Suriah adalah sebuah negara republik di pantai timur Laut Tengah; di utara berbatasan dengan Turki, di timur dengan Irak, di selatan dengan Yordania dan Israel, di barat dengan Libanon dan Laut Tengah. Ibukota: Damascus. Luas: 185.180 km2. Penduduk: 18.251.370 (data 2022). Kepadatan penduduk: 95/km2. Bahasa resmi: Arab. Agama: Islam (90%), Kristen (9%), lain-lain (1%). Satuan mata uang: Pound Suriah.
Fisiografi. Bagian barat Suriah meliputi dataran sepanjang pantai Laut Tengah. Dataran itu sempit, kecuali di selatan, yaitu di Lembah Tarabulus-Homs, yang memisahkan Pegunungan Libanon dari Jabal al-Ansariyah, pegunungan yang membentang ke utara dengan ketinggian 900–1.200 m.
Di timur Jabal al-Ansariyah terletak Dataran Rendah Ghab, bagian dari lembah retak besar Laut Mati-Teluk Aqaba. Dataran Rendah Ghab dialiri Nahr al-Asi (Sungai Orontes). Di bagian timur sungai itu terletak Jabal Zawiye, bagian tepi sebuah plato stepa dan Gurun Suriah yang berketinggian rata-rata 600 m.
Gurun Suriah membentang ke arah timur Sungai Eufrat dan mempunyai jaringan wadi yang dangkal. Gurun itu dipotong beberapa pegunungan yang membentang ke arah timur laut. Di selatan terdapat perbukitan vulkanis Jabal ad-Duruz (1.801 m). Di antara perbukitan itu dan Jabal asy-Syaykh terletak Dataran Hauran (Bashan) yang berbatu-batu tetapi subur.
Perbatasan Suriah dengan Libanon bertepatan dengan Pegunungan Syarqi (Anti-Libanon) dan Jabal asy-Syaykh (Gunung Hermon, 2.814 m). Sungai yang muncul dari pegunungan ini mengairi lembah dan oase, antara lain Oase Ghutah dan Oase Damascus, yang diairi Sungai Barada dan Sungai Awadji.
Sekitar 90.3% dari penduduk adalah orang Arab, sisanya 9,7% adalah kelompok etnik Kurdi (kedua terbesar), Armenia, dan kelompok etnik lainnya. Separuh penduduk tinggal di perkotaan. Kota utama dan termasuk di antara kota tertua di dunia adalah Damascus, Haleb (Aleppo), Homs, Latkia, dan Hama.
Sekitar 90% penduduk adalah muslim, antara lain mayoritas Suni, lainnya pengikut Alawi (Syiah) dan Druze. Selebihnya adalah penganut agama lain seperti Kristen Ortodoks (Yunani, Armenia, dan Suriah) dan Yahudi. Agama, khususnya Islam, menjadi suatu kekuatan politik dan sosial di Suriah. Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi tersedia, tetapi belum semua memadai. Universitas terdapat di Damascus, Haleb, dan Latkia.
Ekonomi. Suriah adalah negara berkembang yang memiliki potensi besar untuk pertumbuhan ekonomi. Produk utama pertaniannya adalah kapas, gandum, barli (semacam gandum), buah-buahan, sayur-mayur, tembakau, tebu, tomat, dan ternak. Industri berkembang pesat, meliputi tekstil, pengolahan makanan, tembakau, petroleum, semen, kaca, sabun, dan fosfat.
Pertambangan menghasilkan minyak bumi, gas alam, bijih besi, dan garam. Rekan dagang utama Suriah adalah negara Timur Tengah dan Eropa. Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan, kota di Suriah dihubungkan dengan kota negara tetangga melalui jalan aspal dan jalan kereta api. Bandara internasional terdapat di Damascus. Pelabuhan Latkia sangat penting bagi perdagangan luar negeri.
Pemerintahan. Suriah adalah negara republik. Konstitusi 1973 menyebutnya negara “demokrasi rakyat sosialis”. Presiden adalah kepala negara dan pejabat pemerintah paling berkuasa. Masa jabatan presiden berlangsung selama 7 tahun setiap periode. Presiden juga memimpin Partai Ba’ath, yang mengontrol politik pemerintahan Suriah.
