Secara etimologis, sulh berarti “memutuskan atau menyelesaikan persengketaan atau mengadakan perdamaian”. Istilah sulh ditemukan dalam literatur fikih yang berkaitan dengan persoalan transaksi, perkawinan, peperangan, dan pemberontakan. Secara terminologis, sulh didefinisikan sebagai “akad yang ditentukan untuk menyelesaikan pertengkaran”.
Sulh dapat digunakan dalam berbagai persoalan dalam masyarakat. Misalnya dalam hal pinjam-meminjam, A meminjam baju B. Ketika memakainya, A lalai sehingga baju itu rusak. Untuk menghindarkan pertengkaran, kedua belah pihak sepakat berdamai.
Baju yang rusak diganti A dengan bahan baju. Jika B rela dengan penggantian tersebut, mereka telah melakukan suatu akad perdamaian atau sulh. Berdamai seperti ini dibolehkan dalam Islam.
Landasan hukum yang membolehkan melakukan perdamaian antara lain terdapat dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 128 yang berarti:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyus atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)….”
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Perdamaian itu boleh dilakukan umat Islam, kecuali perdamaian yang mengacu kepada menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal” (HR. Ibnu Hibban, Abu Dawud, al-Hakim, dan at-Tirmizi dari Abu Hurairah).
Selama perdamaian tidak melanggar hak Allah SWT dan Rasul-Nya, perdamaian itu dibolehkan secara hukum. Yang dimaksud dengan perdamaian yang melanggar hak Allah SWT dan Rasul-Nya antara lain adalah perdamaian seorang suami dengan istrinya yang isinya menyatakan bahwa suami tidak akan menggauli istrinya lagi, perdamaian melakukan zina, minum khamar, dan mencuri.
Macam sulh.
Dilihat dari subjek perdamaian, sulh dapat berlaku antara umat Islam dan ahl al-harb (orang kafir yang memerangi umat Islam), misalnya perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah SAW serta pengikutnya dan kaum musyrikin Mekah pada 6 H/628 M.
Perdamaian dapat berlangsung antara pihak yang berkuasa (pemerintah) dan pemberontak dalam suatu negara. Perdamaian seperti ini biasanya berakhir dengan adanya konsesi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.
Perdamaian bisa juga terjadi antara suami dan istri yang sering kali bertengkar. Seorang istri yang selalu menanggung perlakuan kasar atau penyelewengan suaminya boleh mengajukan perdamaian dengan cara menggugurkan beberapa haknya atau mengurangi beberapa kewajiban suami.
Perdamaian dapat pula berlangsung antara dua orang atau kelompok bersengketa dalam persoalan bukan harta, seperti persoalan kisas. Perdamaian dalam hal ini terjadi jika pembunuh meminta damai kepada ahli waris yang terbunuh. Perdamaian ini dapat berbentuk permaafan oleh ahli waris dan dapat pula kisas itu diganti dengan denda.
Selain itu, perdamaian dapat juga dilakukan dalam persoalan persengketaan harta benda. Misalnya, A berutang sejumlah uang kepada B. Sebelum sempat membayar utangnya, A meninggal dunia. A tidak meninggalkan uang yang cukup dan ahli warisnya juga tidak mempunyai uang tunai untuk membayar utang tersebut.
Harta yang tersedia adalah sebidang kebun buah-buahan yang sedang berbuah. Dalam kasus seperti ini, perdamaian antara kedua belah pihak dapat berhasil antara lain dengan ketentuan bahwa utang uang tersebut dibayar dengan buah-buahan yang ada di kebun itu. Kasus seperti ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW.
Dalam hadis riwayat Bukhari diceritakan bahwa Jabir bin Abdullah (seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari Nabi SAW) dituntut seseorang dalam persoalan utang ayahnya yang telah wafat ketika Perang Uhud. Jabir tidak mempunyai uang tunai untuk membayarnya. Harta yang dimilikinya hanya kebun kurma. Ia berharap agar utang itu dibayar dengan hasil kebun itu.
