Syiah

(Ar.: Syi‘ah)

Aliran dalam Islam yang meyakini­ Ali bin Abi Thalib (khalifah keempat dari al-Khulafa’ ar-Rasyidun; 603–661) serta keturunannya­ sebagai imam atau pemimpin agama­ dan umat setelah Nabi SAW wafat disebut Syiah. Dari segi bahasa, kata “syiah” berarti “pengikut, kelompok,­ atau golongan”,­ seperti dalam­ surah as-saffat (37) ayat 83 yang berarti: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh).”

Paham Syiah dianut oleh sekitar dua puluh persen dari umat Islam dewasa ini. Penganut paham Syiah tersebar di Iran, Irak, Afghanistan,­ Pakistan, India, Libanon, Arab Saudi, Bahrein, Kuwait, bekas negara Uni Soviet, serta bebe­rapa negara Amerika dan Eropa.

Sejarah Lahirnya Syiah. Para penulis sejarah­ Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syiah. Sebagian menganggap Syiah lahir langsung­ setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada saat perebutan kekuasa­an antara go­longan Muhajirin dan Ansar di Balai Pertemuan­ Saqifah Bani Sa’idah.

Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin­ yang menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syiah lahir pada masa akhir kekhalifahan Usman bin Affan (me­ merintah 644–656) atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Pada masa itu terjadi pemberontakan terhadap Khalifah­ Usman bin Affan yang berakhir dengan kematian­ Usman dan ada tuntutan umat agar Ali bin Abi Thalib bersedia dibaiat sebagai khalifah.

Pendapat yang paling­ populer menyatakan­ bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perun­dingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak­ Mu‘awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut peristiwa­ at-tahkim atau arbitrasi.

Akibat kegagalan­ itu, sejumlah pasukan­ Ali membe­rontak terhadap kepe­ mimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij­ (orang yang keluar)­. Sebagian besar orang yang setia kepada Khalifah­ disebut Syi‘atu ‘Ali (pengikut­ Ali).

Pendirian kalangan Syiah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusn-ya berkuasa setelah Nabi Masjid kaum Syiah di Baghdad, peninggalan Khalifah Harun ar-Rasyid (786–809) Muhammad SAW wafat telah tumbuh sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad SAW sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian menurut Syiah, inti dari ajaran Syiah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.

Namun demikian, terlepas dari semua pendapat ter­sebut, yang jelas adalah bahwa Syiah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Ali dan pasukan Mu‘awiyah terjadi pula kemelut antara sesama pasukan Ali. Di antara pasukan­ Ali pun terjadi pula pertentangan antara yang tetap setia kepada Ali dan yang membangkang­.

Setelah kematian Ali bin Abi Thalib pada 40 H/661 M akibat tusukan benda tajam beracun oleh Abdur Rahman bin Muljam, kursi kekhalifahan beralih kepada Hasan bin Ali, anak Khalifah Ali dari istrinya, Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW.

Kekuasaan Hasan bin Ali tidak bertahan lama karena pendukungnya makin lama­ makin berkurang. Sementara itu, para pendukung Mu‘awiyah bin Abu Sufyan yang menuntut kursi kekhalifahan­ bagi dirinya semakin bertambah.

Me­lihat gelagat yang kurang baik ini, akhirnya Hasan bin Ali terpaksa menyerahkan kedudukannya ke­pada Mu‘awiyah dengan persyaratan yang telah disepakati bersama, yaitu antara lain: kursi kekhalifahan sesudah Mu‘awiyah diserahkan kepada pilihan umat, tidak melaknat Ali bin Abi Thalib, dan tidak mengambil tindakan balas dendam terhadap kaum Syiah.

Namun, Mu‘awiyah tidak menepati janjinya itu. Ke­ dudukan sebagai khalifah dialihkannya kepada putranya (Yazid), Ali bin Abi Thalib selalu dikutuknya,­ dan para Syiah pengikut Ali diburunya.

Akibat perlakuan Mu‘awiyah, kaum Syiah hidup­ dalam suasana tegang dengan para penguasa. Ke­tegangan ini memuncak pada 10 Muharam­ 61, yaitu ketika Husein bin Ali dan sebagian­ kerabat­ Nabi Muhammad SAW dibantai di Padang Karbala, Irak.

Peristiwa ini melahirkan­ aksi pemberontakan yang berkepanjangan­ di kalangan sebagian pengikut Syiah di kemudian­ hari, seperti pemberontakan­ Mukhtar as-Saqafi, pemberontakan Zaid bin Ali bin Husein, pemberontakan Yahya bin Zaid, dan pemberontakan­ Nafs az-Zakiyyah.

Persoalan Imamah. Sejalan dengan perkem­bangan­ zaman dan sesuai dengan keadaan umat Islam lainnya, dalam Syiah pun berkembang berbagai pemikiran keislaman­ yang pada intinya berpusat pada tokoh Ahlulbait (keluarga Nabi Muhammad SAW), seperti Ali bin Husein Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Zaid bin Ali, dan Ja‘far as-Sadiq.

Pemikiran yang paling menonjol­ terletak pada persoalan imamah atau ke­ pemim­pinan­ umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Hampir semua sekte Syiah menekankan arti penting kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Persoalan imamah inilah yang membedakan Syiah dari aliran Islam lainnya seperti Khawarij, Muktazilah, dan Ahlusunah waljamaah.

