Syafruddin Prawiranegara adalah seorang pejuang, politikus, dan negarawan muslim yang banyak memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan negara Republik Indonesia.
Ayahnya bernama Arsyad Prawiraatmadja dan ibunya bernama Noeraini. Ia berasal dari keturunan priayi yang taat beragama, dan leluhurnya berasal dari Minangkabau.
Syafruddin memasuki sekolah rendah Europeesche Lagere School (ELS) di Serang pada 1924. Ia pindah ke Ngawi mengikuti kepindahan tempat tugas ayahnya. Setelah tamat ELS, ia melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yaitu setingkat dengan sekolah lanjutan pertama di Madiun.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) bagian A di Bandung. Pada tahun 1934 ia melanjutkan studinya di Recht Hoge School, yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr.) pada September 1939.
Setelah menyelesaikan pendidikan, ia bekerja di Perkumpulan Radio-Radio Ketimuran. Pada 1940 ia diterima bekerja di Kementerian Keuangan dan ditempatkan di Kantor Inspeksi Pajak Kediri. Kemudian ia dipindahkan ke Bandung sampai Indonesia beroleh kemerdekaan. Pada zaman pendudukan Jepang ia mulai aktif mendiskusikan masa depan tanah airnya.
Sesudah Indonesia merdeka, ia menjadi seorang tokoh partai Islam Masyumi. Dalam kapasitas seperti itu berbagai tugas kenegaraan pernah dijabatnya. Pada 24 Agustus 1945 ia dipercayakan memegang jabatan pimpinan Sekretariat Komite Nasional Indonesia (KNI) Keresidenan Priangan dan pada bulan Oktober tahun yang sama ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Dalam bidang pemerintahan, jabatan pertamanya adalah menteri muda Keuangan dalam Kabinet Syahrir ke-2 yang dibentuk 3 Maret 1946. Kemudian, ia menjabat menteri Keuangan dalam Kabinet Syahrir ke-3 yang dibentuk 2 Oktober 1946.
Pada masa inilah ia menyampaikan gagasannya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta agar Indonesia mencetak mata uang sendiri. Gagasan tersebut terlaksana, dan mata uang yang kemudian dikenal dengan nama “Oeang Repoeblik Indonesia (ORI)” mulai dijadikan alat pembayaran yang sah pada 30 Oktober 1946.
Dalam Kabinet Hatta ke-1 (29 Januari 1948–4 Agustus 1949), Syafruddin diberi tugas sebagai menteri Kemakmuran. Dalam periode ini Yogyakarta sebagai ibukota negara diduduki oleh Belanda dan Presiden serta Wakil Presiden ditawan.
Karena mereka tidak dapat menjalankan tugasnya, pada 19 Desember 1948 Presiden memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara selaku menteri Kemakmuran yang sedang berada di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pada 22 Desember 1948 berdirilah PDRI yang berpusat di Halaban, Payakumbuh.
Syafruddin dipercayai sebagai “ketua” PDRI. Istilah “ketua” dipakai untuk menyebut jabatan pimpinan (presiden) PDRI karena mandat yang dikirim Presiden Soekarno tidak sampai ke tangan Syafruddin dan kawan-kawannya. Jabatan ini dipegangnya sambil bergerilya. Mandat sebagai pimpinan PDRI diserahkannya kembali kepada Presiden Soekarno 13 Juli 1949.
Pada Kabinet Hatta ke-2 (4 Agustus 1949–29 Desember 1949), Syafruddin dipercayakan memangku jabatan sebagai wakil perdana menteri. Setelah absen dari tugas resmi kenegaraan, ia menerima tawaran pemerintah untuk memangku jabatan sebagai presiden (direktur) De Javasche Bank yang kemudian menjadi Bank Indonesia. Jabatan tersebut dipegangnya sejak 14 Juli 1951 sampai 30 Januari 1958.
Dalam bidang keagamaan, Syafruddin sejak masa mudanya yakin akan kebenaran Islam. Walaupun ia menguasai berbagai ideologi, seperti kapitalisme dan komunisme secara mendalam, hal ini justru membuat ia lebih terdorong untuk mendalami ajaran agamanya.
Ia yang pada masa usia sekolah sudah membaca ajaran agama lain secara mendalam dan baru mengetahui isi Al-Qur’an lewat terjemahan dalam bahasa Belanda, sangat berminat untuk belajar bahasa Arab guna memahami ajaran Islam secara baik.
Kecintaannya kepada Islam diwujudkannya melalui aktivitasnya dalam Partai Masyumi sejak partai itu didirikan. Ia adalah anggota Pimpinan Pusat dan berkiprah untuk agama dan bangsa.
