Mazhab Syafi‘i adalah salah satu aliran dalam fikih di kalangan Ahlusunah waljamaah.
Nama ini dinisbahkan kepada Imam Syafi‘i (nama lengkap: Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i. Imam Syafi‘i merupakan pendiri aliran ini yang muncul pada pertengahan abad ke-2 H.
Sebagai pendiri mazhab, Imam Syafi‘i memiliki pemikiran fikih yang khas yang berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, meskipun kedua aliran ini telah dipelajarinya secara mendalam.
Ketika menetap di Mesir, ia membina para muridnya yang kemudian menjadi ulama besar sebagai penerus dan penyebar pahamnya. Di antara muridnya yang terkenal adalah Abu Saur Ibrahim bin Khalid bin Yamani al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za‘farani, Isma‘il bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi.
Dari para murid inilah pahamnya tersebar luas dan karya tulisnya menjadi pegangan atau sumber acuan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, paham Syafi‘i menjadi suatu mazhab fikih yang penganutnya tersebar di berbagai dunia Islam.
Sumber acuan mazhab ini adalah paham dan buah pikiran Imam Syafi‘i yang termuat dalam berbagai karya tulisnya, antara lain: ar-Risalah (kitab usul fikih), al-’Umm (kitab yang memuat masalah fikih), Ikhtilaf al-Hadits (kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), dan al-Musnad (kitab hadis).
Kitab lainnya, yang dihimpun oleh para muridnya, mencakup antara lain al-Fiqh (hasil himpunan al-Haramain bin Yahya), al-Mukhtasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sair, dan al-Fara’idh (hasil himpunan Imam al-Buwaiti), al-Jami‘ al-Kabir, dan as-Sagir (hasil himpunan al-Muzani).
Ada ulama Mazhab Syafi‘i yang mengembangkan kitab tersebut dengan mensyarahkan (menguraikan atau menjelaskan) atau membuat hasyiyyahnya (komentar). Ada juga yang sengaja menyusun kitab sebagai karyanya sendiri dengan mengacu pada paham fikih dan metode istinbat Syafi‘i.
Adapun yang menjadi dasar dalam pembinaan fikihnya (masadir atau sumber/dasar dan dalil tasyri‘nya atau hukumnya) sebagaimana yang diterapkan Syafi‘i, adalah Al-Qur’an, sunah, ijmak, dan kias.
Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan sunah sumber kedua. Sunah yang dipakai adalah yang nilai kuantitasnya mutawatir (perawinya banyak orang) maupun yang ahad (perawinya satu orang), yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan juga sunah daif. Adapun syarat untuk semua sunah yang daif adalah:
(1) tidak terlalu lemah,
(2) dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas,
(3) tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih, dan
(4) hadis tersebut bukan untuk menetapkan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekadar untuk anjuran keutamaan amal (fadha’il al-a‘mal) atau untuk targib (imbauan) dan tarhib (anjuran).
Dalam pandangan Imam Syafi‘i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Bahkan ia disebut-sebut sebagai salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan Al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan.
Karena, menurut Imam Syafi‘i, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Al-Qur’an. Bahkan, menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman yang diperolehnya dari memahami Al-Qur’an. Dengan demikian, memang pada tempatnya jika Imam Syafi‘i oleh banyak orang dijuluki sebagai pembela sunah (nasir as-sunnah).
Selain berpegang pada Al-Qur’an dan sunah, Imam Syafi‘i juga berpegang pada ijmak. Ijmak yang dimaksudkannya adalah suatu hasil kesepakatan para sahabat secara integral mengenai hukum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diperoleh secara jelas.
Menurut Imam Syafi‘i, kias merupakan salah satu dasar hukum Islam untuk mengetahui suatu kepastian hukum yang ketentuannya tidak ditunjuk langsung oleh nas yang sarih (tegas). Jika hukum untuk suatu persoalan tidak ditunjuk secara jelas, baik oleh nas maupun oleh ijmak, harus dilakukan ijtihad melalui jalan kias.
Kias itu sendiri berarti ilhaqu amrin qair mansusin ‘ala hukmihi bi amrin akhar mansusin ‘ala hukmihi li isytirakihi ma‘ahu fi ‘illah al-hukmi (menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada nasnya berdasarkan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya secara jelas dalam nas, karena terdapat kesamaan ilat [sebab] hukumnya).
Di kalangan penganut Mazhab Syafi‘i dikenal juga adanya teori/metode maslahat, yakni metode penerapan hukum yang berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maslahat yang digunakannya terbatas pada maslahat yang mu‘tabarah (maslahat yang secara khusus ditunjuk oleh nas) dan maslahat yang mulaimah li jins tasarrufat asy-Syari‘ (maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pembuat undang-undang).
Mazhab Syafi‘i mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah untuk pertama kalinya Imam Syafi‘i menyampaikan pahamnya kepada ulama, ketika ia melawat ke daerah ini dalam rangka meluaskan wawasan ilmunya.
Mazhab ini berkembang cukup subur dan pesat di Mesir, sekalipun pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiyah mazhab ini sempat mendapat tekanan keras. Dari sini paham Syafi‘i terus disebarkan oleh para pengikutnya ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Khurasan, Pakistan, Syam (Suriah), Yaman, Persia (Iran), Hijaz, India, dan beberapa daerah Afrika dan Andalusia.
Pada perkembangan berikutnya, sampai pada abad modern Islam, mazhab ini telah memasuki berbagai belahan dunia, antara lain Mesir, Palestina, Suriah, Khurasan, Hijaz, Irak, Persia,
Hadramaut, Aden, Cina, India, Pakistan, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Untuk beberapa negara atau daerah, mazhab ini juga mengalami pasang surut, yakni berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa.
Hal ini dapat dilihat di Iran maupun di Madinah bahwa Mazhab Syafi‘i tidak banyak berkembang di kedua negara ini.
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah . Cairo: al-Madani, t.t.
Chalil, Moenawar. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hasan, Husain Hamid. Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami. Cairo: Dar an-Nahdah al-‘Arabiyah, 1971.
Khalaf, Abdul Wahhab. Masadir at-Tasyri‘ al-Islami Fima la Nassa Fih. Kuwait: Dar al-Qalam, 1972.
as-Subki, Tajuddin Abdul Wahhab. Tabaqat asy-Syafi‘iyyah. Cairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1967.
asy-Syafi‘i, Abi Abdillah Muhammad bin Idris. al-’Umm. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
–––––––. ar-Risalah. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1969.
Utang Ranuwijaya