Subchan Z.E.

(Malang, Jawa Timur, 22 Mei 1931 – Mekah, 21 Januari 1973)

Subchan Z.E. adalah seorang tokoh pembaru politik Nahdlatul Ulama (NU), anggota pimpinan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami) yang pertama, pendiri Ikatan Sarjana Islam Indonesia (ISII) di kalangan NU, dan pemakarsa berdirinya sekaligus ketua Komando Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP Gestapu).

Subchan dilahirkan di Desa Kepanjen, Malang, Jawa Timur, sebagai anak kedua dari 13 bersaudara. Ayahnya, H Rochlan Ismail, adalah seorang guru, mubalig, dan pedagang yang pernah menjadi pengurus Muhammadiyah di Malang, sedangkan ibunya adalah seorang aktivis dan pengurus Ai-syiyah (organisasi wanita yang otonom dalam Muhammadiyah) di kota yang sama.

Akan tetapi, sejak kecil ia diangkat anak oleh seorang saudara ayahnya yang tidak mempunyai keturunan, yaitu H Zainuri Erfan, seorang pengusaha rokok kretek terkemuka di Kudus. Oleh karena itulah di belakang namanya tercantum Z.E. (singkatan dari Zainuri Erfan).

Subchan dibesarkan di kota Kudus. Pendidikan formal pertamanya dilaluinya di HIS Muhammadiyah di kota itu sampai kelas tujuh, kemudian ia melanjutkannya ke Sekolah Dagang Menengah di kota Semarang. Setelah itu ia belajar secara autodidak. Ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Arab, dan Cina.

Sejak berusia 14 tahun, ia diserahi ayah angkatnya kepemimpinan pabrik rokok kreteknya di Kudus, tetapi ia memilih berusaha secara mandiri. Dengan saudara-saudaranya ia mendirikan sebuah kongsi bernama Inter Asia di Semarang. Pada 1953 ia menjadi direktur SMA Islam di Semarang.

Sebelumnya, pada tahun-tahun revolusi, ia sempat mengikuti kuliah ekonomi sebagai pendengar di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sementara itu ia juga menjadi aktivis Persatuan Pelajar Islam (PII), Hizbul Wathan, dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Pada 1949–1950 ia memprakarsai berdirinya Inter Indonesia Economic Conference di Yogyakarta.

Pada 1956 ia membentuk Dewan Ekonomi Indonesia Pusat yang diketuainya sendiri. Sejak itu, ia sering menjadi delegasi Indonesia untuk mengikuti konferensi internasional dalam bidang ekonomi, dan bahkan menjadi senior vice president dari Afro-Asian Economic Conference di Mesir pada 1960–1962.

Oleh karena itulah, pada 1961–1962 ia memperoleh leadership grant dari pemerintah Amerika Serikat untuk mengikuti spesialisasi pada program kursus dalam bidang pem­bangunan ekonomi di University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat.

Pada 1956–1968 Subchan pernah menjadi dosen tamu dalam bidang ekonomi dan politik pada berbagai universitas, simposium Seskoad, Seskoal, dan Seskoau, dan kursus Aplikasi Dinas Deplu.

Pada 1961 ia menjadi dekan fakultas ekonomi dan rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU). Dua tahun setelah itu, bersama Aruji Kartawinata (PSII), Jenderal Sucipto Yudodiharjo, dan Kolonel Isa Idris, ia mendirikan surat kabar Suara Islam.

Karier Politik

Kendati berasal dari keluarga Muhammadiyah dan melalui pendidikan di sekolah Muhammadiyah, Subchan memulaikarier politiknya dalam organisasi NU. Menurut adiknya, H Faisal Rochlan, latar belakang masuknya Subchan ke NU adalah atas anjuran gurunya, Ahmad Rasyid Sutan Mansyur.

Ketua PP Muhammadiyah ini melihat adanya bakat politik dalam diri Subchan. Oleh karena itu, ia menganjurkan agar Subchan memilih NU sebagai tempat bergerak dalam bidang politik, karena NU ketika itu adalah sebuah partai politik yang besar.