Dalam hal ini, golongan Syiah mengajukan berbagai ala-san atas keyakinan mereka itu, baik berupa­ alasan ‘aqliyyah (secara rasio) maupun alasan ‘aqliyyah (berdasarkan­ yang tertulis, yakni Al-Qur’an dan hadis). Alasan naqliyyah yang mereka ajukan antara lain adalah sebagai­ berikut: Pertama, surah al-Ma’idah (5) ayat 55 yang berarti:

“Sesungguhnya penolong­ kamu hanyalah­ Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan dan menunaikan­ zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” Menurut Syiah, orang yang beriman yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Ali bin Abi Thalib.

Kedua, sabda Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Barangsiapa yang mengang­gap­ aku ini adalah pemimpinnya, maka Ali adalah­ pemimpinnya.”

Sekte dalam Syiah. Selain membeda­kan­ Syiah dengan aliran Islam lainnya, persoalan­ imamah juga menimbulkan sekte dalam­ Syiah itu sendiri. Semua sekte Syiah sepakat­ bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun, setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti Imam Husein.

Dalam hal ini muncul dua kelompok dalam Syiah. Ke­lompok pertama meyakini imamah beralih kepada Ali bin Husein Zainal Abidin, putra Husein­ bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini­ bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah,­ putra Ali bin Abi Thalib dari istri bukan Fatimah.

Akibat perbedaan antara kedua kelompok ini, muncul­ lah berbagai sekte dalam Syiah. Sebagian di antara sekte ini sebetulnya tidak dapat di­sebut sekte atau aliran karena hanya meru­pakan­ pandangan seseorang atau sekelompok kecil.

Para penulis klasik berselisih tajam mengenai jumlah sekte dalam Syiah. Akan tetapi, para ahli umumnya mem­bagi sekte Syiah dalam empat go­longan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Gulat.

Golongan Kaisaniyah. Kaisaniyah adalah sekte Syiah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah Husein­ bin Ali wafat. Nama Kaisaniyah diambil dari nama seorang bekas budak Ali bin Abi Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.

Sekte Kaisaniyah terpecah menjadi dua kelom­pok­. Pertama, yang mempercayai bahwa Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi hanya gaib dan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman.

Mereka menganggap, Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang di­janjikan itu. Yang termasuk golongan Kai­saniyah antara lain adalah sekte al-Karabiyah, pengikut Abi Karb ad-Darir.

Kedua, kelompok yang mempercayai­ bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah mati, tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk kelompok ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hasyim. Sekte ini terpecah-pecah setelah Abi Hasyim meninggal­.

Menurut Ibnu Khaldun, di antara sekte Hasyimiyah yang pecah menjadi beberapa­ kelompok tersebut adalah­ para penguasa pertama Dinasti Abbasiyah, yaitu Abu Abbas as-Saffah dan Abu Ja‘far al-Mansur. Ibnu Khaldun selanjutnya menyatakan bahwa setelah Abi Hasyim mening­gal, jabatan imamah berpindah kepada­ Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al-Imam, as-Saffah, dan al-Mansur.

Sekte Kaisaniyah ini telah lama musnah. Namun,­ ke­besaran dan kehebatan nama Muhammad bin Hanafiyah ini masih dapat dijumpai da­lam cerita rakyat, seperti yang terdapat dalam­ cerita rakyat Aceh dan hikayat Melayu­ yang terkenal,­ Hikayat Muhammad Hanafiyah­. Hikayat ini telah dikenal di Malaka sejak abad ke-15.

Golongan Zaidiyah. Zaidiyah adalah sekte dalam­ Syiah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepe­mimpinan­ Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui­ kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti­ yang diakui sekte Imamiyah, karena menurut­ mereka Ali bin Husein Zainal Abidin di­anggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin.

Dalam Zaidiyah, seseorang dapat diangkat sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni keturunan Fatimah binti Muhammad SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup­ hanya dengan beribadah), berjihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata, dan be­rani. Disebutkan­ bahwa sekte Zaidiyah mengakui keabsah­an khilafah atau imamah Abu Bakar as-Siddiq (kha­lifah pertama), dan Umar bin Khattab (khali­fah­ kedua).

Dalam teologi mereka disebutkan bahwa mereka­ tidak menolak prinsip imamah al-mafdul ma‘a wujud al-afdhal, yaitu bahwa seseorang yang lebih rendah tingkat kemam­ puannya dibanding orang lain yang sezaman dengannya dapat menjadi imam atau pemimpin, sekalipun orang yang lebih tinggi dari dia itu masih ada. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib dinilai lebih tinggi daripada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu, sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syiah yang paling dekat dengan sunah.

Dalam persoalan imamah, sekte Zaidiyah ini berbeda pendapat dengan sekte Itsna ‘Asyariyah atau Syiah Dua Belas yang menganggap bahwa jabatan imamah harus dengan nas. Menurut Zaidiyah, imamah­ tidak harus dengan nas tetapi boleh dengan ikhtiar atau pemilihan.

Dari segi teologi, penganut paham Zaidiyah ini beraliran teologi Muktazilah. Oleh karena itu, tidak heran kalau sebagian tokoh Muktazilah,­ terutama­ Muktazilah Baghdad, berasal dari kelompok­ Zaidiyah, antara lain Qadi Abdul Jabbar, tokoh Muktazilah terkenal yang menulis kitab Syarh al-Usul al-Khamsah.

Hal ini bisa terjadi karena­ adanya hubungan yang dekat antara pendiri Muktazilah, Wasil bin Ata, dan Imam Zaid bin Ali. Akibatnya muncul kesan bahwa ajaran Muktazilah berasal dari Ahlulbait atau bahkan sebaliknya,­ justru Zaid bin Ali yang terpengaruh Wasil bin Ata sehingga ia mempunyai pandangan yang dekat dengan sunah.

