Dalam bahasa Arab, tafakkur berarti “berpikir”, “memikirkan”, “merenungkan”, atau “bermeditasi”. Dalam istilah Islam, tafakur didasarkan atas ayat Al-Qur’an yang ditujukan kepada orang yang diberi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda (fenomena) alam.
Dalam hal tafakur, Allah SWT berfirman dalam surah Ali ‘Imran (3) ayat 190–191 yang berarti: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.”
Rasulullah SAW juga bersabda, “Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin)” (HR. Ibnu Majah).
Pada dasarnya Islam hanya menyuruh manusia untuk memikirkan dan merenungkan makhluk Allah SWT serta alam semesta ini dengan segala fenomenanya dan melarang untuk memikirkan Zat Allah SWT, kecuali orang yang memiliki kemampuan tafakur secara khusus, seperti filsuf dan sufi.
Menurut ajaran Islam, sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an, memikirkan dan merenungkan kejadian alam dengan segala fenomenanya ini dapat dijadikan tanda adanya sang Pencipta Yang Maha Agung dan Bijaksana, yaitu Allah SWT.
Bahkan di dalam konsep kaum sufi, tafakur tidak hanya sekadar untuk mengetahui dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari itu untuk mencari nilai dan rahasia dari suatu objek yang sedang dipikirkan dan direnungkannya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan tanpa sia-sia.
Sayid Husein Nasr (pemikir Islam abad ke-20 yang berasal dari Iran) mengatakan bahwa kosmologi sufi dengan demikian bertalian dengan aspek-aspek kualitatif dan simbolik benda-benda, bukan dengan aspek-aspek kuantitatif benda-benda.
Ia menangkap cahaya di atas benda-benda sehingga dengan demikian benda-benda itu menjadi objek perenungan (tafakur) yang bernilai, mudah dimengerti serta jernih, dan hilang kekaburan serta kegelapannya.
Sebenarnya, selain kata tafakur (QS.16:68–69 dan QS.45:12–13) yang bertujuan memerintahkan atau menganjurkan agar orang memikirkan kejadian alam ini, terdapat pula kata lain dalam Al-Qur’an yang pada dasarnya mempunyai tujuan dan arti yang serupa, seperti kata-kata nazara (QS.50:6–7 dan QS.86:5–7), tadabbara (QS.38:29 dan QS.47:24), faqiha (QS.17:44), tadzakkara (QS.16:17 dan QS.39:9), fahima (QS.21:78–79), dan ‘aqala (QS.8:22 dan QS.16:11–12).
Selain itu, dalam Al-Qur’an terdapat pula sebutan-sebutan yang memberi sifat bagi seseorang yang berpikir, yaitu ulu al-albab atau orang yang berakal (QS.12:111 dan QS.3:190), ulu al-‘ilm atau orang yang berilmu (QS.3:18), ulu an-nuha atau orang yang berakal (QS.20:128), dan ulu al-abshar atau orang yang mempunyai penglihatan (QS.24:44).
Selanjutnya kata ayat dalam Al-Qur’an erat hubungannya dengan perbuatan berpikir. Arti dasar ayat adalah tanda, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Maryam (19) ayat 10 yang berarti: “Zakaria berkata, ‘Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.’ Tuhan berfirman, ‘Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat.’”
Ayat dalam arti tanda kemudian dipakai terhadap fenomena alam yang banyak disebut dalam ayat kauniyyah, yaitu ayat tentang kejadian alam (kosmos). Tanda menunjukkan pada sesuatu yang ada di balik tanda itu.
Tanda itu harus diperhatikan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terletak di belakangnya. Jadi tafakur atau memikirkan dan merenungkan tentang kejadian alam adalah anjuran yang sangat jelas dan tegas dalam Al-Qur’an.
Selanjutnya, istilah tafakur banyak dikenal di kalangan kaum sufi. Menurut mereka, tafakur merupakan jalan untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki.
Al-Ghazali, yang dalam sejarah intelektualnya mencari kebenaran mengambil ajaran tasawuf yang menurutnya merupakan jalan yang mampu membawa pada kebenaran yang hakiki, mengatakan bahwa pemahaman, pemikiran atau perenungan itu dilakukan mulai dari hati (qalb = kalbu) yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala.
Pendapat ini tampaknya sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-hajj (22) ayat 46, at-Taubah (9) ayat 93, dan Muhammad (47) ayat 24. Menurut al-Ghazali, hati laksana cermin yang dapat menangkap sesuatu yang ada di luarnya. Untuk dapat menangkapnya dengan baik, hati harus bersih dari kotoran dan noda. Maksudnya, hati harus bersih dari berbagai macam dosa.
Kata hati dapat berarti dua macam, yaitu hati dalam arti jasmani dan hati dalam arti rohani. Hati dalam arti kedua merupakan esensi manusia. Adapun yang dimaksud hati dalam pembahasan al-Ghazali adalah hati dalam pengertian rohani, bukan hati dalam pengertian jasmani yang berupa benda sebagai alat yang terletak di dalam dada kiri manusia.
Oleh sufi yang lain, Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusy-airi (376 H/986 M–465 H/1074 M), alat untuk memperoleh pengetahuan yang hakiki itu disebut sirr (sir). Menurut al-Qusyairi, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang dipergunakan sufi dalam berhubungan dengan Tuhan, yaitu kalbu untuk mengetahui sifat Tuhan, roh untuk mencintai Tuhan, dan sir untuk melihat Tuhan.
Sir lebih halus dari roh dan roh lebih halus dari kalbu. Kalbu tidak sama dengan jantung (Ing.: heart) karena kalbu, selain sebagai alat perasa, juga merupakan alat untuk berpikir. Perbedaan kalbu dengan ‘aql (akal) ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan kalbu bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada; dan jika dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia Tuhan.
Dengan demikian, menurut orang kebanyakan (awam), tafakur (pengertian, pemahaman, pemikiran, dan perenungan) adalah jalan untuk mengenal Tuhan yang dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala. Menurut pandangan sufi, tafakur itu dilakukan melalui hati yang berpusat di dada. Para sufi mengatakan, “Lihatlah hatimu sendiri.
Kerajaan Tuhan sebenarnya ada di dalam hatimu.” Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW): “LangitKu dan bumi-Ku tidaklah sepenuhnya mewakili-Ku, tetapi hati hamba-Ku yang beriman penuh dengan diri-Ku.”