Di NU, ia mulai bergerak dalam lapangan pendidikan. Pertama-tama pada 1953 ia aktif di bagian Ma’arif di kota Semarang, yaitu bagian yang mengkoordinasi lembaga bidang pendidikan. Pada waktu itu, NU baru setahun berdiri sebagai partai politik, setelah menyatakan keluar dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Oleh karena itu, NU sedang membutuhkan para intelektual.

Pada 1956, dalam Muktamar NU ke-21 di Medan, ia diberi kepercayaan menduduki ketua Departemen Ekonomi Pengurus Besar NU. Pada Muktamar ke-23 1962 di Solo, ia terpilih menjadi ketua IV PBNU, dan dalam Muktamar ke-24 1968 di Bandung ia terpilih menjadi ketua I, jabatan tertinggi kedua setelah ketua umum dalam kepengurusan tanfidziah (eksekutif) NU. Ia kembali terpilih untuk jabatan yang sama pada Muktamar NU ke-25 1971 di Surabaya.

Dalam Muktamar ke-26 di Semarang 1979, ia dan kawan-kawannya membentuk ISII. Ia sendiri terpilih menjadi ketua organisasi itu. Akan tetapi, karena kesibukannya sebagai tokoh teras NU pada waktu itu, ia tak sempat mengurus organisasi sarjana NU tersebut.

Subchan sering melontarkan gagasan yang terasa asing di kalangan NU. Ia, misalnya, menghendaki adanya perubahan dalam struktur NU, yaitu dengan memperbanyak peranan generasi muda.

Hal itu dipandang strategis untuk mengubah kultur NU yang sangat tergantung pada pihak syuriah yang diduduki para kiai sepuh. Dengan mengurangi ketergantungan pada pihak syuriah itu, ia berpendapat bahwa NU akan menjadi sebuah organisasi yang dinamis, terbuka dan tidak eksklusif, serta disegani dan bermartabat.

Ia ingin menempatkan NU sebagai imam, bukan –seperti masa-masa sebelumnya– sebagai makmum. Aktivitas politiknya membuat NU tampil sebagai salah satu wadah penting perjuangan umat Islam Indonesia.

Sejalan dengan itu, ketika keluar Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 yang dipandang sangat menguntungkan Golkar dan mengurangi hak partai politik, Subchan sebagai tokoh partai politik NU tampil ke depan untuk membela hak partai politik. Ia menyatakan bahwa peraturan itu bertentangan dengan UU No. 18/1968.

Dalam kampanye Pemilu 1971, sebagai juru kampanye NU, ia sering menuding Amirmachmud (mendagri ketika itu) dan menuntutnya agar menjadi wasit yang baik dan jujur. Dalam Pemilu 1971, NU akhirnya keluar sebagai kekuatan politik terbesar kedua dalam hal perolehan suara, hanya tersaingi oleh Golkar. Dalam Pemilu 1955 NU hanya mendapat 45 kursi di DPR, dan Pemilu 1971 memperoleh 58 kursi.

Setelah pemilu, Subchan terus melancarkan kritik atas pembaruan politik yang dijalankan pemerintah Orde Baru. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan Orde Baru mengarah pada pemusatan kekuasaan.

Kekuasaan, menurutnya, harus dibagi dan negara harus dikuasai oleh sistem, bukan oleh seseorang. Namun, gagasan itu tidak disukai tokoh tua NU. Mereka tidak menginginkan NU melawan arus. Mereka berpendapat bahwa gagasan Subchan dapat mengancam kelangsungan hidup NU, dan melalui gagasan Subchan, NU terkesan sebagai oposan.

Sejak itu mulai muncul usaha untuk menyingkirkan Subchan dari NU. Usaha itu terlihat dalam Muktamar NU ke-25 1971 di Surabaya. Warga NU terbelah menjadi dua golongan: satu golongan menginginkan Subchan mengundurkandiri, dan yang lainnya justru menginginkan Subchan memimpin NU.

