Syirkah berarti “perserikatan dagang”. Secara etimologis, syirkah berarti “percampuran antara satu harta dan harta lain sehingga sulit dibedakan”. Dalam fikih, syirkah termasuk salah satu bentuk kerjasama dagang dengan syarat dan rukun tertentu. Syirkah dimaksudkan untuk menunjukkan sikap tolong-menolong yang saling menguntungkan.
Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ahli fikih tentang syirkah. Ulama Mazhab Maliki berpendapat, syirkah adalah izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka.
Bagi ulama Mazhab Syafi‘i, syirkah adalah adanya hak bertindak secara hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Menurut Mazhab Hanafi, syirkah adalah akad yang dilakukan oleh orang yang bekerjasama dalam modal dan keuntungan.
Sekalipun definisi yang dikemukakan ulama itu secara redaksional berbeda, pada dasarnya definisi mereka mempunyai esensi yang sama, yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam perdagangan. Apabila akad syirkah telah disepakati, semua pihak berhak bertindak secara hukum dan mendapat keuntungan terhadap harta serikat itu.
Transaksi yang berbentuk kerjasama dagang ini mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “…maka mereka bersekutu dalam sepertiga harta…” (QS.4:12) dan “… sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh; dan amat sedikitlah mereka ini…” (QS.38:24). Dalam hadis qudsi dikatakan:
“Aku (Allah) merupakan pihak ketiga dalam perserikatan antara dua orang, selama salah seorang di antara keduanya tidak melakukan pengkhianatan terhadap yang lain. Jika seseorang melakukan pengkhianatan, Aku keluar dari perserikatan itu” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan ikut membantu doa orang yang berserikat, selama di antara mereka tidak saling mengkhianati” (HR. Bukhari).
Ada dua bentuk akad syirkah, yaitu syirkah al-amlak (serikat dalam pemilikan) dan syirkah al-‘uqud (serikat berdasarkan suatu akad).
Syirkah al-amlak terjadi jika dua orang atau lebih memi liki harta bersama tanpa melalui akad syirkah. Syirkah dalam kategori ini terbagi dua.
(1) Syirkah ikhtiyar (serikat bebas pilih), seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang atau mereka berdua menerima wasiat harta dari orang lain. Harta tersebut menjadi harta serikat bagi mereka.
2) Syirkah jabar (serikat secara paksa) yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak mereka, seperti harta warisan. Harta warisan menjadi milik bersama orang yang menerima warisan.
Status harta dalam dua bentuk syirkah al-amlak ini sesuai dengan hak orang yang berserikat. Masing-masing hanya dapat bertindak secara hukum terhadap harta serikat itu apabila ada izin dari pihak lain karena orang lain tidak memiliki kekuasaan atas harta seseorang yang menjadi mitra serikatnya.
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang bentuk syirkah al-‘uqud. Ulama Mazhab Hanbali membaginya kepada lima bentuk;
(1) syirkah al-‘inan (penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya);
(2) syirkah al-mufawadah (perserikatan yang modal semua pihak dan bentuk kerja yang mereka lakukan sama kualitas dan kuantitasnya; dalam hal ini keuntungan dibagi rata);
(3) syirkah al-wujuh (perserikatan tanpa modal);
(4) syirkah al-abdan (perserikatan dalam kerja yang hasilnya dibagi bersama); dan
(5) al-mudharabah (bentuk kerjasama an-tara pemilik modal dan seseorang yang mempunyai keahlian dagang; keuntungannya dibagi bersama).
Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi‘i hanya menerima empat dari lima bentuk syirkah yang dikemukakan ulama Mazhab Hanbali tersebut. Mereka menolak al-mudharabah sebagai syirkah. Ulama Mazhab Hanafi membagi syirkah menjadi tiga, yaitu:
(1) syirkah al-amwal (serikat harta),
(2) syirkah al-a‘mal (serikat kerja), dan
(3) syirkah al-wujuh (serikat tanpa modal). Ketiga bentuk serikat ini bisa masuk kategori al-‘inan dan al-mufawadhah.
Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa syirkah al-‘inan dibolehkan dalam Islam. Dalam serikat ‘inan ini, modal dan tanggung jawab yang digabungkan masing-masing pihak tidak harus berjumlah sama. Keuntungan dan kerugian dari serikat ini dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama berdasarkan persentase modal masing-masing.
Syirkah al-mufawadhah adalah perserikatan dua orang atau lebih pada suatu objek dengan syarat masing-masing pihak memasukkan modal dengan jumlah yang sama dan dapat melakukan tindakan hukum yang sama atas nama orang yang berserikat setelah melakukan suatu musyawarah. Semua pihak dalam serikat ini mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam perdagangan yang mereka sepakati dan keuntungan yang diperoleh dibagi sama banyak.
Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Zaidiyah (salah satu mazhab dalam Syiah) menyatakan bentuk serikat ini dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Jika kamu melaksanakan mufawadah, maka lakukanlah dengan cara yang baik, karena akad seperti ini membawa berkah” (HR. Ibnu Majah).
Menurut ulama Mazhab Maliki, serikat mufÎwa«ah dianggap sah apabila masing-masing pihak dapat bertindak hukum secara mutlak dan mandiri terhadap modal kerja tanpa minta izin dan musyawarah dengan pihak lainnya. Apabila salah satu pihak melakukan suatu transaksi maka pihak lain terikat dengan transaksi yang telah dibuat itu.
Ulama Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali menilai bahwa bentuk serikat mufawadah seperti yang dikemukakan Mazhab Hanafi dan Mazhab Zaidiyah di atas tidak dapat diterima karena sulit untuk menentukan prinsip kesamaan modal, kerja, dan keuntungan.
Dalam serikat ini terdapat unsur yang kurang jelas dan unsur penipuan karena tidak mungkin tindakan seseorang akan dapat diterima pihak lain tanpa persetujuannya. Menurut mereka, hadis yang dijadikan dasar oleh Mazhab Hanafi dan Mazhab Zaidiyah adalah hadis daif (lemah), bahkan tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa kandungan hadis itu tertuju kepada serikat mufawadah.
Syirkah al-wujuh adalah serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak mempunyai modal. Mereka melakukan suatu pembelian dengan kredit dan menjualnya dengan harga kontan. Keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Zaman sekarang, serikat yang mirip makelar ini banyak dilakukan. Menurut ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, dan Mazhab Zaidiyah, serikat seperti ini dibolehkan. Ulama Mazhab Maliki, Mazhab Syafi‘i, dan Mazhab az-Zahiri menyatakan serikat ini batal karena objek perserikatan, yaitu modal dan kerja, tidak jelas.
Syirkah al-abdan/al-a‘mal, yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua orang untuk menerima suatu pekerjaan, seperti tukang jahit, bengkel, dan pelayanan barang elek-tronik. Keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Menurut ulama Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, dan Mazhab Zaidiyah perserikatan seperti ini dibolehkan karena tujuan utama perserikatan ini adalah mencari keuntungan dengan modal kerja bersama. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Ibnu Mas‘ud, Ammar, dan Sa‘ad melakukan suatu perserikatan dalam Perang Badar (ta-hun ke-2 H) untuk bekerjasama mendapatkan harta rampasan perang. Ibnu Mas‘ud mengatakan, “Saya dan Ammar tidak mendapatkan apa-apa, sedangkan Sa‘ad mendapatkannya.
Ketika itu Rasulullah SAW tidak mengingkari perserikatan kami itu” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Ubaidah). Akan tetapi ulama Mazhab Maliki mengajukan syarat bahwa kerja yang dilakukan orang yang berserikat ini harus sejenis, satu tempat, dan hasil yang diperoleh dibagi menurut kuantitas kerja masing-masing.
Ulama Mazhab Syafi‘i menyatakan bahwa perserikatan seperti ini tidak sah secara hukum, karena kerja yang dilakukan tidak dapat di-ukur sehingga ada kemungkinan terjadinya penipuan.