Sekte yang berasal dari golongan Zaidiyah yang muncul kemudian adalah Jarudiyah, Su­lai­maniyah, dan Batriyah atau as-Salihiyah.

Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Ziyad bin Abu Ziyad. Sekte ini menganggap bahwa Nabi SAW telah menentukan Ali sebagai­ pengganti atau imam setelahnya. Akan tetapi penentuannya tidak dalam bentuk yang te­gas, melainkan­ dengan isyarat (menyinggung secara­ tidak langsung) atau dengan al-wasf (menyebut­-nyebut keung­ gulan Ali dibandingkan yang lainnya).

Sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah adalah urusan kaum muslimin, yaitu de­ngan sistem musyawarah sekalipun hanya oleh dua tokoh muslim.

Bagi mereka, seorang imam tidak harus merupakan yang terbaik di antara kaum muslimin. Oleh karena itu, sekalipun yang layak menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW adalah Ali bin Abi Thalib, akan tetapi kepemimpinan­ Abu Bakar dan Umar bin Khat-tab adalah sah. Hanya dalam hal ini umat telah melakukan­ kesalahan karena­ tidak memilih Ali.

Namun,­ mereka tidak mengakui­ kepemimpinan Usman bin Affan karena menurut mereka Usman telah menyimpang dari ajaran Islam. Sekte Sulaimaniyah­ ini juga disebut al-Jaririyah.

Sekte Batriyah atau as-Salihiyah adalah pengikut­ Kasir an-Nu‘man al-Akhtar atau pengikut Hasan bin Saleh al-Hayy. Pandangan mereka mengenai­ imamah sama dengan pandangan sekte Su­laimaniyah. Hanya saja dalam masalah Usman bin Affan, sekte Batriyah tidak memberikan sikapnya­. Mereka berdiam diri atau tawaqquf.

Me­nurut al-Baghdadi (ahli usul fikih), sekte ini adalah sekte Syiah yang paling dekat dengan Ahlusunah. Oleh karena itu, Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadis dalam kitabnya sahih Muslim dari Hasan bin Saleh al-Hayy.

Golongan Imamiyah. Imamiyah adalah go­longan yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam penggantinya dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak meng­ akui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun­ Usman. Bagi mereka, persoalan imamah adalah­ salah satu persoalan pokok dalam agama atau usuluddin.

Sekte Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan­. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Golongan ke­dua terbesar adalah golongan Ismailiyah. Dalam sejarah Islam, kedua golongan sekte Imamiyah ini pernah memegang puncak kepemimpinan politik Islam. Golongan Ismailiyah berkuasa di Mesir dan Baghdad. Di Mesir golongan Ismailiyah berkuasa melalui Dinasti Fatimiyah. Pada waktu yang sama golongan­ Itsna ‘Asyariyah dengan Dinasti Buwaihi­ menguasai­ kekhalifahan­ Abbasiyah selama kurang lebih­ satu abad.

Semua golongan yang bernaung dengan nama Imamiyah ini sepakat bahwa imam pertama ada­lah Ali bin Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad al-Baqir, dan Ja‘far as-Sadiq. Sesudah itu mereka berbeda pendapat mengenai siapa imam peng­ganti Ja‘far as-Sadiq.

Di antara mereka ada yang me­yakini bahwa jabatan imamah tersebut pindah­ ke anaknya,­ Musa al-Kazim. Keyakinan ini ke­mudian melahirkan sekte Itsna ‘Asyariyah atau Syiah Dua Belas. Sementara yang lain meyakini bahwa ima­mah pindah kepada putra Ja‘far as-Sadiq, Isma‘il bin Ja‘far as-Sadiq, sekalipun ia telah meninggal dunia sebelum Ja‘far as-Sadiq sendiri. Mereka ini disebut golongan Ismailiyah.

Sebagian lain meng­anggap bahwa jabatan ima­mah berakhir dengan meninggalnya Ja‘far as-Sadiq. Mereka disebut golongan­ al-Waqifiyah atau golongan­ yang berhenti pada Imam Ja‘far as-Sadiq.

Sekte Itsna ‘Asyariyah atau Syiah Dua Belas me­rupakan sekte terbesar Syiah dewasa ini. Sekte ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan­ dua belas orang imam sebagai pene­rus­ risalahnya.

Golongan Itsna ‘Asyariyah percaya bahwa kedua­ belas imam tersebut maksum (manu­sia suci). Apa yang dikata­kan dan dila­kukan mereka tidak akan bertentangan dengan kebenaran­ karena mereka selalu dijaga Allah SWT dari perbuatan salah dan bahkan dari kelupaan­.

Menurut Syiah Dua Belas, jabatan imamah berakhir­ pada Imam Muhammad al-Muntazar bin Hasan al-Askari. Sesudah itu, tidak ada imam lagi sampai hari kiamat. Namun, Imam Mu­ hammad al-Muntazar bin Hasan al-Askari ini atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Mahdi, diyakini belum mati sampai saat ini.

Menurut­ mereka­ Imam Mahdi masih hidup, tetapi tidak dapat dijangkau oleh umum dan nanti pada akhir zaman Imam Mahdi akan muncul kembali. Dengan kata lain, Imam Muhammad al-Muntazar diyakini gaib.

