Syahadat

(Ar.: asy-syahadah)

Secara kebahasaan, asy-syahadah berarti “kesaksian” atau “pengakuan iman”. Secara terminologis, syahadat berarti “ikrar yang menunjukkan bukti bahwa yang mengucapkan kesaksian itu beriman”. Syahadat –sering disebut dua kalimat syahadat (syahadatain)– adalah kalimat yang berbunyi Asyhadu an la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad Rasul Allah (Aku bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah).

Dalam ajaran Islam, syahadat adalah rukun pertama dari lima Rukun Islam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Bukhari dari Abdullah bin Umar bin Khattab RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima dasar: syahadat (kesaksian) bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan Ramadan, dan melaksanakan haji.”

“Islam itu adalah engkau bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau mampu pergi ke sana” (HR. Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab RA)

Syahadat atau pengakuan iman adalah pernyataan formal yang membedakan antara orang Islam (muslim) dan orang yang bukan Islam (kafir). Dalam ajaran Islam, jika seseorang telah menyatakan beriman dengan mengucapkan syahadat atau dua kalimat syahadat (syahadatain) maka konsekuensinya Islam menjamin keselamatan dirinya dan harta bendanya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda,

“Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan kesaksian (syahadat) bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan salat, menunaikan zakat. Jika mereka mengerjakannya, amanlah jiwa dan harta mereka dari saya.”

Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa pernah datang seorang laki-laki –yang kemudian ternyata adalah Malaikat Jibril– menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang arti Islam. Rasulullah SAW menjawab,

Berdasarkan Al-Qur’an dan sunah Rasulullah SAW, ulama mengambil kesimpulan bahwa untuk memasuki agama Islam seseorang harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

(1) mengikrarkan dan menyatakan kesaksiannya atas tauhid, yakni bersaksi bahwa tiada sesuatu yang berhak dipuja kecuali Allah SWT;
(2) mengikrarkan dan menyatakan kesaksiannya atas diutusnya Muhammad SAW oleh Allah SWT, yakni bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah; dan
(3) menyatakan bahwa ia telah menghapuskan segala kekufuran yang dilakukan sebelumnya dari hatinya.

Menurut Ammar Faqih (ahli hadis dan fikih), pernyataan dan kesaksian (syahadat) tersebut harus menggunakan bahasa yang dapat dimengerti orang yang bersaksi. Penggunaan bahasa Arab ketika mengucapkan syahadat, tidak menjadi syarat. Namun ada sebagian ulama yang mensyaratkannya.

Meskipun demikian, jika saksi tidak mengerti, ulama sepakat bahwa penggunaan bahasa Arab dalam syahadat tidak sah. Saksi yang mengucapkan syahadat dalam bahasa lain harus menggunakan kata yang sesuai dengan maksud dua kalimat syahadat tersebut.

Imam Nawawi di dalam syarah Sahih Muslim (kitab hadis Imam Muslim) menjelaskan bahwa secara lahiriah atau formal seseorang disebut mukmin jika ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat.

Kalangan ahli sunah, baik dari kalangan muhadditsin (ahli hadis), fukaha (ahli fikih) maupun dari kalangan mutakalimin (ahli kalam) sepakat mengatakan bahwa orang yang dapat dikatakan Ahl al-Qiblah (orang muslim) dan tidak akan kekal di dalam neraka adalah orang yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang diterima Allah SWT dengan keyakinan yang kukuh tanpa ada keraguan sedikit pun dan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Beberapa ulama mengatakan bahwa syarat sah syahadat itu adalah mengucapkannya dengan lisan, membenarkannya dengan hati, dan mengamalkannya dengan anggota badan.

Kalimat syahadat merupakan hal mutlak dalam ajaran Islam. Hal ini menjadi pengecualian bagi saksi yang tidak mampu mengucapkan kalimat syahadat karena bisu atau cacat pada lidah, atau tidak mungkin mengucapkannya karena menyelamatkan diri dari kematian atau sebab lain yang sejenis.

Dua kalimat syahadat yang berisi pernyataan kesaksian la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) dan Muhammad Rasul Allah sering disebut ulama dengan “syahadat tauhid” dan “syahadat rasul”.

Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa kedua kalimat syahadat tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dengan demikian, jika seseorang hanya mengucapkan atau mengikrarkan la ilaha illa Allah tanpa diiringi dengan ucapan Muhammad Rasul Allah, ia belum dapat dikatakan sebagai seorang muslim.

Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa seseorang sudah dapat dikatakan muslim hanya dengan mengucapkan la ilaha illa Allah. Karena, pernyataan tersebut sudah mencakup pengakuan terhadap firman Allah SWT bahwa Muhammad adalah Rasulullah (QS.3:144) dan hubungan keduanya sangat erat, kecuali jika ia mengingkari Muhammad sebagai Rasulullah maka ia menjadi murtad.

Syahadat Tauhid.

Syahadat tauhid adalah cara seorang muslim mengesakan Allah SWT. Untuk itu, ulama membagi syahadat tauhid itu ke dalam tiga pernyataan kesaksian la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah), la ma‘bud illa Allah (tiada yang berhak disembah selain Allah), dan la maujud illa Allah (tiada yang maujud/benar-benar ada atau nyata sebenarnya selain Allah).

La Ilaha Illa Allah.

