Suq ‘Ukaz

Suq ‘Ukaz adalah nama sebuah pasar raya tahunan di daerah Hijaz pada masa pra-Islam. Lokasi pasar ini terletak di oase antara Nakhlah dan Ta’if di sebelah timur Mekah. Pasar tahunan ini diselenggarakan sebelum musim haji, yaitu pada bulan Zulkaidah dari hari pertama sampai hari ke-20.

Setelah kegiatan pasar di Suq ‘Ukaz berakhir, maka kegiatan jual beli berpindah ke Suq Zul Majannah di dekat kota Mekah yang berlangsung pada sepuluh hari terakhir di bulan Zulkaidah setiap tahun dan ditutup dengan pasar tahunan Zul Majaz di dekat kota Yanbu’ yang berlangsung dari tanggal 1 sampai 8 Zulhijah.

Suq ‘Ukaz, seperti kedua pasar tahunan di Zul Majannah dan Zul Majaz, pada mulanya adalah tempat jual beli antara suku Arab dari seluruh penjuru Hijaz. Kemudian tempat ini berubah menjadi semacam pertemuan nasional dan kongres kesusastraan.

Dalam pertemuan nasional tahunan ini terbuka kesempatan bagi siapa pun untuk mencari mitra dagangnya dan untuk mempromosikan pedang dan kuda yang bagus untuk dijual. Selain itu, seseorang mengunjungi pasar itu untuk mencari wanita yang akan dilamarnya dan juga untuk mengumumkan pada orang banyak bahwa ia telah memerdekakan budak kepunyaannya.

Suq ‘Ukaz berbeda dengan pasar lainnya, karena di pasar ini ada pertandingan deklamasi syair antarpenyair dari setiap suku Arab. Masing-masing penyair dalam membacakan syairnya pada umumnya mengemukakan kehebatan, keistimewaan, dan keunggulan diri dan sukunya.

Para penyair tersebut mendeklamasikan syairnya di hadapan orang banyak dan dinilai oleh penyair besar ternama, antara lain Nabigah az-Zubyani, seorang penyair besar terkenal di masa pra-Islam.

Dari sejumlah syair dan kasidah yang dibacakan, akan dipilih syair atau kasidah pemenang. Kasidah yang keluar sebagai pemenang, menurut satu versi, lalu ditulis dengan tinta emas dan selanjutnya digantungkan di dinding Ka’bah. Ada juga yang berpendapat bahwa syair atau kasidah pemenang ini menjadi hafalan para penyair lainnya.

Syair yang memenangkan perlombaan di Suq ‘Ukaz kemudian dikumpulkan dan dinamai al-mu‘allaqat (yang digantungkan). Ada tujuh penyair di masa Jahiliah yang memiliki al-mu‘allaqat, yaitu Amru al-Qais, Zuhair bin Abi Sulma, Nabigah az-Zubyani, al-A‘sya, Labid bin Rabi’ah, Amr bin Kultum, dan Tarafah bin Abdul Bakri. Ada yang menambahkan nama penyair lain, seperti Antarah bin Syaddad, al-Haris bin Hillizah, dan Abid bin Abras.

Suq ‘Ukaz dipandang berperan besar dalam proses pemersatuan dialek Arab ke dalam satu bahasa persatuan bagi seluruh penduduk di Semenanjung Arabia. Para penyair di pasar itu mendeklamasikan syairnya dengan memperguna kan bahasa persatuan itu yang berasal dari dialek Quraisy.

Bahasa Quraisy terpilih sebagai bahasa standar karena kedudukan suku Quraisy amat terhormat di mata suku Arab lainnya. Quraisy dipandang sebagai suku pelindung dan penjaga Ka’bah yang diagungkan oleh seluruh penduduk Arab sejak zaman silam dan sebagai suku yang melayani serta menerima para tamu yang mengunjungi tanah suci Mekah.

Oleh karena itu, ketika diutus membawa risalah Islam, Nabi Muhammad SAW menyampaikannya dalam bahasa Arab yang sudah menjadi bahasa persatuan bagi suku Arab dalam pertemuan tahunannya.

Setelah Islam tersebar luas di wilayah Arab, Suq ‘Ukaz tidak diselenggarakan lagi. Tidak ada sumber yang menyebutkan mengapa kegiatan Suq ‘Ukaz terhenti. Kemungkinan pasar ini tidak berlangsung lagi di masa Islam karena penyelenggaraan perlombaan deklamasi syair yang berisi kebanggaan dan penyombongan diri tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.

Selain itu di masa lalu sering terjadi peperangan antarsuku Arab yang benihnya berasal dari rasa saling membanggakan diri dan suku di Suq ‘Ukaz, misalnya Perang­ Fijar antara suku Hawazin dan sekutunya melawan suku Quraisy di masa dekat sebelum Islam. Penyebabnya antara lain adalah seseorang dari Bani Gifar bernama Badr bin Ma’syar al-Gifari menyombongkan diri dan kaumnya di tengah Suq ‘Ukaz.

Ia menyodorkan kakinya dan berkata, “Saya orang Arab yang paling mulia. Barangsiapa yang menganggap dirinya lebih mulia daripadaku, potonglah kakiku ini dengan pedang sebab kakiku ini lebih mulia daripadaku.”

Seorang lelaki dari Bani Nasr menjawab tantangan itu dan langsung memenggal kaki Badr bin Ma’syar. Selain itu juga disebutkan peristiwa lain, yaitu pemuda dari Quraisy dan Bani Kinanah menggoda seorang wanita dari Bani Amir yang sedang duduk di Suq ‘Ukaz.

Mereka meminta wanita itu untuk membuka cadar yang menutupi wajahnya, tetapi wanita ini menolak. Para pemuda itu secara diam-diam lalu mengikat ujung belakang pakaian wanita itu pada sebuah bangku.

Akibatnya pakaian itu tersingkap ketika wanita itu berdiri. Wanita itu lalu berteriak memanggil kaumnya dari Bani Amir sehingga pecahlah peperangan. Perang Fijar II terjadi 26 tahun sebelum Muhammad diangkat menjadi nabi, yakni ketika ia berumur 14 tahun.

Disebutkan pula bahwa di Suq ‘Ukaz ini Zaid bin Harisah dijual sebagai budak oleh Bani Qain bin Jasr dan dibeli Hakim bin Hizam untuk bibinya, Khadijah binti Khuwailid. Khadijah lalu menghadiahkan Zaid kepada Nabi SAW dan Nabi SAW segera memerdekakannya.

Ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW dan serombongan sahabat berada dalam perjalanan menuju Suq ‘Ukaz ketika ada beberapa jin mendengarkan pembacaan Al-Qur’an dari Nabi SAW di Nakhlah. Kisah jin mendengarkan Al-Qur’an ini terdapat pada surah al-Jinn (72) ayat 1 dan surah al-Ahqaf (46) ayat 29.

Daftar Pustaka

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965.
Farukh, Umar. Tarikh al-Adab al-‘Arabi. Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayiyin, 1981.
al-Isfahani, Abul Faraj. Kitab al-Agani. Beirut: Mu’assasah Jamal, t.t.
Lane, Edward William. Arabian Society in the Middle Ages. London: Curzon Press, 1987.
Snouck Hurgronje, Christiaan. Het Mekkaansche Feest, atau Perayaan Mekah, terj. Supardi. Jakarta: INIS, 1989.

M Rusydi Khalid