Tafsir Jalalain

Tafsir Jalalain karya “dua Jalal” ini sudah dikenal di alam Melayu sejak abad ke-17. Bahasa dan uraiannya mudah, singkat, serta jelas. Fikih dan teologinya sejalan dengan paham Melayu, yang umumnya menganut fikih Syafi‘i dan teologi Abu Hasan Ali bin Isma‘il al-Asy‘ari. Kini banyak pesantren di Indonesia menggunakan Tafsir Jalalain sebagai kitab pelajaran.

Nama kedua pengarang kitab Tafsir Jalalain adalah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli (Mahalli, Mesir, 791 H/1389 M–864 H/1460 M) dan Abu al-Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar bin Muhammad Jalaluddin as-Suyuti (849 H/1445 M–911 H/1505 M). Kitab ini dinamai demikian karena merupakan karya dua ulama tafsir yang bernama Jalal.

Kitab Tafsir Jalalain terdiri dari dua jilid. Jilid pertama yang memuat mukadimah dan tafsir surah al-Baqarah hingga akhir surah al-Isra’ merupakan karya Jalaluddin as-Suyuti. Jilid kedua memuat tafsir surah al-Kahfi hingga akhir surah an-Nas, surah al-Fatihah yang diletakkan sesudah surah an-Nas, dan tatimmah (penutup). Kecuali bagian penutup (karya Jalaluddin as-Suyuti), jilid kedua merupakan karya Jalaluddin al-Mahalli.

Meskipun kitab tafsir ini dibuat oleh dua orang, metode penafsiran yang digunakannya sama karena apa yang dilakukan Jalaluddin al-Mahalli diikuti oleh as-Suyuti. As-Suyuti menyelesaikan konsep tafsirnya selama 40 hari, sejak awal Ramadan 870. Penyelesaian seutuhnya terlaksana setahun kemudian.

Penulisan Tafsir Jalalain dilatarbelakangi dua hal. Pertama, merosotnya bahasa Arab yang disebabkan kontak yang terjadi antara bangsa Arab dan bangsa lain yang tidak berbahasa Arab (bangsa asing/‘ajam), seperti Persia, Turki, dan India. Akibatnya, bahasa Arab tidak mudah lagi dimengerti orang Arab asli karena susunan kalimatnya mulai berbelit-belit mengikuti susunan bahasa ‘ajam.

Hal ini juga melanda kosa kata bahasa Arab; semakin hari, semakin banyak kosakata ’ajam yang masuk ke dalamnya. Keadaan tersebut dikenal dengan istilah dzuyu’ al-lahn (keadaan ketika penyimpangan mudah ditemui); banyak kaidah nahu (gramatika) dan sharaf (morfologi) dilanggar.

Kedua, adanya keyakinan bahwa Al-Qur’an adalah sumber bahasa Arab yang paling autentik. Karena itu, untuk mendapatkan kaidah bahasa yang benar, pengkajian dan pemahaman terhadap Al-Qur’an harus dilakukan.

Dengan latar belakang seperti itu dapat dipahami cara penafsiran yang dilakukan kitab ini. Selain menjelaskan maksud sebuah kata, ungkapan atau ayat, kitab ini menjelaskan faktor kebahasaan dengan menggunakan cara berikut: langsung menerangkan kata dari segi sharafnya jika hal itu dianggap penting untuk diperhatikan dengan mengambil bentuk struktur (wazn) katanya; menerangkan makna kata atau padanan kata (sinonim) jika dianggap belum dikenal atau mengandung makna yang agak khusus; dan menjelaskan fungsi kata (subjek, objek, predikat, atau yang lainnya) dalam kalimat. Menurut ilmu tafsir, cara penafsiran seperti itu disebut metode tahlili (analisis).

Karena caranya seperti itu, Tafsir Jalalain tersaji sebagai baris-baris tulisan biasa. Yang membedakan teks Al-Qur’an dari tafsirnya adalah tanda kurung; teks Al-Qur’an berada di dalam dua tanda kurung, sedangkan penafsiran dan penjelasan bahasa tanpa tanda kurung.

Tafsir Jalalain menggunakan judul Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim yang ditulis dengan ukuran besar dan di bawahnya dituliskan nama kedua pengarang dengan ukuran tulisan lebih kecil. Dalam bentuknya yang klasik, Tafsir Jalalain tidak hanya memuat kitab tafsir, tetapi juga kitab lain. Tafsirnya sendiri berada di dalam kotak persegi empat besar di tengah.

Pada bagian sampingnya (hasyiyyah) dituliskan empat kitab lain, yaitu: Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, karya terkecil dari Jalaluddin as-Suyuti, yang merupakan kitab penting dalam menjelaskan latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an; Fi Ma‘rifah an-Nasikh wa al-Mansukh (Mengetahui Nasikh dan Mansukh), karya Imam Abi Abdullah Muhammad bin Hazm; Alfiyyah fi Tafsir Garib Alfaz Al-Qur’an, karya Imam bin Zar’ah al-Iraqi, yang berisi penjelasan beberapa kosakata Al-Qur’an yang dianggap garib (aneh); dan Risalah Jalilah, karya Imam bin al-Qasim bin Salam, yang berisi penjelasan makna beberapa kosakata dengan menyebutkan asal kata tersebut (dialek kabilah Arab).

