Syafaat adalah pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang mengharapkan pertolongannya; atau usaha untuk memberikan suatu manfaat atau mengelakkan mudarat bagi orang lain. Dalam ilmu kalam syafaat berarti “pertolongan Nabi SAW kepada umatnya pada hari kiamat untuk mendapat keringanan hukuman”.
Hal mengenai pemberian syafaat sesuai dengan firman Allah SWT yang berarti: “Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barangsiapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS.4:85).
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa al-Asy‘ari dikatakan, jika Nabi SAW kedatangan seseorang yang berhajat (berkepentingan), beliau berkata kepada para sahabat, “Berilah syafaat (pertolongan) supaya kamu mendapat pahala dan Allah akan memutuskan melalui lidah nabi-Nya apa yang Dia kehendaki.”
Istilah “syafaat” terkenal di kalangan ahli kalam (teologi) dengan arti “pertolongan yang diberikan Nabi SAW kepada umatnya di hari kiamat untuk mendapatkan keringanan atau kebebasan dari hukuman Allah SWT”. Syafaat itu hanya akan berhasil apabila Allah SWT memberikannya atau mengizinkannya.
Allah SWT berfirman yang berarti: “…Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS.2:255); “Pada hari itu (hari kiamat) tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Yang Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridai perkataannya” (QS.20:109); dan “Katakanlah, ‘Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan’” (QS.39:44).
Selain itu masih banyak lagi ayat yang mengupas masalah ini. Tidak hanya di dalam Al-Qur’an disebutkan adanya syafaat yang akan diberikan Allah SWT kepada siapa yang dikehendaki-Nya, melainkan juga tidak sedikit disebutkan di dalam kitab hadis, seperti karangan Bukhari: Kitab at-Tauhid, Muslim: Kitab al-Iman, at-Tirmizi: Kitab at-Tafsir, dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali): Musnad (Juz I, halaman 4).
Dari berbagai hadis tersebut, isinya dapat diringkaskan sebagai berikut. Pada hari kiamat Allah SWT menggiring semua makhluk-Nya (manusia). Dalam keadaan yang amat menakutkan pada hari itu, terlintaslah di hati mereka untuk meminta syafaat kepada Allah SWT agar diberi kelapangan (keselamatan).
Lalu mereka datang kepada Nabi Adam AS untuk meminta agar mereka diberi syafaat, namun Nabi Adam AS mengatakan bahwa ia tidak bisa memberikan syafaat karena pernah bersalah memakan buah terlarang dan menyuruh mereka datang kepada Nabi Nuh AS.
Mereka pergi kepada Nabi Nuh AS untuk meminta syafaatnya, namun Nabi Nuh AS juga mengatakan tidak bisa memberikan syafaat karena pernah bersalah kepada Allah SWT dan menyuruh mereka datang kepada Nabi Ibrahim AS. Mereka pergi kepada Nabi Ibrahim AS, tetapi Nabi Ibrahim AS juga tidak bisa memberikan syafaatnya karena pernah bersalah dengan berdusta tiga kali; ia menyuruh mereka datang kepada Nabi Musa AS.
Mereka pergi kepada Nabi Musa AS, namun seperti nabi sebelumnya Nabi Musa AS juga tidak bisa memberikan syafaatnya karena pernah bersalah dengan membunuh seseorang. Nabi Musa AS menyuruh mereka datang kepada Nabi Isa AS. Mereka pergi kepada Nabi Isa AS, namun ia juga tidak bisa memberinya dan menyuruh mereka datang kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi terakhir ini memohon izin kepada Allah SWT dan Allah SWT memberikan izin-Nya untuk memberi syafaat kepada mereka.
Izin yang diberikan Allah SWT kepada Nabi SAW untuk memberikan syafaat kepada siapa yang dikehendaki-Nya itu telah diyakini umat Islam. Imam Nawawi berpendapat bahwa hal ini telah menjadi keyakinan Mazhab Ahlusunah waljamaah karena dapat diterima akal dan berdasar nas yang sarih (jelas).
Keyakinan ini hanya ditolak Mazhab Khawarij dan sebagian kaum Muktazilah, karena menurut mereka orang yang berdosa akan kekal di dalam neraka. Mereka memberi alasan dengan firman Allah SWT yang berarti:
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat” (QS.74:48) dan “Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan.
Orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorang pun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya” (QS.40:18).
Imam Nawawi mengatakan bahwa ada lima macam syafaat, yaitu:
(1) syafaat yang khusus bagi Nabi SAW, yaitu adanya kelapangan di hari kiamat dan segera diadakannya perhitungan (hisab) bagi umatnya;
(2) syafaat berupa masuknya suatu kaum ke dalam surga tanpa perhitungan;
(3) syafaat yang diberikan kepada mereka yang seharusnya masuk ke dalam neraka, tetapi karena syafaat Nabi SAW dengan izin Allah SWT mereka selamat;
(4) syafaat bagi mereka yang berdosa dan telah masuk ke dalam neraka, tetapi karena syafaat Nabi SAW mereka dikeluarkan dari sana; dan
(5) syafaat berupa peningkatan derajat bagi penghuni surga. Macam syafaat yang terakhir ini tidak ditolak kaum Muktazilah.
Daftar Pustaka
al-Asqalani, Syihabuddin Abu Fadl bin Hajar. Fath al-Bari fi Syarh al-Bukhari. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladih, 1951.
al-Fandi, Muhammad Sabit. Da’irah al-Ma‘arif al-Islamiyyah. Cairo: Dar asy-Sya‘b, t.t.
an‑Nawawi, Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf ad‑Dimasqi. Sahih Muslim bi Syarh an‑Nawawi. Cairo: Dar asy‑Sya’b, t.t.
Wajdi, Muhammad Farid. Da’irah al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1971.
Asmaran AS