Kesaksian ini diartikan ulama sebagai ajaran untuk mengesakan Tuhan dari segi Zat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Keesaan Tuhan dari segi Zat-Nya berarti tidak ada wujud Zat Tuhan lain yang sebenarnya selain Allah SWT. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT menegaskan: “Katakanlah: Dia-lah Allah, Yang Maha Esa” (QS.112:1); “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS.2:163); dan “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS.21:22).

Keesaan Tuhan pada Zat-Nya berarti pula bahwa­ Zat Tuhan tidak serupa dengan zat makhluk ciptaan-Nya. Zat makhluk (misalnya, manusia) tersusun dari beberapa unsur, seperti tulang, daging, dan darah. Adapun Zat Tuhan tidak ada bandingannya. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam Al-Qur’an:

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS.42:11).

Ulama sepakat mengatakan bahwa Tuhan bersifat kadim (terdahulu), sedangkan makhluk bersifat baru. Mengenai hal ini Allah SWT berfirman yang berarti: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS.57:3).

Keesaan Tuhan pada sifat-Nya berarti tidak ada yang mempunyai sifat sama dengan sifat Tuhan. Misalnya, manusia mempunyai sifat qudrah (berkuasa), tetapi tidak sama dengan sifat qudrah Tuhan. Sifat qudrah manusia terbatas, sedangkan sifat qudrah Tuhan tidak terbatas.

Sejarah pemikiran teologi Islam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai usaha mengesakan Tuhan pada Zat-Nya dalam hubungannya dengan sifat-Nya ini. Kaum Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat karena jika Tuhan mempunyai sifat maka sifat itu harus kekal seperti Zat Tuhan.

Selanjutnya jika sifat itu kekal, yang kekal bukan hanya satu, tetapi banyak. Hal ini berakibat pada adanya syirik yang tidak dapat diterima dalam teologi. Adapun kaum Asy‘ariyah mengatakan bahwa Tuhan mestilah mempunyai sifat.

Untuk mengatasi paham syirik, mereka mengatakan bahwa sifat Tuhan itu bukan Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat itu tidak lain dari Tuhan, adanya sifat itu tidak membawa kepada paham syirik.

Keesaan Tuhan pada perbuatan-Nya berarti bahwa hanya Tuhan pencipta segala yang ada. Dalam sejarah pemikiran teologi Islam, ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Khususnya dalam hal perbuatan manusia, kaum Muktazilah berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk serta patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri.

Adapun bagi kaum Asy‘ariyah, Tuhanlah yang sebenarnya menjadi pembuat dari perbuatan manusia. Pendapat kaum Muktazilah bahwa manusia adalah pencipta perbuatannya tidak berarti perbuatan manusia itu dapat menyamai perbuatan Tuhan. Perbuatan manusia terbatas, sedangkan perbuatan Tuhan tak terbatas.

La Ma‘bud Illa Allah.

Kesaksian ini berarti bahwa hanya Allah SWT-lah yang wajib disembah. Dialah yang berhak menerima penyembahan dan pengabdian dari semua hamba-Nya. Semua ibadah dan pengabdian hanya karena Allah SWT dan untuk-Nya.

Manusia seharusnya menjadi hamba Allah SWT yang mukhlis (ikhlas), sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT pada surah al-Fatihah (1) ayat 5 yang berarti: “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS.1:5) dan “Katakanlah, ‘Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya’; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS.6:162–163).

La Maujud Illa Allah.

Kesaksian ini pada umumnya terdapat di kalangan kaum sufi, khususnya mereka yang berpaham wujudiyah. Ibnu Arabi mengatakan bahwa tiada maujud (segala sesuatu yang nyata) yang sebenarnya selain wujud Tuhan.

Makhluk dijadikan Tuhan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tidak akan mempunyai wujud jika Tuhan tidak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki. Makhluk yang dijadikan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud di luar dirinya, yaitu Tuhan. Dengan demikian hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan.

Syahadat Rasul.

Kesaksian bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Ini berarti, setiap orang wajib percaya bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Allah SWT memerintahkan manusia agar beriman kepada nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW (QS.2:177), dan menjelaskan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah. Allah SWT berfirman, “Muhammad itu tidak lain hanyalah sebagai rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul” (QS.3:144).

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Nabi SAW menjelaskan: “Iman ialah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul­rasul-Nya, hari akhirat, dan engkau beriman kepada takdir Tuhan, baik maupun buruk.”

Dalam ajaran Islam, pengakuan terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah mengakibatkan beberapa konsekuensi, yaitu:
(1) mengakui dan mengikuti risalah atau ajaran yang dibawanya (QS.59:7);
(2) mengakui bahwa ajaran yang dibawanya telah sempurna, universal, sesuai untuk setiap generasi, dan abadi sepanjang masa (QS.5:3);
(3) mengakui bahwa ia adalah rasul terakhir, penutup segala nabi (QS.33:40); dan
(4) mengakui bahwa ia diutus untuk seluruh umat dan menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS.34:28 dan QS.21:107).

Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl bin Hajar. Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1951.
Faqih, Ammar. Jadilah Mu’min Sejati, terj. Bey Arifin dan Adenan Nur. Surabaya: Bina Ilmu, t.t.
Mahmud, Abdul Halim. al-Munqidz min ad-Dalal li Hujjah al-Islam al-Gazali ma‘a Abhatsin fi at-Tasawwuf wa Dirasah ‘an al-Imam al-Gazali. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1968.
Muslim, Imam. Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
–––––––. Teologi Islam: Aliran‑Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986.

Asmaran AS