KH Bisri Syansuri yang terpilih menjadi rais am menyatakan tidak bisa bekerjasama dengan Subchan. Akan tetapi, karena tuntutan peserta muktamar, akhirnya Subchan tetap menduduki jabatan ketua I. Namun, pada 21 Januari 1972 ia dipecat dari kepengurusan dan keanggotaan NU. Pemecatan itu ditandatangani Rais Am KH Bisri Syansuri, ketua Dewan Partai KH Moh. Dahlan, dan ketua umum PBNU KH Dr. Idham Chalid.

Subchan menolak keras pemecatannya itu dan mengirim surat ke PBNU, semua pengurus wilayah, dan cabang NU se-Indonesia, menyatakan bahwa pemecatan itu tidak sah. Pengurus wilayah NU pun banyak yang melakukan protes atas pemecatan itu.

Kancah Politik Nasional

Ketika kekuatan PKI sedang memuncak pada 1964, sekitar 100 sarjana muslim mendirikan kekuatan baru yang diberi nama Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (Persami), yang dimaksudkan sebagai tandingan kekuatan PKI. Subchan Z.E. (ketua PBNU) dan H M. Sanusi (an-ggota PP Muhammadiyah) terpilih menjadi pucuk pimpinan organisasi yang lahir di Megamendung, Bogor, itu.

Pada awal Oktober 1965 terjadi pemberontakan G-30S/PKI. Subchan bersama aktivis organisasi pemuda menghubungi pihak militer, antara lain Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Jenderal Sucipto, yang kemudian mengadakan pertemuan dengan parpol. Pertemuan ini melahirkan pernyataan bersama yang intinya mengutuk pengkhianatan G-30S/PKI. Pernyataan itu ditandatangani 4 Oktober 1965. Subchan adalah salah seorang penandatangan pernyataan bersama tersebut.

Sejak meletusnya G-30-S, rumah Subchan menjadi markas anak-anak muda yang mengorganisasi gerakan anti-Gestapu. Pada 4 Oktober 1965 diselenggarakan Rapat Umum Pengganyangan G-30S/PKI di Taman Sunda Kelapa.

Subchan tampil sebagai pembicara mewakili NU, di samping H.S. Projokusumo (Muhammadiyah), Yahya Ubaid (NU), Tejomulyo (Katolik), Syekh Marhaban (PSII), dan lain-lain. Rapat inilah yang melahirkan Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP Gestapu), yang terdiri dari 7 partai politik, 3 organisasi massa, dan 130 organisasi lainnya.

Organisasi ini kemudian menjadi Front Pancasila, dan Subchan terpilih menjadi ketuanya. Peran yang dimainkannya dalam KAP Gestapu dan Front Pancasila menunjukkan kepekaan intelektual, ketajaman perasaan, dan keberanian politiknya.

Dalam sidang MPRS Juli 1966, Subchan terpilih untuk menjadi wakil ketua MPRS. Jabatan ini di­pangkunya sampai pelantikan MPR hasil Pemilu 1971 pada 1 Oktober 1972. Di MPRS, peranannya yang paling utama adalah menjadi penghubung utama antara KAP Gestapu dan MPRS.

Hal itu bisa dijalankannya berkat perannya dalam KAP Gestapu dan Front Pancasila. Subchan meninggal dalam kecelakaan mobil sewaktu menunaikan ibadah haji pada 1973.

Daftar Pustaka
Mudasir, Arief. “Subchan Z.E.: Buku Menarik yang Belum Selesai,” Prisma, XII, Oktober, 1983.
–––––––. “Subchan Z.E. dalam Konstelasi Politik Pasca 1965,” Prisma, edisi khusus 20 tahun 1971–1991.
Salam, Solichin. “H M. Subchan Z.E., Seorang Politikus yang Berwatak,” Berita Buana, 25 Januari 1973.
Sholeh, Ma‘mun. “H M. Subchan Z.E.: Peranannya dalam Bidang Politik Awal Orde Baru,” Skripsi Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1413 H/1993 M.

Badri Yatim