Namun, pihak pemberi utang tetap menagih uang. Jabir lalu menemui Rasulullah SAW untuk menanyakan jalan keluar yang harus ditempuhnya. Rasulullah SAW meminta agar pihak pemberi utang menerima buah kurma itu sebagai pembayar utang ayah Jabir. Akan tetapi, pemberi utang itu tetap menolak permintaan tersebut.
Akhirnya Rasulullah SAW menyuruhnya untuk kembali menemui Jabir keesokan harinya. Pagi-pagi sekali Rasulullah SAW berkeliling di kebun Jabir sambil berdoa agar pohon kurma itu diberkati Allah SWT. Pohon kurma itu lantas berbuah lebat, sehingga Jabir dapat memetik dan menjualnya. Dengan hasil penjualan kurma itulah Jabir kemudian membayar utang ayahnya.
Berdasarkan hadis ini ulama membolehkan dilakukannya perdamaian yang menetapkan bahwa piutang uang dapat dibayar dengan benda senilai uang itu. Dalam hadis itu, Nabi SAW dengan jelas menawarkan kepada pihak pemberi utang agar mau menerima buah kurma sebagai pengganti utang uang tersebut.
Dalam perkara yang berhubungan dengan harta benda, sulh dapat berlangsung dengan dua bentuk. Pertama, perdamaian antara seorang penggugat dan tergugat. Kedua, perdamaian antara seseorang dan orang lain tanpa adanya gugatan, seperti perdamaian antara A dan B dalam persoalan ijarah (al-ijarah) yang tidak memerlukan adanya gugatan secara hukum. Dalam mengakhiri suatu persengketaan, sulh itu terdiri atas tiga bentuk:
Pertama, perdamaian dalam kasus tergugat mengakui gugatan penggugat. Misalnya, A menuduh B telah menukar benda miliknya, dan B mengakuinya. Kerelaan saling mengembalikan barang yang tertukar termasuk dalam kategori sulh. Di samping itu, sulh dalam bentuk ini bisa juga berlaku dalam persoalan manfaat atau jasa, seperti dalam persoalan sewa-menyewa rumah.
Kedua, perdamaian dalam kasus tergugat tidak mengakui gugatan penggugat. Contohnya, penggugat mempunyai hak atas barang yang ada di tangan tergugat, tetapi tergugat mengingkari hal itu. Menurut ulama Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi, dan Mazhab Hanbali, perdamaian dalam kasus seperti ini boleh dilakukan.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 128 dan hadis Nabi SAW di atas. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi‘i menyatakan bahwa dalam persengketaan yang gugatannya diingkari tergugat tidak boleh dilakukan perdamaian kecuali tuduhan penggugat itu benar dan pihak tergugat mengakui bahwa ia tidak berhak atas barang yang digugat tersebut serta bersedia mengembalikan hak penggugat guna mengakhiri persengketaan.
Alasan mereka adalah bahwa jika kasus seperti itu boleh diselesaikan dengan perdamaian, maka setiap orang dapat mengklaim hak orang lain. Menurut mereka, hal seperti ini akan bermuara kepada menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, seperti yang dinyatakan hadis Nabi SAW.
Ketiga, perdamaian dalam kasus gugatan penggugat tidak ditanggapi tergugat. Dengan kata lain, pihak tergugat tidak mengakui dan tidak pula mengingkari gugatan tersebut. Padahal, penggugat ingin melakukan perdamaian dengan pihak tergugat.
Dalam hal ini, jumhur ulama berpendapat bahwa perdamaian dalam kasus seperti ini dibolehkan. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat dan hadis yang telah disebutkan di atas. Akan tetapi, ulama Mazhab Syafi‘i berpendapat bahwa perdamaian seperti ini tidak dibolehkan, karena sikap diam atau tidak memberikan tanggapan tersebut menunjukkan sikap pengingkaran dari pihak tergugat. Dengan demikian, bentuk sulh seperti ini pun termasuk dalam kategori kedua di atas.
Rukun dan Syarat.
Sulh sebagai salah satu tindakan hukum baru dinilai sah dan mempunyai konsekuensi hukum apabila rukun dan syaratnya telah terpenuhi. Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun sulh hanya ijab dan kabul antara kedua belah pihak.