Menurut Syiah Dua Belas, selama dalam masa kegaiban Imam Mahdi, jabatan kepemimpinan umat, baik dalam urusan keagamaan maupun urusan­ kemasyarakatan­ dilimpahkan­ kepada fukaha­ (ahli hukum­ Islam) atau mujtahid (ahli agama­ Islam yang telah mencapai tingkat ijtihad mutlak). Fukaha atau mujtahid ini harus memenuhi tiga kriteria:

(1) faqahah, yaitu ahli dalam bidang agama Islam;

(2) ‘adalah (adil), takwa, dan istiqa­mah­ (konsisten) dalam menjalankan aturan agama; dan

(3) kafa’ah, yaitu memiliki kemampuan memimpin dengan baik.

Mujtahid atau fakih yang menggantikan ja­ batan Imam Mahdi itu disebut na’ib al-imam atau wakil imam. Ayatullah Ruhollah Khomeini, misalnya, adalah salah seorang na’ib al-imam tersebut.

Sebagai sekte Syiah terbesar, kelompok Syiah Dua Belas sebenarnya bukan golongan Imamiyah atau golongan yang hanya memusatkan perhatian pada persoalan imamah semata, tetapi juga me­rupakan golongan yang terlibat aktif dalam pemi­kiran­ keislaman lainnya seperti teo­logi, fikih, dan filsafat.

Dalam teologi, sekte Itsna ‘Asyariyah­ ini dekat dengan golongan Muktazilah,­ tetapi dalam persoalan pokok agama mereka berbeda. Pokok agama menurut Syiah Dua Belas ini adalah at-tauhid (tauhid), al-‘adl (keadil­an),­ an-nubuwwah (wahyu, kenabian),­ al-imamah (imamah/kepemimpinan),­ dan al-ma‘ad (tempat kembali setelah mening­gal). Se­mentara itu, dalam bidang fikih, mereka tidak terikat pada satu mazhab fikih mana pun.

Menurut sekte ini, selama masa kegaiban Imam Mahdi urusan penetapan­ hukum­ Islam harus melalui ijtihad dengan berlandaskan pada Al-Qur’an, hadis atau sunah Nabi Muhammad SAW, hadis atau sunah Imam Dua Belas, ijmak, dan akal.

Sekte Ismailiyah, sekte terbesar kedua dalam golongan­ Imamiyah, adalah golongan yang mengakui­ bahwa Ja‘far as-Sadiq telah menunjuk Isma‘il, anaknya, sebagai imam penggantinya se­sudah ia wafat. Akan tetapi, karena Isma‘il bin Ja‘far as-Sadiq telah meninggal lebih dahulu maka sebe­narnya­ penunjukan itu dimaksudkan kepada anak Is-ma‘il, yaitu Muhammad bin Isma‘il.

Muhammad­ bin Isma‘il lebih dikenal dengan sebutan Muhammad al-Maktum (Ar.: al-maktum = menyem­bu­nyi­kan­ diri). Golongan Ismailiyah berpendapat, selama seorang­ imam belum­ mempunyai kekuatan yang cukup untuk mendirikan kekuasaan maka imam tersebut perlu menyembunyikan diri; baru setelah merasa cukup kuat ia akan keluar dari persembunyiannya.

Selama­ masa persembunyiannya­ itu, sang imam meme­rintahkan utusannya untuk­ mengga­lang kekuatan. Oleh karena itu, bebe­rapa imam sesudah Muhammad al-Maktum selalu menyembunyikan diri sampai masa Abdullah al-Mahdi yang kemudian berhasil mendirikan dan menjadi khalifah pertama Dinasti Fatimiyah di Mesir. Imam yang menyembunyi­kan diri ini disebut al-imam al-maur.

Sebagian penganut sekte ini percaya bahwa sebenarnya Isma‘il bin Ja‘far tidak meninggal­ dunia,­ melainkan hanya gaib dan akan kembali lagi ke dunia pada akhir zaman. Mereka disebut sekte as-Sab’iyah atau golongan yang mem­percayai tujuh imam. Untuk sekte ini, imam terakhir adalah Isma‘il bin Ja‘far.

Golongan Ismailiyah sampai saat ini masih ada, namun jumlah mereka sedikit sekali. Pengikut sekte ini terutama terdapat di India. Agha Khan adalah salah seorang imam Ismailiyah.

Kaum Gulat. Kaum Gulat adalah golongan yang ber­lebih-lebihan dalam memuja Ali bin Ali Thalib atau imam lain dengan menganggap bahwa para imam tersebut bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Menurut al-Baghdadi, kaum Gulat telah ada sejak masa Ali bin Abi Thalib. Mereka memanggil­ Ali dengan sebutan “anta, anta” yang berarti­ “engkau, engkau”. Yang dimaksud di sini adalah:­ engkau adalah Tuhan. Menurut al-Baghdadi, seba­gian­ dari mereka sempat dibakar hidup-hidup oleh Ali bin Abi Thalib. Tetapi pemimpin mereka, Abdullah bin Saba, hanya dibuang ke Madain.

Sebagian ulama berpendapat, Kaum Gulat ti­dak dapat digolongkan dalam kelompok Syiah karena mereka telah jauh menyimpang dari ajaran­ Islam terutama dalam masalah tauhid. Di antara mereka ada yang menyalahkan atau bahkan mengutuk Ali bin Abi Thalib karena tidak menuntut haknya dari penguasa yang telah merampas haknya sebagai pengganti atau khalifah sesudah Nabi Muhammad SAW. Hal ini berlawanan dengan ajaran Syiah, ka­rena inti ajaran Syiah justru memuliakan Ali bin Abi Thalib.

Dalam Syiah sendiri, sebagaimana yang dise­but­kan­ Ibnu Khaldun dan ulama Syiah, Kaum Gulat dipandang sebagai golongan yang sesat dan tidak diakui sebagai sekte Syiah, bahkan juga tidak sebagai golongan Islam sekalipun.

