mengalahkan pasukan al-Amin yang dikirim berikutnya di bawah pimpinan ar-Rahman al-Jabal. Melihat peluang yang baik, Tahir mengarahkan pasukannya ke Baghdad. Dengan bantuan Harsamah dan Zubair, dua panglima yang dikirim al-Ma‘mun, Tahir dapat menaklukkan Baghdad setelah selama 2 bulan dalam pengepungan pasukannya. Al-Amin sendiri terbunuh oleh salah seorang tentara pasukan Tahir.

Atas kemenangan dan kemahiran Tahir dalam berperang, al-Ma‘mun memberinya gelar Thu al-Yaminain (terampil). Dengan kemenangannya ini Tahir mendapat peluang yang baik untuk membina karier politiknya. Ia mendapat hadiah jabatan dari al-Ma‘mun, menjadi gubernur di kawasan timur Baghdad.

Jabatan ini dipegangnya selama 2 tahun (205 H/820 M–207 H/822 M). Pada 207 H/822 M Tahir meninggal dunia dengan tiba-tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Versi lain menyatakan bahwa ia meninggal karena keracunan.

Sebagai pengganti Tahir, Khalifah al-Ma‘mun mengangkat anaknya, Talhah bin Tahir (w. 213 H/828 M). Talhah memegang kekuasaan di Khurasan sampai 213 H/828 M. Ia berupaya meningkatkan hubungan kerjasama dengan pemerintahan pusat. Kekuasaan berikutnya dipegang Abdullah bin Tahir, saudara Talhah sendiri.

Pengangkatan yang ketiga kalinya ini menunjukkan bahwa keluarga Tahir memperoleh kedudukan yang kokoh dalam pemerintahan, sebagai penguasa wilayah secara turun-temurun. Maka kokohlah Dinasti Tahiriyah. Abdullah memiliki pengaruh yang besar.

Usaha yang dilakukan Abdullah antara lain meningkatkan kerjasama dengan pemerintah pusat, khususnya dalam menghadapi para pengacau dan pemberontak, melaksanakan segala ikatan perjanjian dengan tepat, memberikan hak-hak Bani Abbas sebagai keluarga penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan keamanan, dan meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak.

Penguasa terakhir Dinasti Tahiriyah adalah Muhammad bin Tahir, yang memerintah 248 H/864 M–259 H/873 M. Pada masanya pemerintahan wilayah Khurasan mengalami kemunduran. Ia tidak bisa mengendalikan pemerintahan seperti para pendahulunya. Bersamaan dengan itu muncul satu kekuatan baru dari keluarga Saffar di Sijistan (di Persia/ Iran), yakni Ya‘qub bin Lais as-Saffar dan saudaranya, Amr, sebagai pendiri Dinasti Saffariyah, yang cukup tangguh.

Kekuatan pemerintahan wilayah di bawah pimpinannya tidak mampu membendung kekuatan Ya’qub yang sangat kuat dan terkoordinasi dengan baik. Maka pada 257 H/873 M Khurasan dikuasai Dinasti Saffariyah, sekalipun ketika pemerintahan dipegang oleh Amr, sebagai pengganti Ya’qub, Muhammad bin Tahir sempat ditunjuk kembali oleh Khalifah dengan memecat Amr.

Namun demikian, ini tidak berjalan lama, karena Khalifah al-Mu‘tadid (279 H/892 M–289 H/902 M) mengembalikan kekuasaan wilayah kepada keluarga Saffariyah. Maka berakhirlah sejarah Dinasti Tahiriyah di Khurasan.

Peranan yang dimainkan Dinasti Tahiriyah selama masa kekuasaannya ialah mengamankan wilayah timur Baghdad dari tindakan para pengacau dan pemberontak, seperti kaum Khawarij (kaum yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib), dan menahan serangan-serangan dari suku-suku liar yang melakukan perampokan terhadap penduduk.

Peranan Dinasti Tahiriyah yang sangat penting adalah mengangkat al-Ma‘mun ke takhta kekhalifahan melalui peperangan. Dengan duduknya al-Ma‘mun, khalifah yang gandrung akan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam sebagai pemegang tampuk pimpinan di Baghdad, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam berkembang sangat pesat dan mencapai masa puncaknya.

Daftar Pustaka

Brockelmann, Carl. Tarikh asy-Syu‘ub al-Islamiyyah, Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, t.t.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1979.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: Macmillan, 1974.
Mahmudunnasir, Syed. Islam, Its Concepts & History. New Delhi: Kitab Bhavan, 1965.
at-Tabari, Abi Ja‘far Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

Utang Ranuwijaya