Syariat adalah segala hal yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk wahyu yang ada dalam Al-Qur’an dan sunah. Semula kata ini berarti “jalan menuju ke sumber air”, yakni jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Kata kerjanya adalah syara‘a yang berarti “menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air”.
Syariat merupakan nas yang suci yang dikandung di da-lam Al-Qur’an dan sunah. Dalam surah al-Ma’idah (5) ayat 48 Allah SWT berfirman, “…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang….” Penggunaan kata syariat dalam Al-Qur’an didapat dalam surah al-Jatsiyah (45) ayat 18 yang berarti:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Ada tujuh kata yang seakar dengan syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an. Semuanya itu berarti aturan hidup, pedoman hidup, dan jalan yang harus diikuti untuk kebahagiaan hidup.
Syariat dalam pengertian di atas berbeda dengan fikih, karena yang disebut terakhir ini bukan lagi nas yang bersifat suci. Fikih sudah merupakan hasil rekayasa nalar manusia. Imam Syafi‘i, umpamanya, mendefinisikan fikih sebagai suatu ilmu tentang hukum syariat yang bersifat amaliah yang diperoleh dari satu per satu dalilnya.
Dengan demikian fikih adalah apa yang dapat dipahami manusia dari teks suci Al-Qur’an dan sunah, dengan melakukan ijtihad untuk menangkap makna, ilat (sebab), serta tujuan yang hendak dicapai teks suci tersebut.
Namun, dalam perjalanan sejarah hukum Islam, ada diantara ulama yang memandang fikih sebagai bagian dari syariat. Mahmud Syaltut, misalnya, membagi Islam atas akidah dan syariat. Artinya, Islam terdiri dari permasalahan akidah dan syariat, yang mencakup permasalahan yang menyangkut hukum, antara lain hukum fikih. Syariat bercabang sesuai dengan bidang kajiannya, seperti hukum yang menyangkut ibadah dan muamalah.
Syariat yang mencakup pengertian fikih ini adalah pengertian syariat dalam arti luas. Syariat dalam pengertian sempit adalah hukum yang berdalil pasti dan tegas yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadis sahih atau ditetapkan dengan ijmak.
Adanya pengertian syariat dalam arti luas tersebut berkaitan dengan pelaksanaan syariat itu sendiri di suatu negara Islam. Arab Saudi, umpamanya, secara utuh menerapkan hukum yang sesuai dengan pengertian syariat dalam arti sempit, yakni hukum yang berdalil pasti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, hadis sahih, atau ijmak.
Fikih yang merupakan pengertian syariat secara luas tidak dilaksanakan di Arab Saudi secara utuh karena adanya kekhawatiran bahwa negara akan terikat pada satu mazhab dan bersifat taklid. Padahal dalam satu mazhab itu pun masih terjadi perbedaan pendapat pada setiap masalah.
Dengan meneliti perjalanan sejarah tentang pengertian syariat semenjak zaman Nabi Muhammad SAW, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan syariat adalah segala tuntunan yang diberikan Allah SWT dan Rasul-Nya melalui perkataan, perbuatan, dan takrir (ketetapan).
Tuntunan itu menyangkut baik hubungan yang berkaitan dengan masalah akidah, maupun hukum perseorangan, hubungan manusia dengan Khalik, hubungan manusia dengan sesamanya, atau hubungan yang bertalian dengan etika pergaulan dan sikap terhadap diri sendiri dan atau orang lain.
Pengertian syariat sebagai segala sesuatu yang dikandung oleh Al-Qur’an dan sunah dapat juga ditemui antara lain dalam tulisan Ali bin Muhammad al-Jurjani dalam at-Ta‘rifat (Definisi) dan al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul (Yang Dapat Dipetik dari Ilmu Usul Fikih).
Mereka semuanya berpendapat bahwa syariat tersebut identik dengan ad-din (agama) dan tidak identik dengan fikih. Dengan demikian, jika dikatakan asy-syari‘at Islamiyyah, maksudnya adalah setiap hal yang datang dari Muhammad Rasulullah SAW yang berasal dari Allah SWT, baik itu yang bersifat menjelaskan persoalan akidah, maupun yang menyangkut pengaturan kehidupan manusia secara pribadi, keluarga, dan masyarakat, serta yang menyangkut akhlak.
Daftar pustaka
Duraib, Su’ud bin Sa’ad Ali. at-Tanzim al-Qadha’i fi al-Mamlakah al-’Arabiyyah as-Sa‘udiyyah fi Dau’ asy-Syari‘ah al-Islamiyyah wa Nizam as-Sultan al-Qadhi’iyyah. Riyadh: University Ibn Sa‘ud al-Islamiyah, 1983.
ad-Duraini, Fathi. al-Fiqh al-Islami al-Muqaran ma‘a al-Madzahib. Damascus: Tarbiyin, 1980.
al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiyah, 1983.
Husaini, Muhammad Abbas. al-Fiqh al-Islami Afaquhu wa Tatawwuruh. Mekah: Rabitah al-‘Alam al-Islami, 1402 H/1981 M.
al-Jurjani. at-Ta‘rifat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983.
asy-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Usul asy-Syari‘ah. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1975.
at-Tahanawi. Kasysyaf Istihalat al-Funun. Beirut: Dar al-Fikr, 1938.
Yamani, Ahmad Zaki. asy-Syari‘ah al-Khalidah wa Musykilah al-‘Asr, atau Syari’at Islam yang Kekal dan Persoalan Masa Kini, terj. K.M.S. Agustjik. Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan, 1977.
Nasrun Haroen