Sosialisme

Ideologi yang menghendaki distribusi kekayaan secara merata dan kemakmuran melalui usaha kolektif dan produktif sering dianggap sebagai definisi sosialisme. Sosialisme biasanya berkembang kuat seiring dengan munculnya kecenderungan pemusatan kepemilikan.

Banyak persepsi yang mengungkapkan awal munculnya sosialisme. Sebagian orang menganggap bahwa dalam karya Plato, Republic, telah tercermin nilai sosialisme yang terlihat pada deskripsi tentang sosok pemimpin yang tidak memiliki harta pribadi dan membagi habis segala miliknya.

Sebagian lagi menganggap bahwa sosialisme hadir bersamaan dengan kehadiran kitab Perjanjian Lama, yang mengajarkan perlindungan terhadap kaum lemah, seperti buruh dan budak, serta tidak mengenal istilah “milikku adalah milikku” atau “milikmu adalah milikmu”.

Ada semangat untuk berbagi untuk semua. Pandangan lain menyebutkan bahwa protes dan aksi massa yang dilakukan karena ketimpangan dan penumpukan harta merupakan bagian dari sosialisme. Berdasarkan pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisme lahir bersamaan dengan perkembangan peradaban manusia.

Paham sosialisme, yang menghendaki pemerataan kekayaan melalui usaha kolektif, berkembang pesat seiring dengan munculnya kecenderungan pemusatan kepemilikan. Pada abad ke-17, misalnya, muncul gerakan dari kaum puritan dan kelas menengah di Inggris yang menuntut adanya kepemilikan tanah komunal.

Walaupun tuntutan tersebut tidak berhasil pada waktu itu, tuntutan serupa terus bergema dan menyebar di berbagai wilayah atau negara lain seiring dengan perkembangan ketimpangan dalam hal kepemilikan.

Sebagai gerakan politik dan organisasi yang efektif, sosialisme merupakan “anak kandung” dari Revolusi Industri (1750–1850), yakni perubahan struktur ekonomi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dalam sejarah Inggris. Sosialisme lebih berorientasi pada terciptanya ekonomi kemakmuran dengan usaha kolektif.

Proses ekonomi telah melahirkan ketimpangan di sebagian masyarakat dan memunculkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.

Friedrich Engels (pemikir sosial, bersama Karl Marx mendirikan komunisme modern; 1820–1895) dalam karyanya Socialism: Utopian and Scientific (1892) menyebutkan bahwa proses ekonomi terjadi ketika barang yang dihasilkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan produsen, tetapi telah meluas menjadi upaya untuk memenuhi kepentingan pertukaran (pasar).

Proses ekonomi seperti ini berlangsung dan mencapai puncaknya ketika para kapitalis, sebagai pemilik alat produksi, mempekerjakan kaum buruh dan orang yang hanya memiliki tenaga, dan para kapitalis tersebut menikmati keuntungan produksinya.

Kehadiran industri modern, yang memberi penekanan pada keuntungan bagi kaum kapitalis dengan tingkat eksploitasi yang tinggi, telah memancing terjadinya konflik.

Menurut Karl Marx (1818–1883) sejarah umat manusia akan berjalan melalui empat tahapan produksi, yaitu produksi berdasarkan penghambaan, feodalisme, kapitalisme (borjuasi), dan akhirnya sosialisme.

Tahapan produksi ini merupakan sebuah perjalanan sejarah yang linear. Puncak sejarah umat manusia akan berakhir pada produksi berdasarkan sosialisme.

Dalam sosialisme terdapat perbedaan dalam melihat proses peralihan kekayaan dari kapitalisme ke pemilikan alat produksi oleh negara. Sosialisme-demokrasi tidak seyakin komunisme yang percaya bahwa peralihan tersebut bisa dilakukan dalam sekejap (secara radikal atau revolusioner).

Sosialisme lebih percaya pada tahapan yang berlangsung secara damai. Pengambilan kekayaan dari kaum kapitalis juga tidak dilakukan secara sepihak, seperti komunisme, tetapi melalui proses hukum.