Dalam sebuah riwayat Syiah disebutkan bahwa ketika­ suatu hari Bisyar asy-Syairi, seorang Gulat, datang ke rumah Ja‘far as-Sadiq, Imam Ja‘far mengusirnya seraya berkata, “Sesung­guhnya Allah telah melaknatmu. Demi Allah, aku tidak suka seatap denganmu.” Ketika­ asy-Syairi keluar, Ja‘far as-Sadiq berkata kepada pengikutnya,

“Celakalah dia. Ia adalah setan, anak dari setan. Dia lakukan ini untuk menyesatkan sahabat dan Syiahku; maka hendaklah berhati-hati terhadapnya. Orang-orang yang telah tahu akan hal ini hendaknya menyampaikan kepada orang lain bahwa aku adalah hamba Allah dan anak seorang perempuan, hamba-Nya. Aku dilahirkan dari perut­ seorang wanita. Sesungguhnya aku akan mati dan dibangkitkan kembali pada hari kiamat, dan aku akan ditanya tentang perbuatan-perbuatanku­.”

Kaum Gulat dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu golongan as-Sabaiyah dan golongan­ al-Gurabiyah. Golongan as-Sabaiyah, berasal­ dari nama Abdullah bin Saba, adalah go­longan yang menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib adalah jelmaan dari Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Menurut mereka, sesungguhnya Ali masih hidup. Yang terbunuh di tangan Abdur Rahman bin Muljam di Kufah itu sesungguhnya bukanlah Ali, melainkan­ seseorang yang dise­ rupakan­ Tuhan dengan Ali. Menurut mereka, Ali telah naik ke langit dan di sanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan kilat adalah senyumnya­. Adapun golongan al-Gurabiyah adalah go­longan yang tidak seekstrem as-Sabaiyah dalam memuja Ali bin Abi Thalib.

Menu­rut­ mereka, Ali adalah manu-sia biasa, tetapi dialah seharusnya­ yang menjadi utusan Allah SWT, bukan Nabi Muhammad SAW. Namun karena Malaikat Jibril salah alamat, wahyu yang seharusnya ia sampaikan kepada Ali malah ia sampaikan kepada Muhammad SAW, akhirnya Allah SWT mengangkat Muhammad SAW.

Akhir-akhir ini muncul beberapa penelitian, seperti­ yang dilakukan Murtaza Askari dan Thaha Husein, yang menyimpulkan bahwa sebe­narnya­ tokoh yang bernama Abdullah bin Saba itu adalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada dalam­ sejarah Islam. Dalam sejarah, Abdullah bin Saba dikatakan sebagai penganut agama Yahudi, kemudian­ masuk Islam pada masa Usman bin Affan.

Ia menghasut­ umat Islam untuk memberontak­ terhadap Usman dan menimbulkan keonaran­ di ka­langan umat Islam. Di antara ke­beratan terhadap adanya tokoh ini adalah begitu besarnya pengaruh yang dimilikinya­ terhadap umat Islam, bahkan terhadap para sahabat.

Doktrin Syiah. Paham Syiah memi­liki sejumlah doktrin penting yang terutama berkaitan­ dengan masalah imamah.

Ahlulbait (Ahl al-Bait). Secara harfiah ahlulbait berarti “keluarga atau kerabat dekat”. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan ke­pada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW. Ada tiga bentuk pengertian­ ahlulbait:

(1) mencakup istri Nabi Muhammad SAW dan seluruh Bani Hasyim;

(2) hanya Bani Hasyim; dan

(3) terbatas pada Nabi Mu­hammad SAW sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Da­lam Syiah bentuk terakhirlah yang lebih populer.

Istilah ahlulbait tercantum dalam Al-Qur’an yaitu pada surah al-Ahzab (33) ayat 33 yang berarti:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah­ kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul­-Nya. Sesungguh-nya Allah bermaksud hendak menghilangkan­ dosa dari kamu hai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Beberapa hadis juga membicarakan keutamaan-keuta­maan ahlulbait.

Al-Bada’. Dari segi bahasa bada’ berarti “tampak”. Doktrin al-bada’ adalah keyakinan bahwa Allah SWT mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru.

Menurut Syiah, perubahan keputusan Allah SWT itu bukan­ karena Allah SWT baru mengetahui sesuatu mas­lahat, yang sebelumnya tidak diketahui-Nya (seperti yang sering dianggap berbagai pihak)­. Dalam Syiah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Ja‘far as-Sadiq menyatakan,

“Barangsiapa­ yang mengatakan­ bahwa Allah SWT baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal,­ maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah SWT.”

Menurut­ Syiah, perubahan itu terjadi karena ada­maslahat­ tertentu yang menyebabkan­ Allah SWT memutuskan­ suatu perkara­ sesuai dengan si­tuasi dan kondisi zamannya, misalnya keputusan Allah SWT menggantikan­ Ismail AS dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih anaknya, Ismail AS.

Asyura. Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti “sepuluh”. Maksudnya adalah hari ke­sepuluh dalam bulan Muharam yang diperingati kaum Syiah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati­ wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya­ di tangan pasukan Yazib bin Mu­‘awiyah bin Abu Sufyan pada 61 H/681 M di Karbala, Irak.

Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain me­ngenang perjuangan Husein bin Ali dalam mene­gakkan kebenaran, orang Syiah juga membaca selawat bagi Nabi Muhammad SAW dan keluarganya,­ mengutuk pelaku pembunuhan­ terhadap Hu­sein dan keluarganya itu, serta memperagakan­ berbagai atraksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung­ peti mayat) sebagai lambang kesedih­an­ terhadap wafatnya­ Husein bin Ali.

Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan di Padang Pa­riaman,­ Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.

Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah ke­yakinan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat­ harus ada pemimpin Islam yang me­lanjutkan misi atau risalah Nabi Muhammad SAW. Dalam Syiah kepemimpinan itu men­cakup persoalan­ keagamaan dan kemasyara­katan. Imam bagi mereka adalah pemimpin aga­ma dan sekaligus pe­mimpin masyarakat.

Pada umumnya, dalam­ Syiah, kecuali pada Syiah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan atas kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasar­kan­ wasiat atau penunjukan­ oleh imam sebelumnya­ atau oleh Rasulullah SAW langsung, yang lazim disebut nas. Oleh karena itu, persoalan imamah dalam Syiah termasuk salah satu rukun agama atau usuluddin.

Sementara itu, persoalan imamah dalam Suni hanya­ merupakan masalah furuk (hukum tambah­an). Dalam Suni istilah ini lebih populer dengan sebutan khilafah. Persoalan khilafah dalam Suni lebih dikaitkan pada persoalan kepemimpinan politik­ daripada sebagai persoalan keagamaan.

‘Ismah. Dari segi bahasa ‘ismah adalah bentuk masdar dari kata ‘aœama yang berarti “memelihara­ atau menjaga”. ‘Ismah adalah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad SAW, telah dijamin oleh Allah SWT dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.

Nabi SAW atau imam yang diyakini terlepas dari kesalahan itu disebut maksum. Dalam Syiah, seorang nabi atau imam haruslah bersifat maksum. Menurut mereka, apabila­ seseorang yang mendapat tugas membawa amanah Allah SWT itu tidak bersifat maksum maka akan timbul keraguan atas ke­benaran­ risalah atau amanah yang dibawanya itu.

Mahdawiyyah. Mahdawiyyah berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya­ seorang­ juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi.

Dalam Islam, keyakinan akan datangnya Imam Mahdi ini cukup berakar kuat di kalangan kaum muslimin; tidak hanya di kalangan penganut paham­ Syiah, tetapi juga di kalangan mayoritas Ahlusunah waljamaah. Hal itu disebabkan­ oleh cukup­ banyak­nya­ riwayat mengenai akan datangnya sang juru selamat ini.

Namun, antara keyakinan Syiah dan keyakinan Ahlusunah waljamaah terdapat perbeda­an­ yang cukup mencolok. Dalam Ahlusunah waljamaah,­ figur Imam Mahdi itu tidak jelas. Mahdi itu disebut­kan mempunyai beberapa kriteria, antara lain: keturunan Fatimah, memiliki nama yang serupa­ dengan nama Nabi SAW, dan akan muncul bersamaan dengan turunnya Nabi Isa AS.

Selain itu dalam Ahlusunah waljamaah ada keyakinan­ akan kegaiban Imam Mahdi. Sementara dalam Syiah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang­ dari imam yang mereka yakini. Syiah Dua Belas misalnya, memiliki­ keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazar) adalah Imam Mahdi.

Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai seka­rang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi selu­ruh masyarakat du­nia. Oleh karena itu, orang Syiah sangat menunggu-nunggu kedatangan­ Imam Mahdi ini.

Mereka menyebutnya al-Imam al-Muntazar atau imam yang ditunggu-tunggu kedatang­ annya. Dalam doa mereka se­lalu diucapkan kata seperti “‘ajjilillahumma farajahu asy-syarif (ya Allah segerakanlah kemunculan al-Mahdi yang mulia).”

Marja’iyyah atau Wilayah al-Faqih. Kata marja’iyyah berasal dari kata marja‘ yang berarti “tempat kembalinya sesuatu”. Kata wilayah al-faqih­ terdiri dari dua kata: wilayah berarti “ke­kuasaan atau ke­pemimpinan” dan faqih berarti “ahli fikih atau ahli hukum Islam”. Wilayah al-faqih berarti “kekuasaan atau kepemimpinan para fukaha”­.

Menurut Syiah Dua Belas, selama masa kegaib­an­ Imam Mahdi, kepemimpinan umat terletak di pundak fukaha, baik dalam persoalan keaga­maan­ maupun dalam urusan ke­ masyarakatan­.

Fukahalah yang seharusnya menjadi pucuk pimpin­an masyarakat, termasuk dalam persoalan kene­ga­raan atau politik. Hal itu disebabkan Imam Mahdi telah melimpahkan tang­gung jawab kepemimpin­annya yang mencakup urusan keagamaan dan ke­masyarakatan itu kepada­ fukaha yang bersifat adil dan mempunyai kemampuan memimpin.

Dalam­ pada itu, karena fukaha ini adalah penerus­ kepemimpinan Imam Mahdi selama masa ke­gaibannya, wewenang atau kekuasaan yang dimilikinya­ terhadap umat pun sangat besar. Umat harus patuh­ dan tidak boleh melanggar perin-tah mereka karena menolak mereka sama dengan menolak­ kepemimpinan­ Imam Mahdi itu sendiri.

Fukaha ini dianggap mempunyai kekuasaan yang cukup besar, tetapi tidak diyakini maksum karena sifat ‘ismah itu hanya dimiliki para imam dan nabi. Fukaha itu bukan imam, melainkan na’ib al-imam atau wakil imam pada umat. Dalam tradisi Syiah Dua Belas, fukaha ini juga disebut marja‘ dini (narasumber dalam soal agama).

