Ahmad Syauqi adalah seorang sastrawan Arab modern dengan reputasi internasional, kolumnis surat kabar dan majalah mingguan Mesir, serta penulis beberapa kumpulan sastra (syair, puisi). Ia menyerukan gagasan nasionalisme Mesir dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dari penjajahan Barat. Di samping itu ia juga mendakwahkan nilai moral Islam. Ia merupakan tokoh gerakan modern Mesir.
Nama lengkap Ahmad Syauqi adalah Ahmad Syauqi Bek bin Ali bin Ahmad Syauqi. Ia lahir, besar, dan tumbuh menjadi penyair besar di kota Cairo. Di dalam dirinya mengalir darah Kurdi, Turki, Yunani, dan Sirkasia (Kaukasus).
Nenek moyang ayahnya berasal dari suku Kurdi, neneknya dari garis ayah berasal dari Sirkasia, nenek moyang ibunya berasal dari Turki, dan neneknya dari garis ibu berasal dari Yunani. Karena lahir dan dibesarkan di negeri Arab, ia mengaku sebagai orang Arab.
Ia berasal dari lingkungan keluarga aristokrat yang kaya raya. Kakeknya adalah seorang pejabat tinggi negara pada masa pemerintahan Sa‘id Pasya (1854–1863). Keluarga ayahnya tinggal di rumah kakeknya itu. Karena kakeknya senang hidup berfoya-foya, harta kakeknya cepat berkurang setelah tidak lagi memegang jabatan.
Ketika Ahmad Syauqi lahir, dapat dikatakan kakeknya sudah jatuh miskin. Ia kemudian diasuh neneknya dari garis ibu, Timraz, yang ketika itu men-jadi pelayan istana pada masa pemerintahan Isma‘il Pasya (1863–1879).
Sejak berusia 4 tahun ia sudah mendapat pendidikan. Di sekolah tingkat dasar dan tingkat menengah ia sering tampil sebagai murid berprestasi karena kecerdasannya. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat menengah pertama, ia melanjutkan ke sekolah hukum, setingkat sekolah menengah tingkat atas. Ia kemudian masuk ke jurusan terjemah selama 2 tahun.
Ia dikagumi guru bahasa Arabnya, Muhammad Rajab al-Bayumi, penyair terkenal pada masa itu, karena dalam usia muda mampu melantunkan syair indah. Sejak itu, al-Bayumi merasa berkepentingan untuk menggemblengnya dalam bi-dang kesusastraan. Ahmad Syauqi kemudian sering diajaknya mengunjungi pertemuan budaya.
Keberhasilan Ahmad Syauqi dalam bidang ini sampai ke telinga Taufiq Pasya (memerintah 1879–1892). Setelah tamat dari jurusan terjemah, pada 1887 ia dikirim ke Perancis oleh Taufiq Pasya untuk mendalami ilmu hukum dan kesusastraan Perancis. Masa pendidikan di negara itu dilaluinya selama 4 tahun, 2 tahun di Montpellier dan 2 tahun di Paris. Setelah menyelesaikan pendidikannya, selama 6 bulan ia berkeliling ke Perancis, Inggris, dan Aljazair.
Selama belajar di Perancis, ia menggemari teater. Tidak jarang ia meninggalkan kota Montpellier dan pergi ke Paris hanya untuk menonton teater sastra dan pertunjukan drama. Ia juga kerap kali bertemu dengan tokoh teater dan sastrawan besar Perancis. Ia juga senang membaca buku Perancis, terutama dalam bidang sastra.
Pada 1891 ia kembali ke Mesir. Kegemaran membacanya kemudian diarahkan kepada karya sastra Arab, seperti kumpulan puisi Abu Nuwas, Abu Tamam, al-Buhturi, dan al-Mutanabbi.
Ia disambut oleh pihak istana dengan gembira, lingkungan tempat ia dibesarkan dahulu. Oleh Abbas Helmi Pasya (berkuasa 1892–1914), ia diangkat menjadi kepala kantor penerjemah ke dalam bahasa Eropa. Jabatan ini dipegang-nya selama 20 tahun. Selama itu pula ia menjadi seorang pujangga besar istana.
Pada 1894 ia diutus mewakili pemerintah Mesir untuk menghadiri Kongres Orientalis di Genewa, Swiss. Setelah kongres berakhir ia menetap di Swiss selama sebulan dan kemudian mengunjungi Belgia. Kunjungannya di kedua negara itu semakin memperkaya dirinya dengan pengetahuan dan peradaban Eropa.
Ketika Perang Dunia I berlangsung, Inggris menduduki Mesir, memberhentikan Abbas Helmi Pasya dari jabatan raja, dan membuang Ahmad Syauqi. Penyair ini memilih untuk mengasingkan diri ke Spanyol beserta keluarganya.
Di tempat pengasingan ini Ahmad Syauqi menyempatkan diri berkun-jung ke beberapa kota untuk menyaksikan peninggalan megah bangsa Arab dahulu kala. Kota yang dikunjunginya antara lain adalah Cordoba, Sevilla, dan Granada.