Mudharabah adalah persetujuan antara pemilik modal dan seorang pekerja untuk mengelola uang dalam perda gangan tertentu. Keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama, sedangkan kerugian yang diderita menjadi tanggungan pemilik modal. Mudharabah mempunyai enam syarat, yaitu:
(1) kedua belah pihak adalah orang yang cakap bertindak sebagai wakil;
(2) modal yang diberikan berbentuk uang tunai;
(3) jumlah modal jelas;
(4) diserahkan langsung kepada pekerja (pengelola) dagang;
(5) pembagian keuntungan dinyatakan secara jelas pada waktu akad; dan
(6) pembagian keuntungan diambil dari hasil perserikatan itu, bukan dari harta lain.
Syarat umum akad syirkah adalah:
(1) perserikatan merupakan transaksi yang bisa diwakilkan;
(2) persentase pembagian keuntungan di antara yang berserikat jelas; dan
(3) pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari harta lain.
Syarat khusus bagi syirkah al-‘uqud disesuaikan dengan bentuk perserikatan yang dilakukan. Syirkah al-amwal mempunyai syarat:
(1) modal perserikatan jelas dan nyata, bukan berupa utang dan
(2) modal berbentuk uang tunai, bukan berbentuk barang.
Ulama berbeda pendapat tentang apakah modal yang diberikan masing-masing pihak yang berserikat harus disatukan. Menurut jumhur ulama dari kalangan Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali, modal tersebut tidak harus disatukan karena transaksi perserikatan itu dinilai sah melalui akadnya, bukan hartanya.
Menurut Mazhab Maliki, sekalipun tidak disyaratkan penyatuan modal masing-masing, bukan berarti bahwa modal terpisah sama sekali. Secara hukum, modal orang yang berserikat itu harus telah bersatu.
Ulama Mazhab Syafi‘i, Mazhab Zahiri, dan Mazhab Zaidiyah berpendapat bahwa dalam serikat al-amwal, modal orang yang berserikat itu harus disatukan sebelum akad dilaksana-kan sehingga tidak bisa dibedakan antara modal kedua belah pihak karena syirkah berarti “percampuran dua harta”. Dalam membahas perbedaan pendapat ini, Ibnu Rusyd (520 H/1126 M–595 H/1198 M) menyatakan bahwa kedua harta (modal) lebih baik dan lebih sempurna disatukan karena semua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap harta itu.
Syarat khusus untuk syirkah al-mufawadah adalah:
(1) kedua belah pihak adalah orang yang cakap untuk dijadi kan wakil;
(2) modal, kerja, dan keuntungan masing-masing pihak harus sama; dan
(3) semua pihak berhak untuk bertindak hukum dalam seluruh objek perserikatan itu.
Syarat khusus untuk syirkah al-a‘mal dibedakan antara yang berbentuk mufawadah dan ‘inan. Syarat untuk yang berbentuk mufawadah sama dengan syirkah mufawadah, sedangkan syarat yang berbentuk ‘inan hanyalah bahwa yang berakad itu adalah orang yang cakap bertindak sebagai wakil.
Syarat khusus untuk syirkah al-wujuh yang berbentuk mufawadah sama dengan syarat syirkah al-mufawadah. Jika serikat wujuh ini berbentuk ‘inan, boleh saja modal salah satu pihak lebih besar dari pihak lain dan keuntungannya dibagi menurut persentase modal masing-masing.
Transaksi perserikatan secara umum bisa berakhir atau batal dengan beberapa syarat:
(1) salah satu pihak mengun durkan diri,
(2) salah satu pihak wafat,
(3) salah satu pihak menderita penyakit gila yang sulit disembuhkan, dan
(4) salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) dan melarikan diri ke negeri yang berperang dengan negeri muslim, karena orang seperti ini dianggap telah wafat.
Daftar Pustaka
Ibnu Abidin. Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar. Ibnu: al-Babi al-Halabi, 1974.
Ibnu Qudamah. al-Mugni. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, t.t.
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba‘ah. Libanon: Dar al-Fikr, 1972.
al-Kasani. Bada’i‘ as-sana’i‘. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, t.t.
al-Khafif, Ali. asy-Syarikat fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980.
as-San‘ani, Muhammad bin Ismail al-Kahlani. Subul as-Salam. Kuwait: Dar as-Salafiyyah, 1985.
az-Zuhaeli, Wahbah. al-‘Uqud al-Musamma. Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Nasrun Haroen