Raj‘ah. Kata raj‘ah berasal dari kata raja‘a, yang berarti “pulang atau kembali”. Raj‘ah adalah keya­kinan akan di­ hidupkannya kembali sejumlah hamba Allah SWT yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah SWT yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.

Raj‘ah dalam keyakinan Syiah bukan merupakan­ ke­ yakinan pokok. Ia diyakini karena beberapa­ riwayat dari imam mereka menyatakan­ akan adanya raj‘ah tersebut. Selain itu, penganut­ Syiah pun mendasarkannya pada surah al-Gafir/ al-Mu’min (40) ayat 11 yang berarti:

“Mereka menjawab, ‘Ya Tuhan kami, Engkau telah me­ matikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?’”

Menurut mereka, dalam ayat di atas tercantum makna ar-raj‘ah karena di dalamnya di­sebutkan adanya dua ke­hidupan setelah mati, yaitu kehidupan yang terakhir­ di akhirat dan satu lagi kehinaan sesudah mati sebelum kehidupan­ di akhir­ at. Kehidupan yang disebut terakhir­ itulah menurut­ mereka yang disebut ar-raj‘ah.

Taqiyah. Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqa yang berarti “takut”. Ta­qiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan­ jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hati­an ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.

Dalam sejarah Syiah, sikap taqiyah ini sering dijumpai sehingga menjadi semacam syiar dalam ajaran mereka. Hal ini disebabkan, menurut se­jarah,­ mereka selalu di­musuhi dan diburu oleh penguasa yang tidak suka kepada me­reka, sehingga untuk menyelamatkan diri mereka terpaksa melakukan taqiyah.

Salah satu alasan yang digunakan­ Syiah untuk membenarkan sikap me­reka ini adalah peristiwa yang menimpa sahabat Ammar bin Yasir yang dipaksa orang kafir Quraisy untuk menyatakan dirinya kufur­ padahal ia sendiri tidak menghendakinya (lihat QS.16:106).

Tawassul. Tawassul adalah memohon se­suatu kepada Allah SWT dengan menyebut pribadi­ atau kedudukan seorang­ nabi, imam atau bahkan se­orang wali supaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah SWT.

Dalam Islam akhir-akhir ini terjadi perselisih­an yang cukup tajam mengenai boleh tidaknya tawassul. Di satu pihak dikatakan tawassul adalah haram (hukumnya)­ dengan alasan dapat menyekutukan Allah SWT. Kelompok ini dipelopori golongan Salafiyah­ dan Wahabi. Di lain pihak, ada kelompok yang berpendapat bahwa tawassul dibolehkan secara hukum, bahkan dianjurkan. Alasan yang diajukan ada­lah adanya firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang berarti:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS.5:35).

Kelompok ini beranggapan, adanya ke­khawatiran dapat menyekutukan Allah SWT dianggap­ berlebihan karena yang dimintai sesuatu itu bukannya pribadi, melainkan Allah SWT sendiri. Kelompok ini masih sangat kuat berakar di kalang­an umat Islam, terutama di Indonesia.

Dalam Syiah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat di­katakan bahwa hampir pada setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul­ dalam Syiah terbatas pada pribadi Nabi SAW atau imam dari ahlulbait.

Dalam doa mereka selalu di-jumpai ungkapan seperti “Allahumma bi haqqi Muhammad wa ali Muhammad…” (ya Allah, demi kedudukan Muhammad­ dan keluarga Muhammad aku bermohon­…) atau “ya Fatimah isyfa‘i li ‘indallah” (wahai Fatimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dan sebagainya.

Tawalli dan Tabarri. Kata tawalli berasal dari kata tawalla fulanan yang berarti “mengangkat seseorang­ sebagai pemimpinnya”. Adapun tabarri berasal­ dari kata tabarra’a ‘an fulan yang berarti “melepaskan­ diri atau menjauhkan diri dari se­seorang”. Tawalli dan tabarri merupakan salah satu doktrin Syiah yang amat penting.

Tawalli dimaksud­kan­ sebagai­ sikap keberpihakan kepada ahlulbait, men­cintai mereka, patuh pada perintah me­reka, dan menjauhi segala larang­an mereka. Adapun­ tabarri dimaksudkan sebagai sikap menjauhkan diri atau melepaskan diri dari musuh ahlulbait, menganggap mereka sebagai­ musuh­ Allah SWT, membenci mereka,­ dan menolak segala yang datang dari mereka.

Kedua sikap ini dianut pemeluk paham­ Syiah berdasar­ kan beberapa ayat dan hadis yang mereka pahami sebagai perintah untuk tawalli kepada ahlulbait dan tabarri dari musuhnya, misalnya hadis Nabi SAW mengenai Ali bin Abi Thalib yang berbunyi,

“Barangsiapa yang menganggap­ aku ini adalah pemimpinnya maka hendaklah ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya­. Ya Allah belalah orang yang membela Ali, musuhilah orang yang memusuhi Ali, binasakanlah orang yang menghina Ali, dan lindungilah orang yang melindungi Ali” (HR. Ahmad bin Hanbal).

Tokoh Syiah. Dalam perkembangan Syiah, selain terdapat tokoh populer seperti Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, dan Husein bin Ali, terdapat pula dua tokoh ahlulbait yang mempunyai­ pengaruh dan andil yang sa­ngat besar dalam­ pengembangan paham Syiah, yaitu Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin dan Ja‘far as-Sadiq.

