Secara kebahasaan, suffah berarti “bangku tempat duduk”; suffah al-masjid berarti “tempat duduk di pinggir masjid” yang langsung beratapkan atap masjid, atau serambi masjid. Dalam istilah tasawuf, kata kuffah dihubungkan dengan Masjid Nabawi di Madinah, yang œuffah (serambi)-nya dipakai oleh para sahabat Muhajirin yang tidak mendapat rumah di Madinah sebagai tempat tinggal mereka.
Menurut Harun Nasution, yang dimaksud dengan suffah bukanlah bangku tempat duduk atau tempat tidur, tetapi pelana yang dipakai para sahabat sebagai bantal tidur di atas bangku batu di pinggir Masjid Nabawi di Madinah.
Adapun Abu al-Wafa’ al-Ganimi at-Taftazani, penulis buku tasawuf, mengatakan bahwa suffah adalah ruangan yang terdapat di ujung Masjid Nabawi yang dihuni orang miskin yang tidak berkeluarga dari kalangan Muhajirin dan Ansar.
Di situ mereka memusatkan perhatian kepada Allah SWT dengan beribadah, melatih jiwa, dan menjauhkan diri dari berbagai pesona duniawi. Mereka itu disebut ahl as-suffah.
Peneliti lain juga menyebut bahwa suffah itu adalah ruangan di pinggir Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati para sahabat Nabi Muhammad SAW dari kalangan Muhajirin yang miskin, karena mereka terpaksa mengungsi dan lari ke Madinah untuk menyelamatkan akidah (keyakinan) mereka dari intimidasi kafir Quraisy di Mekah.
Dalam pengungsian tersebut mereka tidak membawa harta benda. suffah yang mereka tempati itu bukan dimaksud untuk tempat tinggal permanen, tetapi sebagai tempat tinggal sementara menunggu ada untung untuk mendapatkan tempat tinggal yang permanen.
Ahl as-suffah menjadi rujukan utama kaum sufi, di samping para sahabat besar yang saleh, karena keteguhan pendirian dan ketakwaan mereka dalam beribadah kepada Allah SWT.
Abu Nu’aim al-Isfahani (w. 430 H/1038 M), salah seorang tokoh tasawuf, mendeskripsikan sifat ahl as-suffah sebagai berikut: “Mereka adalah kelompok yang terjaga dengan kebenaran dan terjaga dari kecenderungan duniawi, terpelihara dari kelalaian terhadap kewajiban, dan menjadi ikutan orang-orang miskin yang menjauhi duniawi.
Mereka tidak mempunyai keluarga atau pun harta benda. Bahkan perdagangan atau pun peristiwa yang berlangsung di sekitar mereka tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah SWT. Mereka tidak disedihkan oleh kefakiran terhadap hal-hal duniawi dan tidak pula digembirakan oleh apa pun kecuali oleh sesuatu yang mereka tuju.”
Al-Qur’an menggambarkan ahl as-suffah sebagai berikut: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang yang menyeru Tuhannya di waktu pagi dan di senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” (QS.18:28).
Dalam ayat ini digambarkan sifat keutamaan, yang menurut at-Tusi (385 H/995 M–460 H/1067 M; salah seorang tokoh tasawuf dan teologi dari kalangan Syiah), adalah gambaran sifat ahl as-suffah.
Menurut at-Tusi, sifat mereka digambarkan pula oleh Al-Qur’an dalam ayat lain yang berarti: “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak…” (QS.2:273).
Di antara para sahabat Nabi SAW yang pernah menginap di suffah Masjid Nabawi itu adalah Abu Hurairah, Salman al-Farisi, Abu Zarr al-Giffari, Mu‘az bin Jabal, Imran bin Husin, Abu Ubaidah bin Jarah, Abdullah bin Mas‘ud, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin Khattab, Huzaifah bin Yaman, Bilal bin Rabah, dan Suhaib ar-Rumi. Karena nama cemerlang inilah kata suffah menjadi populer dalam khazanah intelektual Islam, terutama dalam terminologi tasawuf.
Karena para sahabat yang menghuni suffah itu banyak mendapat perhatian para sufi, ada sementara peneliti dalam kajian tasawuf merujuk kata “sufi” pada suffah. Mereka memandang bahwa asal kata “sufi” dan “tasawuf” adalah dari kata suffah. Pendapat demikian mungkin disebabkan adanya keterkaitan etimologis antara kedua kata tersebut, juga karena adanya kesamaan sifat dan tabiat antara para sufi dan ahl as-suffah.
Keterkaitan etimologis terletak pada kedekatan ejaan antara kata suffah dan sufi, sedangkan keterkaitan antara sifat dan tabiat sufi dan ahl as-suffah terlihat pada keteguhan pendirian, ketekunan beribadah, dan sifat yang tidak terpengaruh oleh masalah duniawi.
Sekalipun terdapat keterkaitan etimologis antara sufi dan suffah, kata “sufi” menurut kaidah bahasa Arab dipandang lebih tepat jika berasal dari kata shuf (bulu domba, pakaian kasar sufi sebagai lambang kesederhanaan).
Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
at-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ganimi. Madkhal ila at-Tasawwuf al-Islami. Cairo: Dar as-Saqafah li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1938.
at-Tusi, Abu Nasr as-Sarraj. al-Luma‘. Cairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1961.
Yunasril Ali