Syuf’ah

Syuf‘ah adalah hak istimewa seseorang­ untuk membeli suatu barang tidak­ bergerak dari mitranya dengan harga beli­ yang ditawarkan peminat barang itu. Dalam fikih, syuf‘ah merupakan salah satu bahasan tentang jual beli untuk kepentingan kemitraan­ atau kehidupan bertetangga­. Syuf‘ah bertujuan­ untuk menghindari bahaya perselisihan­ karena suatu barang dibeli/dimiliki oleh orang yang belum dikenal.

Secara etimologis, kata syuf‘ah berasal dari asy-syaf‘u (menggabungkan, kumpulan atau genap). Sebagai sebuah perilaku, syuf‘ah merupakan salah satu tradisi bangsa Arab pada masa pra-Islam. Apabila hendak menjual rumah atau pekarangannya,­ pertama-tama seseorang menawarkan­nya kepada mitra, tetangga, atau temannya, karena mereka dianggap paling utama dari yang lain.

Mitra, tetangga, atau teman itu dapat pula datang­ dan meminta kepadanya untuk membeli rumah atau pekarangan tersebut­. Kemudian ia me­ nempatkan mereka sebagai pihak yang diutama­kan. Ketika Islam datang, kebiasaan seperti itu ditetapkan dalam sunah Nabi SAW, sehingga menjadi­ bagian fikih.

“Sesungguhnya Rasulullah SAW memutuskan dengan syuf‘ah pada barang yang belum­ dibagi. Apabila sudah ditetapkan batas-batas, maka tidak ada syuf‘ah” (HR. Bukhari dari Jabir bin Abdullah).

Rukun syuf‘ah ada empat:

(1) orang yang mempunyai­ hak membeli (asy-syafi‘),

(2) barang yang berhak dibeli atau objek syuf‘ah (al-masyfu‘ fih),

(3) orang yang menjualnya­ (al-masyfu‘ ‘alaih), dan

(4) cara melakukan syuf‘ah.

Tentang siapa yang berhak atas syuf‘ah, semua ulama mazhab sepakat bahwa yang paling berhak adalah mitra yang belum menerima bagian. Akan tetapi, para ahli fikih Irak memberikan perluasan secara bertingkat.

Menurut mereka, apabila mitra yang paling berhak seperti disepakati di atas tidak mengambil haknya, hak itu diberikan kepada mitra lain yang sudah mengambil bagian tetapi masih memiliki hak bersama, seperti jalan dan peka­rangan­ bersama­. Dalam hal ini, syuf‘ah itu bertu­juan­ untuk menghin­dari­ kerugian dari mitra. Apabila mitra dengan kondisi yang terakhir ini me­lepaskan pula haknya, hak itu diberikan kepada­ tetangganya.

Pendapat ulama Irak ini didasarkan­ pada hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmizi: “Tetangga di sebelah rumah lebih berhak terhadap rumah di sebelahnya”. Dalam­ kedudukan serupa, tetangga juga berhak karena­ perubahan pemilikan di sekitar tetangga akan berpengaruh juga padanya.

Dimasukkannya tetangga sebagai orang yang berhak atas syuf‘ah ditolak Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan fukaha Madinah. Mereka menganggap­ hal itu sebagai perluasan hak syuf‘ah. Dalam­ sunah Nabi SAW tidak ditemukan dasar yang tegas tentang perluasan hak syuf‘ah yang meliputi tetang­ga.

Kemudian, syuf‘ah itu merupakan proses jual beli yang dasar utamanya adalah ‘an taradhin (saling rela). Karena itu, hukum dasar itulah yang harus dilaksanakan­. Berdasarkan hal itu, mereka menganggap perluasan hak syuf‘ah tanpa landasan itu merusak unsur terpenting dalam jual beli. Itu sebabnya, perluasan hak syuf‘ah dengan melam­paui batas kemitraan tidak dapat diterima.

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa objek syuf‘ah adalah barang tidak bergerak, seperti gedung, kebun, dan tanah. Mengenai barang lain, fukaha masih berbeda pen­dapat. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW yang mengatakan­ bahwa Nabi SAW menetapkan­ hak syuf‘ah pada tanah, rumah, atau kebun (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, at-Tirmizi, al-Baihaqi, dan at-Tabrani). Oleh karena itu, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hak syuf‘ah tidak berlaku pada hewan ternak, pakaian, dan barang dagangan.

Ulama Mazhab Maliki memberlakukan syuf‘ah pada tiga jenis barang, yaitu:

(1) barang ti­dak bergerak, seperti gedung dan tanah;

(2) barang lain yang mempunyai hubungan­ tetap dengan­ yang pertama, seperti sumur, jalan, taman, jendela, dan tumbuhan yang ada di atas pekarangan; dan

(3) barang yang berkaitan dengan yang kedua, seperti buah-buahan yang dihasilkan­ dari tanaman di taman.