Dewan Rakyat (Majlis as-Shaab) yang dipilih setiap 4 tahun melalui pemilu beranggotakan 250 orang. Anggota dewan pembuat undang-undang ini berasal dari empat partai politik bersama Partai Ba’ath yang membentuk organisasi sosialis yang disebut Front Progresif Nasional. Setiap komunitas agama mempunyai peradilan untuk menangani urusan perkawinan, perceraian, dan harta warisan.
Sejarah. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa Suriah pernah menjadi salah satu pusat peradaban tertua di dunia. Orang Semit (Akkad, Kanaan, Funisia, Amori, Aram, Ibrani, dan Assyria) menguasai Suriah sejak 3500 SM hingga 538 SM. Mereka membangun negara kota dan mencapai tingkat peradaban yang tinggi.
Kemudian Suriah dikuasai bangsa non-Semit. Tahun 538–333 SM Suriah dikuasai Persia dan pada 333 SM Iskandar Agung mengusir Persia. Ia dan penerusnya mengembangkan kebudayaan Yunani. Pada 64 SM Suriah jatuh ke tangan bangsa Romawi, dan menjadi bagian Kekaisaran Romawi. Kemudian Kerajaan Romawi Timur mengembangkan agama Kristen di Suriah hingga datangnya Islam.
Islam masuk ke Suriah pada 633 pada masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq, ketika ia mengirim tentara Islam menghadapi bangsa Romawi yang menguasai Suriah dan Palestina. Tetapi penaklukan Suriah baru sempurna pada 639 pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Abu Bakar mengirim empat panglima perangnya yang memimpin ribuan tentara Islam di empat front untuk menghadapi tentara Romawi yang tangguh. Pasukan di front Homs dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah, front Damascus dipimpin oleh Yazid bin Abu Sufyan, front Palestina dipimpin oleh Amr bin As, dan front Yordan dipimpin oleh Syurahbil bin Hasanah. Romawi juga mengorganisasi tentaranya di empat tempat.
Karena pertahanan Romawi sangat kuat, tentara Islam tidak bisa berbuat banyak. Maka seluruh tentara Islam dipersatukan di satu front, di Yarmuk. Di sini terjadilah pertempuran yang terkenal dengan nama “Perang Yarmuk”.
Khalid bin Walid yang berperang di front Persia dipanggil agar bergabung ke front Yarmuk. Ia menjadi panglima tertinggi pasukan Islam dalam pertempuran tersebut. Tetapi kemudian ia diberhentikan Khalifah Umar dan digantikan Abu Ubaidah bin Jarrah. Kendati demikian, Khalid tetap bertempur sebagai prajurit biasa.
Taktik mempersatukan tentara Islam di satu front ternyata berhasil melumpuhkan kekuatan Romawi; satu demi satu wilayah kekuasaannya jatuh ke tangan tentara Islam. Kota Damascus dikuasai tentara Islam pada 635. Kemudian menyusul kota lain seperti Homs, Hama, Latkia, Haleb (di utara), Akka, Jaffa, dan Gaza (di selatan).
Kehadiran tentara Islam diterima mayoritas umat Kristen. Secara berangsur-angsur Islam menggantikan posisi Kristen. Proses ini disebabkan oleh:
(1) penduduk Suriah menganggap tentara Arab muslim bukan orang asing, melainkan sama dengan mereka, karena sama-sama berasal dari ras Semit;
(2) kemenangan tentara Islam atas bangsa Romawi tidak diikuti pembunuhan dan penindasan terhadap penduduk, tetapi menerapkan prinsip ajaran Islam, yakni menerima perdamaian seperti yang diminta penduduk Damascus dan penguasa Yerusalem, menjamin kebebasan beragama, persamaan hak dalam kehidupan sosial dan politik;
(3) penduduk Suriah tidak menerima agama Kristen secara sempurna; dan
(4) di antara tentara Islam banyak terdapat fakih, ulama, dan guru, yang setelah perang usai terjun berdakwah serta berbaur dengan penduduk setempat.