Bahkan sosialisme yang berkembang di Inggris, Perancis, dan beberapa negara Eropa Barat lain, menentang keras cara komunisme karena menganggap cara itu akan melahirkan totalitarianisme dan kejahatan baru.

Mereka lebih memilih mengikuti proses konstitusional untuk melakukan perubahan. Namun demikian, dalam sosialisme sendiri muncul aliran lain yang tidak menafikan jalan revolusi.

Secara teoretis akar sosialisme dapat dilacak dari pemikiran Comte de Saint Simon (filsuf Perancis yang mengajarkan agar negara dipimpin oleh kaum ilmuwan dan industrialis; 1760–1825), Francois Marie Charles Fourier (1772–1837), dan Robert Owen (sosialis, pembaru, dan perintis gerakan koperasi Inggris; 1771–1858).

Menurut Saint Simon, sebuah negara harus memiliki lembaga yang disebut Majelis Newton, yang beranggotakan sekelompok orang yang ahli dan berilmu pengetahuan. Majelis ini bertanggung jawab atas perbaikan nasib umat manusia, sementara pemerintahan dipegang oleh orang kaya yang tidak lagi berpikir untuk mencari kekayaan. Pemerintah tidak digaji dan sepenuhnya memerintah untuk kepentingan dan perbaikan kaum miskin.

Charles Fourier menawarkan pembentukan sekelompok masyarakat kecil yang tidak mengenal adanya kemiskinan. Dalam masyarakat kecil ini diselenggarakan pendidikan tanpa membedakan golongan ekonomi.

Fourier tidak menolak hierarki dalam masyarakat. Hasil (keuntungan) dari proses produksi harus dibagi antara tenaga, kapital, dan bakat. Bagian terbesar adalah pada kelompok yang menyediakan tenaga, yaitu kelompok buruh dan orang yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaga.

Adapun Robert Owen berpandangan bahwa tantangan utama dalam proses transformasi sosial adalah adanya kepemilikan pribadi. Bagi Owen tidak ada ruang bagi hierarki. Hierarki hanya berlaku untuk tingkatan usia, karena usia merupakan hukum alam. Owen tidak sekadar berpikir tentang persamaan di antara umat manusia.

Ia melangkah lebih jauh dengan turun langsung membangkitkan semangat dan moral kaum pekerja yang tidak mempedulikan pendidikan dan menghambur-hamburkan hasil kerjanya. Owen berhasil menyadarkan kaum pekerja sebagai manusia yang berbeda dengan mesin produksi dari benda mati.

Pada 1819 Owen memperjuangkan undang-undang pertama yang membatasi jam kerja bagi perempuan dan anak-anak di pabrik. Dia menjadi presiden Kongres pertama yang mempersatukan semua serikat buruh Inggris. Bahkan Owen merupakan orang pertama yang mempergunakan kata sosialisme.

Dalam suasana Revolusi Industri yang hegemonik dengan keuntungan besar yang diraup kaum kapitalis, langkah yang lebih mempedulikan kaum buruh merupakan langkah kontraproduktif. Itulah sebabnya pemikiran dan tawaran yang dikumandangkan Saint Simon dan kawan-kawannya mendapat tantangan yang kuat, khususnya dari kalangan pengusaha.

Waktu yang dihabiskan Owen selama 25 tahun untuk membangkitkan kesadaran kaum buruh hancur oleh reaksi keras kaum kapitalis. Begitu pun yang dialami Fourier. Untuk proyek kemanusiaan yang dirancang dengan cara membuka “kotak amal” bagi peningkatan nasib kaum miskin tidak satu pun pengusaha (kaum kaya) mau datang, apalagi menyerahkan sumbangannya.

