Dalam diri Ahmad Syafi’i Ma’arif secara harmonis berpadu sosok seorang filsuf, aktivis, ilmuwan bidang sejarah, dan pemikir. Ia memimpin sebuah organisasi berbasis keagamaan yang didirikan KH Ahmad Dahlan, yakni Muhammadiyah.
Ahmad Syafi’i Ma’arif terpilih menjadi ketua pimpinan pusat Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta, Juli 2000. Ia menggantikan kedudukan Muhammad Amien Rais yang terjun ke dunia politik dan mendirikan sekaligus menjadi ketua umum Partai Amanat
Nasional (PAN) dan ketua MPR RI masa bakti 1999–2004. Perjalanan hidupnya penuh dengan warna. Ibu kandungnya, Fathiyah, meninggal ketika Syafi’i masih berusia 18 bulan. Adapun ayahnya, Makrifah, adalah seorang kepala negeri.
Meskipun memahami secara kental nilai-nilai religius, ayahnya tak bisa sepenuhnya memberikan perhatian kepadanya. Itulah sebabnya Syafi’i diasuh bibi dan pamannya, Baiyinah dan Abdul Wahid. Pamannyalah yang mengajari Syafi’i kecil mengenal agama dan mengaji Al-Qur’an.
Pamannya hanyalah seorang petani kecil, yang hanya mampu memberi makan keluarganya, sedangkan untuk membiayai sekolah, Abdul Wahid tidak bisa berbuat banyak. Walaupun dalam kondisi yang pas-pasan, Syafi’i tetap minta disekolahkan.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah rak-yat (SR) selama 5 tahun di desanya, Sumpurkudus. Selain itu, Syafi’i juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah. SR diselesaikannya pada 1947 tanpa ijazah, karena saat itu sedang pecah revolusi fisik. Syafi’i pun terpaksa menganggur selama 3 tahun.
Pada 1950, ia sekolah di Madrasah Mu’allimin Lintau. Pada tahun 1953 paman dan bibinya tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Inilah yang mendorong Syafi’i merantau ke Yogyakarta.
Di Yogyakarta ia berharap bisa melanjutkan sekolah, tapi impiannya melanjutkan ke Madrasah Mu’allimin Yogyakarta pun pupus sebab para lulusan luar Jawa pada saat itu dikecilkan.
Bagi Syafi’i, tidak bisa masuk sekolah tidak harus menganggur. Syafi’i lalu ikut kursus montir mobil selama 6 bulan di Ngabean, Yogyakarta. Belum sempat mengamalkan ilmunya, ia bertemu dengan kakak sekampungnya, Muhammad Sanusi Latief (belakangan bergelar Profesor Doktor), dosen di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan pernah menjadi rektor IAIN Imam Bonjol, Padang. Sanusi inilah yang memberi dorongan kepada Syafi’i agar kembali sekolah.
Dorongan dari Sanusi membangkitkannya untuk mencoba lagi masuk Madrasah Mu’allimin Yogyakarta. Kali ini Syafi’i diperbolehkan masuk, meskipun harus mengulang mulai dari kelas III. Biaya sekolahnya selama di Kota Gudeg itu dikirim dari kakak kandungnya, Nursahih. Belum selesai Syafi’i sekolah, ayahnya meninggal pada 1955.
Setelah tamat dari Madrasah Mu’allimin Yogyakarta pada 1956, Syafi’i mendapat tugas mengajar di Pendidikan Guru Agama Muhammadiyah di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Ia bertugas di Lombok hanya selama 1 tahun, dan selama itu ia mengajar bahasa Inggris, sejarah, dan matematika.
Sepulang dari Lombok, Syafi’i belajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Cokroaminoto, Solo. Ia mengambil jurusan sejarah. Selama kuliah, ia juga bekerja sebagai pelayan toko kain. Pekerjaan ini ia tekuni selama hampir setahun.
Suatu hari, pada waktu melayani pembeli yang ternyata temannya saat di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta, Syafi’i ditawari mengajar di sebuah SLTA di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Meskipun harus pulang-alik Solo–Wonogiri yang berjarak sekitar 40 kilometer, ia dengan senang hati menjalaninya.
Pada 1964, seusai meraih gelar sarjana muda hukum dari Universitas Cokroaminoto, Solo, Syafi’i dipanggil pulang oleh bibinya. Ia dinikahkan dengan Nurkhalifah, anak seorang juragan truk.
Tidak lama setelah menikah, keluarga muda ini kembali ke Yogyakarta, dan Syafi’i melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Sosial IKIP (sekarang, Universitas Negeri) Yogyakarta, sampai menjadi sarjana pada 1968.
Sudah menjadi tekad Syafi’i untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Maka pada 1973 ia belajar sejarah di Northern Illinois University, dan memperoleh gelar MA dalam ilmu sejarah dari Ohio University, Athens, Amerika Serikat, 1980.
Adapun gelar Ph.D. di bidang pemikiran Islam ia dapatkan setelah mempertahankan disertasi berjudul “Islam as the Ba-sic of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” di University of Chicago, Amerika Serikat, 1982.
Ketika menempuh pendidikan S-3 di Chicago itulah Syafi’i secara intensif melakukan kajian tentang Al-Qur’an di bawah bimbingan tokoh pembaru dari Pakistan, Fazlur Rahman. Di masa yang sama, Nurcholish Madjid dan Amien Rais juga studi di Chicago. Maka, tiga orang ini pun aktif berdiskusi tentang Islam dan umatnya. Syafi’i meraih gelar guru besar dalam bidang sejarah dari Universitas Negeri Yogyakarta.
Syafi’i berpandangan bahwa agama dan politik harus sejalan, sebab agama tanpa politik tidak akan dapat melaksanakan misinya secara baik. Sebaliknya, politik tanpa pijakan moral agama akan destruktif. Itu sebabnya di masa kepemimpinannya di Muhammadiyah, Syafi’i berusaha menerapkan konsep keseimbangan tersebut.
Merujuk kepada hasil Muktamar Muhammadiyah tahun 1971 di Makassar, menurut Syafi’i Muhammadiyah secara organisatoris tidak akan memasuki wilayah politik praktis, tidak akan menjadi partai politik, dan tidak pula mendirikannya.
Di bawah kepemimpinan Syafi’i, Muhammadiyah diupayakan untuk memberi kesempatan kepada kaum muda sebagai langkah untuk kaderisasi. Selain itu, di dalam ceramahnya, ia selalu mengajak umat untuk menggunakan otak, bukan otot.
Syafi’i juga dikenal akan kegigihannya dalam bersikap. Sebagai ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, Syafi’i dengan tegas menolak dimasukkannya kembali Piagam Jakarta dalam amandemen Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945. “Kami tetap ingin mempertahankan Pasal 29 UUD 1945 tentang Agama”, katanya. Syafi’i sampai pada keputusannya itu setelah mengkaji bahwa bangsa Indonesia belum siap secara konseptual dan sumber daya insaninya.
Daftar Pustaka
Ma’arif, A. Syafi’i. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996.
–––––––. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965). Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
–––––––. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.
Herry Mohammad