Proses islamisasi di Suriah sejak penaklukan sampai berabad-abad kemudian, bahkan sampai sekarang, berjalan lamban, tetapi sekarang negeri ini berpenduduk mayoritas muslim. Proses ini mulai terorganisasi setelah Khalifah Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah menjadi gubernur Damascus.
Di kota ini ia membangun sebuah masjid di sebuah rumah pemujaan bangsa Yunani yang diubah kaum Nasrani menjadi gereja. Pada waktu itu sebagian dari bangunan itu digunakan untuk gereja dan sebagian lagi untuk masjid. Masjid ini kemudian terkenal sebagai Masjid Umayah sejak Khalifah al-Walid bin Abdul Malik (705–715). Seluruh bangunan gereja ia jadikan masjid setelah bentuknya diubah. Untuk kaum Nasrani dibangun gereja baru.
Khalifah Usman bin Affan mengangkat Mu‘awiyah bin Abu Sufyan menjadi gubernur Damascus untuk seluruh negeri Syam (Suriah). Mu‘awiyah menjabat gubernur selama 20 tahun hingga ia mendirikan Dinasti Umayah dan menjadi khalifah pertama. Damascus ia jadikan ibu kota pemerintahannya. Selama ia menjadi gubernur dan setelah menjadi khalifah, penyebaran ajaran Islam di antara penduduk Suriah berlangsung secara merata dan intensif.
Selama pemerintahan Dinasti Umayah (661–750), Suriah (Damascus) menjadi pusat pemerintahan. Kekuasaannya meliputi Semenanjung Arabia, Irak, Iran, Palestina, Yordania, Mesir, dan negeri di Afrika Utara lainnya sampai ke pesisir Samudera Atlantik, Spanyol, Asia Tengah, dan Sind di India.
Dinasti itu sangat menekankan penyebaran Islam dan perluasan wilayah kekuasaan ke Afrika Utara, Spanyol, Asia Tengah, Persia, dan India. Penduduk Suriah menjadi inti kekuatan untuk usaha tersebut. Selama pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750–1258), Suriah menjadi wilayah kekuasaannya di bawah seorang gubernur.
Pada masa dinasti ini mencapai puncak kejayaannya, Damascus, Haleb, dan Beirut juga menjadi pusat ilmu pengetahuan dan arsitektur Islam. Dua orang sastrawan Suriah terkenal adalah Abu Tayyib al-Mutanabbi (abad ke-10), dan Abu A‘la al-Ma’arri (abad ke-11). Tahun 900-an tampil al-Farabi.
Pada abad ke-11 dan ke-12 Suriah menjadi pusat kegiatan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi melawan tentara Salib yang menguasai Palestina. Ia berhasil membebaskan kota suci Baitulmakdis (Yerusalem) dari tentara Salib.
Pada 1260–1516, Suriah diperintah oleh Dinasti Mamluk yang berhasil menahan serangan tentara Mughal yang menaklukkan Damascus pada 1260. Sejak tahun 1516, Suriah menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Usmani Turki (Ottoman) sampai dibebaskan pada 1918 oleh gabungan tentara Arab dan Sekutu dalam Perang Dunia I.
Selama era Usmani, para sultan melegitimasi otoritas mereka dengan mengklaim bahwa mereka menjalankan pemerintahan sesuai dengan Islam. Pada awal abad ke-19, agama Islam di Suriah sudah mapan dan memperlihatkan kesetiaannya kepada sultan Usmani, dengan menolak seruan untuk memberontak dari gerakan pembaru agama Wahabiyah di Arab Tengah.
Pada 1831–1840, Suriah berada di bawah kekuasaan Cairo. Pendudukan tentara Mesir di Suriah membuat para pemuka agama Suriah terguncang. Otoritas Mesir membatasi peran mereka secara tajam dalam urusan kedaerahan.
Pada 1920 Suriah jatuh ke tangan Prancis. Kemudian para pemimpin tradisional, kaum Alawi, dan kaum Druze yang didukung oleh kaum nasionalis Arab dari Partai Rakyat mengadakan perlawanan senjata terhadap Prancis, sehingga pada April 1946 pasukan Prancis meninggalkan Suriah setelah gagal membom Damascus pada akhir Perang Dunia II untuk memulihkan kekuasaannya di wilayah itu.