Bahkan nasib tragis dialami oleh Gracchus Babeuf (1760–1797), penganjur sosialisme di zaman Revolusi Perancis (1789–1799). Ia harus mati atas perintah rezim Napoleon (kaisar Perancis; 1769–1821) dengan hukuman penggal kepala. Tidak itu saja, perkumpulan yang dia bentuk untuk memperjuangkan kemakmuran bagi semua dibubarkan dan sebagian anggotanya dipidana hukuman mati.

Ketimpangan yang semakin tinggi antara kaum borjuis dan kaum buruh terjadi sejak Revolusi Industri. Hal ini semakin memperkuat sosialisme sebagai paham praksis, tidak lagi sekadar utopia atau refleksi para filsuf. Sosialisme tumbuh sebagai akibat dari realitas historis, yakni ketimpangan miskin borjuis yang harus diperjuangkan.

Beberapa pemikir muslim sangat menaruh perhatian terhadap sosialisme, bahkan sebagian berhasil mengembangkan wacana sosialisme dalam Islam, lalu menjadikannya sebuah gerakan dan partai politik. Sosialisme mengalami akulturasi dan penafsiran sesuai dengan keadaan sosial yang ada. Itulah sebabnya dalam Islam muncul wacana sosialisme Islam.

Salah satu sosok yang cukup berperan dalam mengangkat, mengkritisi, dan kemudian merekonstruksi gagasan-gagasan revolusioner Marx ke dalam wacana pemikiran Islam adalah Ali Syari’ati (1933–1977).

Ia telah berhasil menggabungkan sikap anti-imperialisme Dunia Ketiga, bahasa ilmu sosial Barat, dan ajaran Syiah untuk menghasilkan suatu ideologi Islam revolusioner bagi reformasi sosil politik. Gerakan yang dilakukannya membawa implikasi besar dalam dinamika pemikiran Islam di Iran dan proses penyadaran serta pembangkitan masyarakat Iran dari rezim diktatorial Syah Iran.

Karakteristik sosialisme Islam telah terwakili oleh hadirnya para nabi utusan Allah SWT. Alasannya, misi dan perjuangan para nabi memiliki tujuan yang sama, yaitu membebaskan kaum lemah dan tertindas, memproklamasikan kebenaran, dan membangun orde-orde sosial atas dasar kesamaan hak, keadilan sosial, persaudaraan.

Sejarah Nabi Muhammad SAW dan ayat-ayat Al-Qur’an juga mengandung semangat pembebasan dan penghargaan terhadap kaum tertindas (mustad‘afun). Kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan sendirinya mendapat perlawanan dari kelompok yang merasa terganggu atas misi egalitarianisme.

Sebagian sejarawan mengatakan bahwa perlawanan elite Mekah terhadap Nabi Muhammad SAW tidak hanya mengenai tauhid, tetapi juga mengenai ancaman atas penghapusan monopoli yang telah lama dinikmati oleh elite Mekah.

Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan sosialisme, seperti perlunya perjuangan bagi proses transformasi sosial (QS.13:11), semangat tauhid (kesatuan umat) yang tidak mengenal adanya kelas (QS.23:52), penghargaan yang tinggi terhadap kaum tertindas (QS.28:5–6), dan larangan monopoli (QS.104:1–4).

Dari sini terlihat jelas bahwa misi Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW memiliki relasi spiritual dengan semangat sosialisme yang menekankan kesejahteraan kolektif.

Daftar Pustaka

Crossman, R.HS. The Politics of Socialism. New York: Atheneum Publishers, 1965.
Ebenstein, William dan Edwin Fogelman. Isme-Isme Dewasa Ini. Jakarta: Erlangga, 1990.
Engels, Frederich. Perkembangan Sosialisme dari Utopi Menjadi Ilmu. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1963.
Esposito, John L. Islam and Politics. New York: Syracuse University Press, 1991.
Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan, 1997.
Supriyadi, Eko. Sosialisme Islam Pemikiran Ali Syari’ati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Tjokroaminoto, HOS. Islam dan Sosialisme. Jakarta: Bulan Bintang, 1951.

A Bakir Ihsan