Seorang muslim yang meninggal ketika menegakkan agama Allah SWT disebut syahid, karena ia melakukan kesaksian terhadap kebenaran (al-Haqq) dalam urusan Allah SWT.
Secara etimologis, kata asy-syahid berasal dari syuhud (kata kerja: syahida-yasyhadu) yang berarti “orang yang menyaksikan”. Kata asy-syahid juga berarti “orang yang kesaksiannya sangat tepercaya dan orang yang tidak tersembunyi (sesuatu) dari pengetahuannya”.
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa’i, selain syahid yang tewas dalam peperangan melawan orang kafir, syahid ada tujuh macam, yaitu orang yang meninggal akibat penyakit Tha‘un (pes atau sampar), mati tenggelam, penyakit rusuk, penyakit dalam perut, karena kebakaran, karena tertimpa reruntuhan, dan perempuan yang meninggal karena melahirkan.
Adapun menurut hadis riwayat Imam Muslim, syahid ada tiga macam, selain syahid yang mati terbunuh dalam jihad (peperangan) menegakkan agama Allah SWT, yaitu orang yang meninggal karena penyakit Tha‘un, orang yang meninggal karena penyakit dalam perut, dan orang yang meninggal karena tenggelam.
Hadis riwayat Ahmad dan at-Tirmizi menyebutkan bahwa yang termasuk ke dalam syahid adalah orang yang meninggal karena mempertahankan hartanya, mempertahankan darahnya, dan mempertahankan keluarganya. Mereka itu disebut syuhada (orang yang mati syahid).
Ulama fikih membagi syahid menjadi tiga golongan, yaitu:
(1) syahid dunia akhirat;
(2) syahid akhirat; dan
(3) syahid dunia.
Syahid dunia akhirat adalah syahid dalam peperangan melawan orang kafir untuk membela dan menegakkan agama Allah SWT. Bagi mereka berlaku ketentuan khusus dalam penyelenggaraan jenazahnya.
Itulah sebabnya ulama menyebut kelompok ini syahid dunia akhirat. Ketentuan khusus yang dimaksudkan seperti yang disebut dalam beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, antara lain, yang diriwayatkan Bukhari dari Jabir bin Abdullah RA bahwa Rasulullah SAW mengafani dua jenazah yang syahid pada Perang Uhud dalam satu kafan, kemudian menganjurkan agar yang lebih banyak menghafal Al-Qur’an dimasukkan lebih dahulu ke dalam lahad.
Mereka tidak dimandikan dan tidak disalatkan. Fukaha (ahli fikih) mengambil hukum dari hadis ini sebagai berikut:
Pertama, boleh mengafani dua jenazah dalam satu kafan, baik dibatasi antara keduanya atau tidak. Akan tetapi menurut kebanyakan fukaha, kain kafan tersebut dipotong dan masing-masing jenazah syahid itu dibungkus kemudian baru digabungkan.
Kedua, dianjurkan meletakkan jenazah yang mempunyai kelebihan di masa hidupnya, seperti yang lebih banyak menghafal Al-Qur’an, di depan kiblat sehingga ketika diletakkan ke dalam kubur jenazah tersebut dapat lebih dahulu masuk ke dalam lahadnya.
Ketiga, boleh menguburkan beberapa jenazah dalam satu kubur. Hal ini ditambah dengan keterangan dari hadis lain seperti yang diriwayatkan Ashab as-Sunan (Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, dan Sunan at-Tirmizi) bahwa Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar memperluas liang lahad untuk para jenazah syahid Perang Uhud dan memakamkan dua jenazah serta satu orang lagi dalam satu kubur.
Keempat, jenazah syahid tidak dimandikan. Inilah pendapat jumhur fukaha. Ketentuan ini diperkuat lagi dengan hadis yang diriwayatkan Ahmad dari Jabir bin Abdullah RA mengenai penyelenggaraan jenazah para syuhada Perang Uhud bahwa Nabi SAW bersabda, “Jangan kamu mandikan mereka, karena setiap luka atau tetesan darah akan menyebarkan bau semerbak kesturi pada hari kiamat.”
Kelima, jenazah syahid tidak disalatkan. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa jenazah syahid wajib disalatkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi SAW menyalatkan para syuhada Perang Uhud 8 tahun kemudian.
Syahid akhirat adalah seorang muslim yang tewas secara teraniaya seperti yang disebutkan dalam hadis terdahulu, tetapi bukan mati terbunuh dalam perang menegakkan dan mempertahankan agama Allah SWT.
Disebut syahid akhirat karena di akhirat mereka akan mendapat pahala sebagai syahid, tetapi jenazah mereka di dunia diperlakukan sebagaimana jenazah biasa.
Syahid dunia adalah seorang muslim yang tewas dalam perang melawan orang kafir. Ia berada di pihak jemaah kaum muslimin, tetapi niatnya tidak ikhlas menegakkan agama Allah SWT, misalnya mereka yang berniat hanya untuk mendapatkan harta rampasan.
Termasuk juga ke dalam syahid dunia mereka yang melanggar hukum perang yang telah ditetapkan syariat, misalnya orang yang terbunuh ketika melarikan diri dari peperangan, sementara pasukan muslim tetap bertahan dalam peperangan tersebut.
Jenazah mereka yang tewas dalam keadaan tersebut mungkin saja diperlakukan sebagai syahid kelompok pertama, tetapi di akhirat mereka mendapat dosa.
Daftar Pustaka
an‑Naisaburi, Ibnu al‑Hajjaj Muslim. Shahih Muslim. Cairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1956.
an‑Nasa’i, Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib. Sunan an‑Nasa’i bi Syarh Jalal ad‑Din as‑Suyuthi. Beirut: Dar al‑Fikr, 1978.
al-Qutai’i, al-Imam Abu Bakr. Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Beirut: Dar al-Ma’arif, t.t.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
as-San’ani, Muhammad bin Isma’il al-Amir. Subul as-Salam. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H/1930 M.
asy-Syaukani. Nail al-Authar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
Munzir Hitami