Syafruddin mencanangkan bahwa sistem ekonomi yang cocok untuk Indonesia adalah sistem ekonomi sosial religius. Ia melihat bahwa dalam kehidupan umat manusia yang penuh dengan pertentangan antara kaum kapitalis dan sosialis, haruslah ada suatu kekuatan yang dapat menjadi juru damai antara keduanya.
Juru damai itu adalah “Islam”, karena Islam adalah suatu kekuatan rohani yang universal yang dapat menentukan jalannya sejarah. Oleh sebab itu sistem ekonomi Indonesia mestilah didasarkan atas kewajiban manusia terhadap manusia dan terhadap Tuhan.
Syafruddin juga berpendapat bahwa Islam dan negara Indonesia tidak dapat dipisahkan sebab peran Islam tidak sedikit dalam menumbuhkan kesadaran nasionalisme di kalangan bangsa Indonesia.
Perasaan keagamaan yang dimiliki rakyat Indonesia dapat mengatasi perasaan kedaerahan dan memberi dasar yang luas serta subur bagi tumbuhnya benih nasionalisme.
Ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri, Syafruddin mendirikan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (kini: Nanggroe Aceh Darussalam) karena rakyat Aceh di bawah pimpinan ulama telah memberikan sumbangan yang besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Ketika menjabat sebagai direktur Bank Indonesia ia melihat bahwa banyak di antara pegawai yang memerlukan tempat ibadah. Oleh sebab itu ia membangun masjid di kantor yang dipimpinnya.
Langkah Syafruddin ini dinilai sangat bijaksana sehingga para pimpinan kantor pemerintah atau swasta menjadikannya contoh untuk mendirikan masjid atau musala di kantor-kantor.
Syafruddin dikenal sebagai seorang pemimpin yang bersih dan taat. Ia senantiasa melaksanakan tugas dengan baik dan berusaha memberikan nasihat kepada pihak yang dinilainya menyimpang dari ajaran agama dan undang-undang.
Oleh sebab itu ia tidak segan melakukan kritik, baik terhadap temannya sendiri atau terhadap pemerintah atas dasar rasa kasih sayang. Ia juga tidak segan-segan memuji suatu kebijakan yang positif, sebagaimana ia juga tidak takut memberikan kritik terhadap suatu kebijakan yang dinilainya tidak tepat.
Setelah tidak aktif berpolitik, Syafruddin ikut pula memajukan kehidupan bangsa dalam bidang ekonomi. Ia melihat bahwa gelanggang kegiatan Islam bukan hanya semata-mata dalam lapangan politik.
Pada 24 Juli 1967 ia membentuk sebuah organisasi yang bernama Himpunan Usahawan Muslimin Indonesia (Husami) yang bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan ajaran dan kaidah Islam di lapangan ekonomi keuangan, membantu dan memperkuat usaha ekonomi umat Islam Indonesia, serta memberikan darma dan sumbangan bagi pembangunan ekonomi keuangan negara dan masyarakat Indonesia.
Pada Oktober 1970 ia dan beberapa orang temannya mendirikan Yayasan Dana Tabungan Haji dan Pembangunan yang bertujuan untuk membantu umat Islam Indonesia supaya aman dan berencana menunaikan ibadah haji dengan jalan menabung dan melaksanakan pengurusan penabungan yang menjamin keberangkatan para peserta tabungan untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam usia 73 tahun Syafruddin menjadi ketua umum Korps Mubalig Indonesia (KMI) dan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan sampai akhir hayatnya.
Karya tulis Syafruddin dalam bidang ilmu agama, ekonomi, dan politik berbentuk brosur dan artikel.
Sejak 1946–1985 ia menghasilkan tidak kurang dari 86 karya, antara lain Tinjauan tentang Politik Ekonomi dan Keuangan, Peranan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kehidupan Politik dan Ekonomi Indonesia, Pedoman untuk Menjalankan Dakwah Islamiyah di Indonesia, Islam Dilihat dari Kacamata Modern, dan Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun Masa Depan.
Daftar Pustaka
Amin, S.M. Indonesia di Bawah Rezim Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Bulan Bintang, 1972.
Busyairi, Badruzzaman. Catatan Perjuangan H M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Ma’arif, A. Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES, 1985.
–––––––. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Prawiranegara, Syafruddin. Kumpulan Karangan Terpilih. Jakarta: Yayasan Idayu, 1975.
–––––––. Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun Masa Depan. Jakarta: Yayasan Idayu, 1975.
Puar, Jusuf Abdullah. Mohammad Natsir 70 Tahun. Jakarta: Pustaka Antara, 1978.
Rosidi, Ajip. Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut kepada Allah SWT. Jakarta: Inti Idayu Press, 1986.
Helmi Karim