Keempat kitab yang mendampingi Tafsir Jalalain bertujuan memudahkan pemahaman terhadap Al-Qur’an. Sebagian besar mufasir berpendapat bahwa Asbab an-Nuzul merupakan sarana penting untuk membawa kepada pemahaman makna yang lebih pas. Begitu pula halnya dengan Nasikh dan Mansukh.

Meskipun demikian, ada juga mufasir yang tidak menganggap penting Asbab an-Nuzul dan tidak mengakui Nasikh dan Mansukh karena dinilai menodai kehebatan Al-Qur’an. Selain itu, dua kitab lainnya bertujuan untuk memberikan panduan agar pembaca tidak terjebak dalam kesulitan kata, atau untuk menghindari lahn (kekeliruan).

Tafsir Jalalain telah dikenal di alam Melayu sejak abad ke-17, bahkan ada kemungkinan tafsir itu sudah populer pada abad itu. Hal ini terbukti dari banyaknya manuskrip tafsir tersebut di Museum Nasional Jakarta.

Pada abad itu Abdur Rauf Singkel telah membuat tafsir dalam bahasa Melayu yang berjudul Turjuman al-Mustafid (Penjelasan Masalah yang Berguna), yang dianggap kitab tafsir pertama di tanah Melayu yang mempunyai hubungan dengan Tafsir Jalalain. Pada mulanya, Turjuman al-Mustafid dianggap saduran versi Melayu dari Tafsir al-Baidawi.

Kesimpulan itu ternyata tidak tepat karena ternyata Turjuman al-Mustafid adalah saduran versi Melayu dari Tafsir Jalalain yang dilengkapi dengan beberapa kutipan dari Tafsir al-Baidawi dan uraian yang luas tentang surah al-Kahfi dari Tafsir al-Khazin. Kenyataan tersebut memberi dugaan bahwa Tafsir Jalalain sudah dikenal sebelum penyaduran itu.

Keunggulan Tafsir Jalalain adalah bahasanya yang mudah, uraiannya yang singkat dan jelas, serta adanya penjelasan tentang asbab an-nuzul. Kelebihan lainnya berkaitan dengan pandangan di dalamnya yang baik secara fikih maupun teologi sejalan dengan paham yang dianut orang Melayu pada umumnya.

Orang Melayu menganut fikih Mazhab Syafi‘i dan teologi Abu Hasan Ali bin Isma‘il al-Asy‘ari. Jalaluddin as-Suyuti merupakan salah seorang murid Ibnu Hajar al-Asqalani, ahli fikih Mazhab Syafi‘i.

Popularitas Tafsir Jalalain di alam Melayu secara tidak langsung ditandai pula dari kemunculan kitab tafsir Murah Lubaid li Kasyf Ma‘na Al-Qur’an al-Majid (Kitab yang Tebal Isinya untuk Mengungkap Makna Al-Qur’an al-Majid), yang merupakan karya Imam Muhammad Nawawi al-Bantani atau dikenal juga dengan Syekh Nawawi al-Jawi, 1813–1897). Di Indonesia kitab tafsir ini dikenal dengan nama Tafsir al-Munir. Tafsir ini terhitung tafsir menengah dan banyak dipelajari di Indonesia dan Malaysia.

Tafsir al-Munir melengkapi dan memperluas cara penafsiran Tafsir Jalalain dengan merujuk pada kitab al-Futuhat al-Ilahiyyah (Keterbukaan Ilahi, karya al-Jamal [Sulaiman bin Umar al-Ujaili al-Azhari]) berisi komentar (syarh) tentang Tafsir Jalalain.

Selain Futuhat, kitab lain yang menjadi rujukan Imam Nawawi adalah Mafatih al-Gaib (Pembuka Kegaiban, karya Fakhruddin ar-Razi), as-Siraj al-Munir (Lampu nan Menyala, karya Muhammad al-Khatib as-Sibini), Tanwir al-Miqbas (Benderang Bara Api, karya Ibnu Abbas), dan Irsyad al-‘Aql as-Salim ila Masyyi Al-Qur’an al-Karim (Penuntun bagi Akal yang Lurus untuk Memahami Al-Qur’an, karya Abu’l Su‘ud).

Di samping itu, terdapat pula kitab tafsir Hasyiyyah al-‘Allamah as-sawi atau dikenal dengan Tafsir as-sawi. Kitab tafsir karya Syekh Ahmad as-Sawi al-Maliki ini berisi komentar yang cukup luas atas Tafsir Jalalain. Tafsir as-sawi banyak dipelajari di tanah Melayu, khususnya Indonesia.

Hingga sekarang, Tafsir Jalalain masih banyak dipelajari di Indonesia khususnya di dunia pesantren. Banyak pesantren yang masih menggunakannya sebagai kitab pelajaran pokok. Penerjemahan terhadap tafsir ini telah banyak dilakukan dan dicetak ulang, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.

Daftar Pustaka
John, Anthony H. “Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile,” Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, ed. A. Rappin. Oxford: Clarenddon Press, 1969.
al-Mahalli, al-‘Allamah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad, dan Jalaluddin Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuti. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Beirut: Dar al-Fikr li at-Tiba‘ah wa an-Nasyr, t.t.
al-Maliki, al-Allamah asy-Syaikh Ahmad as-Sawi, Hasyiyah al-‘Allamah as-sawi ‘ala Tafsir al-Jalalain. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Maksum Mukhtar