Setelah 4 tahun berada di pengasingan, pada 1919, ketika Perang Dunia I telah usai, ia kembali ke Mesir beserta keluarganya. Ketika itu Mesir sudah jauh berubah karena bangkitnya gerakan nasionalisme. Ia segera bergabung dengan tokoh pergerakan dan dengan cepat tampil sebagai “corong”nya, bahkan juga membela nasib bangsa terjajah lainnya, bangsa Arab, bangsa Islam, dan pada umumnya bangsa Timur.
Untuk itu ia menulis di berbagai surat kabar dan majalah mingguan Mesir. Melalui syairnya, ia berseru agar umat Islam di seluruh dunia bersatu dalam satu barisan, berusaha mengembalikan kejayaan umat Islam di masa silam.
Ia menyatakan bahwa cita-cita itu tak mungkin dicapai tanpa pengorbanan. Syairnya membangkitkan perasaan nasionalisme, melahirkan gairah kebangsaan dan jiwa patriotik. Selain melalui media massa, gagasannya itu juga disampaikannya dalam Majelis Perwakilan Rakyat Mesir; ia kemudian juga terpilih menjadi anggotanya.
Reputasi besarnya dalam bidang sastra dengan cepat pulih kembali. Ke mana pun ia pergi, orang selalu menyambutnya dengan baik. Rumahnya menjadi tempat pertemuan tokoh pergerakan dan para sastrawan. Ia juga sering didatangi para pembesar negara asing yang sedang berkunjung ke Mesir. Pada 1926, Thagur, seorang sastrawan besar India, datang ke Mesir menemuinya. Demikian pula Is‘af an-Nasyasyibi, sastrawan Palestina, dan Sayid as-Sa’alibi, pemimpin politik Tunisia.
Pada 1927 ia menerbitkan kumpulan puisi dengan judul asy-Syauqiyyat. Kumpulan puisinya ini terus bertambah menjadi empat jilid sesuai dengan semakin banyaknya puisi yang digubahnya.
Sesuai dengan masa itu, puisinya mencerminkan cita-cita bangsa Arab, mendukung gerakan kemerdekaan nasional, dan menentang kelaliman penjajahan Barat. Gagasan yang terkandung dalam kumpulan puisinya itu dianggap mengilhami kebangkitan bangsa Arab di negeri Arab lainnya.
Dalam rangka peluncuran perdana karya sastra ini, diselenggarakan sebuah pertemuan besar. Menyusul setelah itu diadakan beberapa kali pertemuan yang dihadiri utusan dari negara Arab lainnya, seperti Muhammad Kurd Ali mewakili al-Majma‘ al-‘Ilmi al-‘Arabi (Lembaga Ilmiah Arab) yang berpusat di Damascus, Syibli Milath dan Syaqib Arselan dari Libanon, dan Amin al-Husaini dari Palestina.
Dalam kesempatan itu, para pujangga dari berbagai negeri Arab mengukuhkan dan membaiat dirinya sebagai Amir asy-Syu‘ara’ (Pemimpin para Pujangga).
Dalam dunia sastra, ia dapat dikatakan sebagai tokoh pembaru. Ia adalah penyair pertama yang memperkenalkan teater dan menggubah beberapa naskah drama dalam sastra Arab. Dalam dunia sastra Arab, ia dapat dibandingkan dengan William Shakespeare, sastrawan besar dari Inggris.
Ia pula yang pertama mencoba menampilkan pertunjukan drama di Mesir dan di negara Arab lain. Dengan demikian ia berhasil menunjukkan bahwa sastra Arab tidak tertinggal dari sastra Barat. Tema dramanya diambil dari sejarah dan kehidupan bangsa Mesir dan Arab.
Ketika dunia sastra bangkit dan jumlah sastrawan terus meningkat, para sastrawan itu bergabung dalam perhim punan yang dinamakan Jamaah Apollo. Perhimpunan yang berdiri pada September 1932 ini diprakarsai oleh seorang sastrawan Mesir, Ahmad Zaki Abu Syadi.
Ahmad Syauqi terpilih menjadi ketua perhimpunan. Akan tetapi baru sebulan menjabat, ia meninggal dunia. Namun, perhimpunan ini terus berlanjut dan kemudian menerbitkan majalah yang dinamakan ‘Uyun al-‘Arab (Pemimpin Arab). Melalui majalah ini Jamaah Apollo berjasa melakukan pembaruan sastra Arab pada seperempat kedua abad ke-20.
Daftar Pustaka
Abu Syadi, Ahmad Zaki. Syu‘ara’ al-‘Arab al-Mu‘asirun. Cairo: Dar at-Tiba‘ah al-Hadisah, 1957.
Daif, Syauqi. al-Adab al-‘Arabi al-Mu‘asir fi Misr. Cairo: Dar al-Ma‘arif bi Misr, 1957.
–––––––. Syauqi Sya‘ir al-‘Asr al-hadits. Cairo: Dar al-Ma‘arif bi Misr, 1953.
Fahmi, Mahir Hasan. Syauqi wa Syi‘ruhu al-Islami. Cairo: Dar al-Ma‘arif bi Misr, 1953.
‘Id, Kamal. Dirasah fi al-Adab wa al-Masrah. Cairo: Dar al-Misriyah li at-Ta’lif wa at-Tarjamah, 1965.
Badri Yatim