Akan tetapi, jumhur ulama mengemukakan empat rukun sulh, yaitu orang yang melakukan akad (penggugat dan tergugat), ijab dan kabul, kasus yang dipersengketakan, dan perdamaian yang disepakati.
Adapun syarat untuk melakukan akad sulh ada tiga:
(1) penggugat dan tergugat berakal sehat dan telah cakap bertindak hukum;
(2) wali, jika perkara yang diselesaikan melalui sulh itu menyangkut harta anak kecil; dan
(3) salah satu pihak yang melakukan akad itu bukan orang yang murtad, menurut Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).
Syarat ketiga ini tidak disepakati jumhur ulama. Untuk objek sulh disyaratkan:
(1) sesuatu yang bernilai harta bagi umat Islam, seperti rumah dan tanah;
(2) harta tersebut harus yang halal dimanfaatkan umat Islam;
(3) sesuatu yang jelas; dan
(4) berada di bawah penguasaan tergugat.
Jika suatu perdamaian telah dilakukan dengan sempurna, akibat hukumnya antara lain adalah sebagai berikut:
(1) selesainya persengketaan dan tidak boleh lagi ada gugatan setelah itu;
(2) jika objek sulh itu berupa rumah, sedangkan ganti rugi akibat sulh itu bukan rumah, tetangga pemilik rumah itu memiliki hak syuf‘ah yang harus diperhitungkan, karena akad sulh telah menyerupai jual beli, yaitu tukar-menukar harta;
(3) hak khiar apabila objek suh bercacat; dan
(4) tidak dibenarkan bertindak hukum pada ganti rugi sulh itu sebelum dikuasai pihak penggugat.
Pembatalan.
Akad sulh dapat batal oleh beberapa hal.
(1) Apabila objek sulh itu bukan kisas, orang yang berdamai dapat mencabut perjanjian damai itu. Namun, jika sulh berupa kisas, sulh itu sendiri merupakan pengguguran hukuman dan karena itu tidak boleh dicabut.
(2) Larinya orang yang murtad ke wilayah darul harbi yang sedang berperang dengan negeri muslim atau ia meninggal dunia dalam keadaan murtad. Menurut Imam Abu Hanifah, segala tindakan hukum orang murtad dianggap tidak berlaku sampai ia masuk Islam kembali.
(3) Ganti rugi dalam sulh itu dikembalikan karena cacat atau berbeda dengan yang disepakati.
(4) Jika ganti rugi sulh itu berupa manfaat, hilangnya manfaat itu sebelum akad sulh selesai menyebabkan batalnya akad sulh tersebut.
Apabila akad sulh itu batal, pihak penggugat kembali kepada gugatannya jika perdamaian yang dilakukan itu termasuk dalam kategori gugatan yang diingkari tergugat. Jika gugatan tersebut termasuk ke dalam kategori gugatan yang diakui tergugat, gugatan kembali kepada keadaan semula sebelum adanya gugatan.
Jika sulh itu dilakukan dalam persoalan kisas, penggugat hanya berhak menuntut diat, karena kisas itu sendiri telah digugurkan ketika mereka ingin melakukan perdamaian.
Warisan.
Persoalan lain yang dibahas ulama fikih dalam masalah sulh ini adalah perdamaian dalam masalah harta warisan. Menurut ulama, boleh saja seseorang melakukan sulh dalam masalah tersebut.
Artinya, ia menggugurkan hak waris yang seharusnya diterimanya sebagai konsesi terhadap harta lain yang didapatkannya, baik dari harta warisan itu sendiri maupun dari harta lain. Jumlah harta yang dijadikan objek sulh ini bisa banyak dan bisa pula sedikit, karena menurut Imam Abu Hanifah, jika seseorang menggugurkan haknya dari harta warisan, gantinya tidak harus sama banyak dengan hak warisan yang harus diterimanya.
Daftar Pustaka
Ibnu Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Cairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1401 H/1981 M.
al-Jaziri, Abdurrahman. al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba‘ah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
al-Qardawi, Muhammad Yusuf. al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, atau Halal dan Haram dalam Islam, terj. Mu’ammal Hamidi. Surabaya: Bina Ilmu, 1992.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Fikih Mu’amalah. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
az-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
Nasrun Haroen