Setelah kemerdekaan pada 1946 hingga 1963, kancah perpolitikan Suriah mengalami serangkaian kudeta militer. Kekuatan politik yang paling dinamis adalah partai nasionalis Arab sekuler, seperti Partai Ba’ath dan partai kiri lainnya. Pada 8 Maret 1963, sebuah kudeta militer meresmikan era pemerintahan Ba’ath.
Sejak negara Israel berdiri (1948), Suriah bersama negara-negara Arab aktif melawan Israel dalam beberapa kali perang (1948, 1967, dan 1973). Dalam perang 1967, Dataran Tinggi Golan dicaplok Israel.
Melalui saluran diplomatik, Suriah aktif mengambil bagian untuk membebaskan tanah Arab dari kekuasaan Israel dan mendirikan negara merdeka bagi bangsa Palestina di tanah Palestina. Sejak 1971, Suriah dipimpin oleh Presiden Hafez al-Assad, pemimpin Partai Ba’ath. Namun sejak 17 Juli 2000, Suriah dipimpin oleh putra Hafez al-Assad, Bashar al-Assad. Ia menjabat hingga sekarang (data 2022).
Sejak menggantikan ayahnya pada 2000, Bashar al-Assad berjuang untuk menguasai negaranya, setelah protes terhadap pemerintahannya berubah menjadi perang skala penuh. Dia mewarisi struktur politik yang dikontrol ketat, dengan lingkaran dalam yang didominasi anggota minoritas keluarga Assad, komunitas Alawi.
Retakan mulai muncul pada awal 2011, setelah gelombang protes “Musim Semi Arab” yang melanda Afrika Utara dan Timur Tengah. Suriah dengan cepat jatuh ke dalam perang saudara. Tetapi oposisi yang terpecah dan dukungan kuat untuk Presiden Assad dari sekutu Iran dan Rusia-nya terus mengubah gelombang pertempuran, yang mengunggulkan posisi pemerintah mulai 2017.
Sebagai salah satu pusat kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, Suriah memiliki berbagai peninggalan arsitektur Islam, terutama di Damascus sebelah selatan Sungai Barada, yang menampilkan wajah kota lama. Di bagian lainnya ada Masjid Agung Umayah (705) dan Museum Qasr al-Azam.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Michael, ed. Handbook to the Modern World: The Middle East. New York: Fack on File Publication, 1988.
Burckhard, John Lewis. Travels in Syria and the Holy Land. London: John Murray, 1858.
van Dam, Nikolaos. The Struggle for Power in Syria: Sectarianism, Regionalism and Tribalism Politics, 1961–1978. New York: St. Martin’s Press, 1979.
van Dusen, Michael, “Syria: Downfall of a Traditional Elite,” Political Elites and Political Development in the Middle East. Cambridge, MA: Schenkman Publishing, 1975.
Glassner, Martin Ira. “Syria,” Grolier Academic Encyclopaedia. t.tp: Grolier International, 1986.
Haddad, Robert M. “Syria,” The World Book Encyclopaedia. London-Chicago-Sydney-Toronto: World Book, Inc., 1992.
Khoury, P.S. Syria and the French Mandate: Politics of Arab Nationalism 1920–1945. London: Tauris Academic Studies, 1987
Longrigg, Stephen Helmsley. Syria and Lebanon Under French Mandate. London: Oxford University Press, 1958.
Lyde, Samuel. The Asian Mystery: Illustrated in the History, Religion, and Present State of the Ansaireh or Nusairis of Syria. London: Longman, Green, Longman and Roberts, 1860.
Rabinovich, Itamar. Syria Under the Ba’th, 1963–1966: The Army-Party Symbiosis. Jerusalem: Israel Universities Press, 1972.
https://www.worldometers.info/world-population/syria-population/, diakses pada 11 April 2022.
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703856, diakses pada 11 April 2022.
J. Suyuti Pulungan
Data telah diperbarui oleh Tim Redaksi Ensiklopediaislam.id (April 2022)