Imam Syafi‘i pada dasarnya sependapat dengan pembagian­ itu kecuali barang jenis ketiga. Fukaha dari kota besar bahkan menolak barang jenis ke­dua dan ke­tiga. Mereka hanya menerima barang jenis pertama. Syuf‘ah hanya dapat dilakukan­ dengan cara tertentu.

Barang yang di-syuf‘ahkan harus berpindah dari pemiliknya­ dengan jalan penggantian­ harta. Hal itu dapat dilakukan­ dengan menjual atau yang berpengertian seperti itu (misalnya, pengakuan secara­ damai atau hibah dengan cara penggantian tertentu). Semua itu ditegaskan karena syuf‘ah pada dasarnya adalah jual beli.

Dalam kaitan itu, tidak dibenarkan syuf‘ah melalui wasiat atau waris karena keduanya tidak mengandung unsur jual beli. Ulama Mazhab Hanafi dalam hal ini hanya membatasi­ pengambilali­han dengan penjualan.

Cara pengambilalihan dengan hibah, walaupun dengan peng­gantian, tidak dapat diterima. Dasar pendapatnya­ adalah zahir (lahir) hadis tentang masalah ini yang secara tegas memasukkan syuf‘ah sebagai kegiatan jual beli murni.

Ada beberapa ketentuan lain yang berkaitan dengan­ cara melakukan syuf‘ah:

(1) Kemitraan asy-syafi‘ sudah berlangsung lama, terjadi sebelum jual beli. Di samping itu, kemitraan tersebut harus sedemikian­ rupa sehingga batas kepemilikan masing-masing tidak lagi jelas, karena telah lebur dalam kepemilikan bersama.

2) Asy-syafi‘ harus memintanya dengan segera. Apabila permintaan itu diperlambat­ tanpa alasan, haknya menjadi gugur. Namun demi­kian, Imam Syafi‘i, Sufyan as-Sauri, dan sebagian ulama Kufah (Irak) mem­bolehkan penangguhan waktu.

(3) Asy-syafi‘ hendaknya­ memberikan sejumlah harga yang telah diakadkan dengan kontan kepada pembeli (mitra baru) yang tidak memiliki hak syuf‘ah.

Jika tidak atau jika pembeli tidak mampu membayar harga keseluruhan, haknya batal. Ketentuan seperti itu dapat dipahami melalui hadis marfu‘ (hadis yang disandarkan kepada Nabi SAW secara khusus, baik sanadnya bersambung maupun tidak) dari Jabir: “Dia lebih berhak karena membeli de­ngan harga tunai” (HR. al-Jauzani).

Dalam hal ini, Imam Syafi‘i dan bebera­pa ahli fikih lain melihat kemungkinan­ untuk tidak membayar kontan apabila­ situasi memungkinkan berdasar-kan persetujuan­.

(4) Asy-syafi‘ harus mengambil keseluruhan barang. Jika ia meminta hanya sebagian, haknya­ batal.

Berkaitan dengan hak syuf‘ah, terdapat bebe­rapa masalah:

(1) Kaum zimi juga berhak atas syuf‘ah. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dan Imam Syafi‘i meniadakan hak itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Daruqutni dari Anas, “Tidak ada syuf‘ah untuk orang-orang Nasrani.”

(2) Syuf‘ah itu diwariskan. Imam Syafi‘i berpegang­ pada pendapat ini. Apabila seseorang yang berhak memperoleh syuf‘ah meninggal sesudah atau sebelum mengetahui haknya itu, ahli warisnya dapat melanjutkannya. Akan tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Hanafi menolak­ hal itu kecuali dalam kondisi tertentu.

Menurut­ Imam Ahmad bin Hanbal, hal itu dibolehkan­ jika sebelum me­ninggal orang itu menuntutnya. Menurut Imam Ahmad, hal itu hanya boleh jika sebelum meninggal orang itu telah memperoleh keputusan atas hak syuf‘ah dari hakim yang berwenang­.

(3) Apabila al-masyfu‘ ‘alaih hanya satu, tetapi syafi‘ lebih dari satu. Beberapa kemungkinan pemecahan­ dalam hal ini telah dikemukakan ulama fikih. Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan jumhur ulama fikih Madinah mengemukakan bahwa hendaknya­ pembagian itu atas dasar persentase hak masing-masing syafi‘.

Jika bagian seorang syafi‘ adal­ah sepertiga, ia mendapatkan sepertiga hak dari syuf‘ah dan seterusnya­. Alasan mereka, hak seperti itu harus diba­gikan berdasarkan hak aslinya. Fukaha Kufah mengajukan jalan keluar lain. Menurut mereka, syuf‘ah dibagi rata berdasarkan­ jumlah syafi‘ dengan tidak mempertimbangkan hak dalam perserikatan. Masalah ini tetap menjadi­ perbedaan pendapat di antara ulama.

Daftar Pustaka

Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-SalÎm. Kuwait: Dar as-Salafiyyah, 1985.

Maksum Mukhtar