Kedua tokoh ini dikenal sebagai orang besar pada zamannya. Pemikiran Ja‘far as-Sadiq bahkan di­anggap se­bagai cikal bakal ilmu fikih dan usul fikih karena keempat tokoh utama fikih Islam, yaitu Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‘i, dan Imam Han­bali, secara langsung atau tidak langsung­ pernah menimba ilmu darinya­.

Oleh karena itu, tidak heran apabila kemudian­ Syekh Mahmud Syaltut, mantan rektor Universitas al-Azhar, Mesir, mengeluarkan fatwa yang kontroversial­ di kalangan­ penganut sunah. Mahmud Syaltut menfatwakan bahwa se­ tiap orang boleh menganut fikih Zaidi atau fikih Ja‘fari Itsna ‘Asyariyah.

Adapun Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin (Madinah, 80 H/699 M–Kufah, 122 H/740 M) terkenal­ ahli terutama di bidang tafsir dan fikih. Pada usia yang relatif muda, Zaid bin Ali telah dikenal sebagai salah seorang tokoh ahlulbait yang menonjol. Ia mendapat pendidikan langsung dari ayahnya, Ali bin Husein Zainal Abidin, salah seorang­ tokoh ahlulbait yang selamat dari ancam­an kematian pada saat terjadinya pembantaian terhadap keluarga­ Nabi Muhammad SAW di Karbala, Irak.

Disebutkan bahwa Zaid bin Ali mempunyai beberapa­ karya tulis mengenai tafsir, fikih, imamah, dan haji. Salah satu di antaranya adalah kitab al-Majmu‘ (Himpunan/ Kumpulan) dalam bidang fikih. Menurut Imam Abu Zahrah (ahli usul, fikih, dan kalam), Imam Hanafi pernah berguru kepadanya­ sehingga ia mengeluarkan fatwa mendukung pemberontakan Zaid terhadap penguasa Bani Umay­ah, Hisyam bin Abdul Malik, 122 H/740 M.

Selain itu, hubungan Zaid bin Ali dengan tokoh dan sekaligus pendiri aliran teologi Muktazilah, Wasil bin Ata, sangat erat. Menurut Abu Zahrah, Wasil bin Ata sempat menimba­ ilmu dari Zaid bin Ali dan membangun teologinya berdasarkan prinsip yang dite­rimanya dari Zaid bin Ali.

Zaid bin Ali diakui semua pihak sebagai se­orang ulama yang menon-jol pada zamannya. Na­mun, si­kapnya dalam menghadapi kezaliman Bani Umayah berbeda dengan sikap saudara­ nya, Muhammad­ al-Baqir, tokoh utama ahlulbait pada saat itu dan kemenakan Ja‘far as-Sadiq.

Zaid bin Ali mengambil sikap keras. Ia memberontak terhadap ke­kuasa­an Hisyam bin Abdul Malik, kha­lifah Umayah pada saat itu. Sebelumnya ia telah menyiapkan pemberontakan yang didukung­ peng­ anut Syiah Kufah dan Khurasan selama kurang lebih setahun. Akan tetapi, pemberontakannya­ gagal dan ia sendiri tewas dalam pertem­puran melawan gu­bernur Kufah, Yusuf bin Umar.

Semula para pengikutnya­ menyembu­nyikan mayatnya karena khawa­tir­ akan tindakan­ penguasa Bani Umayah yang kerap melakukan tindakan balasan yang ke­terlalu­an­ terhadap para penantangnya­. Namun hal ini akhirnya terungkap juga. Anak Zaid bin Ali, Yahya bin Zaid, berhasil­ lolos dari kepungan tentara Yusuf bin Umar. Ia lari ke Khurasan,­ Persia, dan menggalang­ kekuatan baru.

Tiga tahun setelah peristiwa yang menimpa ayahya, Yahya mengalami peristiwa­ serupa. Dalam hal ini asy-Syahristani menyebut­kan bahwa jauh se­ belum Zaid bin Ali dan Yahya terbunuh, Ja‘far as-Sadiq pernah menye­butkan­ akan terjadinya hal itu, dan ternyata apa yang diberitahukan Ja‘far as-Sadiq itu benar adanya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahir, Isan Ilahi. asy-Syi‘ah wa Ahl as-Sunnah. Lahore: Idarah Tarjuman as-Sunnah, 1974.
al-Jabiri,‘Ali Husayn. al-Fikr as-Salafi ‘inda asy-Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah. Beirut dan Paris: Maktab al-Fikr al-Jami‘ˆ, 1977.
Nasution, Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI Press, 1978.
al-Qazwini, Amir Muhammad al-Kazimi. asy-Syi‘ah fi ‘Aqa’idihim wa Ahkamihim. Beirut: Dar az-Zahra’, 1977.
as-Subhi, Ahmad Mahmud. Fi ‘Ilm al-Kalam. Cairo: Muassasah at-Tahtafa al-Jamiyah, 1982.
–––––––. Nazariyyah Imamah lada asy-Syi‘ah Itsna ‘Asyariyyah. Cairo: Dar al-Ma‘arif, 1969.
asy-Syahristani, Abu al-Fath Muhammad Abdul Karim. al-Milal wa an-Nihal. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Wafi, Ali Abdul Waid. Bain asy-Syi‘ah wa Ahl as-Sunnah. Cairo: Dar an-Nahdah Mir, 1984.
al-Wardani, Ali. asy-Syi‘ah fi Mir: Min al-Imam ‘Ali hatta al-Imam al-Khumaini. Cairo: Maktabah Madbuli a-Agir, 1993.
Wolfson, Harry Austyn. The Philosophy of the Kalam.
Cambridge, Massachusetts and London, England: Harvard University­ Press, 1976.

UMAR SHAHAB