Soeharto

(Kemusuk, Godean, Yogyakarta, 8 Juni 1921)

Soeharto adalah seorang tokoh politik utama Orde Baru, seorang jenderal besar TNI, dan presiden kedua Republik Indonesia yang berkuasa selama hampir 32 tahun (1967–1998).

Atas desakan berbagai pihak, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden yang mengantarkan B.J. Habibie (wakil presiden) menjadi presiden ke-3 RI.

Soeharto dilahirkan dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah. Sehari-harinya, Kertosudiro bekerja sebagai petugas Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Karena keadaan ekonomi keluarga yang memprihatinkan, Soeharto ketika masih kecil sudah mengikuti pamannya, Prawirodihardjo, di Wonogiri, Jawa Tengah.

Dalam keluarga pamannya itulah Soeharto mendapat bimbingan keagamaan. Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989) menuturkan, “Saya mendapat pendidikan agama yang cukup kuat karena keluarga paman saya itu terbilang tebal ketaatannya kepada agama.”

Selain itu, Soeharto juga mendapat bimbingan dari Kiai Daryatmo yang pada masanya cukup terkenal di Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto sering berdialog dengan Kiai Daryatmo tentang berbagai hal, baik yang menyangkut urusan keduniaan maupun keakhiratan.

Sebagai seorang muslim, Soeharto percaya betul akan adanya Tuhan. Hal tersebut tersurat dalam pengakuannya:

“Sebagai orang yang beriman, syarat dari iman adalah percaya kepada Tuhan, percaya kepada malaikat-Nya, kepada rasul, kepada kitab suci, kepada hari kiamat, dan kepada takdir. Semua itu saya terima sebagai keadaan yang menimpa diri saya, mulai lahir sampai sekarang, sebagai bekal hidup saya hingga kini.”

Semasa di Wonogiri, Jawa Tengah itulah, Soeharto masuk kepanduan Hizbul Wathan yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Ketika berusia menanjak remaja, ia pindah ke Yogyakarta dan menempuh pendidikan menengah di perguruan Muhammadiyah.

Dari Desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta, itulah Soeharto mulai merintis perjalanan hidupnya dan mengantarkannya menjadi orang nomor satu di republik ini selama 32 tahun. Tentu saja jalan menuju Istana Negara tidaklah mulus, cukup berliku, dan penuh keprihatinan.

Seusai menjalani pendidikan menengah di Yogyakarta, Soeharto masuk KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger), tentara kerajaan Hindia Belanda di Gombong, Jawa Tengah. Soeharto kemudian berdinas di Kepolisian Jepang, dan masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) dengan jabatan terakhir sebagai komandan kompi.

Di zaman revolusi fisik, Soeharto bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketika republik ini masih berusia 2 tahun, Soeharto sudah berpangkat letnan kolonel dengan jabatan komandan resimen.

Saat itulah, yakni pada 1947, pemuda Soeharto menikahi Siti Hartinah, putri keluarga Sumoharyono dari Solo. Dari pernikahannya dengan Siti Hartinah itu, Soeharto dikaruniai enam orang putra dan putri.

Karier Soeharto melonjak ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal, sebuah peristiwa berdarah yang kemudian dikenal dengan nama G-30-S/ PKI (Gerakan 30 September/PKI) pada tahun 1965.

Pada 11 Maret 1967, Mejelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkatnya sebagai pejabat presiden RI. Setahun berikutnya, yakni pada 27 Maret 1968, Soeharto secara resmi diangkat sebagai presiden ke-2 RI, menggantikan Soekarno.

Era kepemimpinan Soeharto dikenal sebagai Orde Baru, dan era kepemimpinan Soekarno disebut Orde Lama. Langkah awal kepemimpinannya adalah perbaikan ekonomi melalui tahapan pembangunan 5 tahun (Pelita). Untuk membangun, menurut Soeharto, diperlukan stabilitas politik yang mantap.

Karena itu, ideologi Pancasila harus menjadi pemersatu. Dengan alasan itu pula, Soeharto membangun Indonesia dengan pijakan baru, dan meninggalkan kecenderungan lama yang masih mempersoalkan ideologi negara.

Itulah sebabnya, Masyumi, sebuah partai politik Islam terbesar yang dibubarkan oleh Soekarno, tidak direhabilitasi kembali oleh Soeharto. Tokohnya pun tidak boleh lagi masuk ke dalam gelanggang politik praktis.

Dalam perkembangannya, dengan keluarnya Undang-Undang Keormasan pada 1985, ide “asas tunggal” Pancasila digulirkan dan diberlakukan bukan hanya kepada partai politik, tetapi juga ke organisasi massa.

Pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal menuai gejolak di kalangan umat. Sebagian orang menilai bahwa Soeharto hendak meminggirkan peran umat Islam di segala bidang kehidupan, khususnya politik, dan Pancasila seakan-akan menjadi sangat sakral.

Tetapi, ketika berusia semakin lanjut, Soeharto mulai mendekatkan diri dengan kalangan Islam. Kecenderungan Soeharto ke arah “kanan” sebagai simbol keislaman, tampak ketika pada Desember 1990 ia mendukung berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) di Universitas Brawijaya, Malang.

Orang dekat dan kepercayaan Soeharto, B.J. Habibie, menjadi ketua umumnya. Munculnya organisasi ICMI ini kemudian melahirkan bank berdasarkan syariat Islam (bank syariah), seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Ketika ide bank berdasarkan syariat Islam digulirkan, banyak yang menentangnya, termasuk kalangan umat Islam sendiri. Tetapi, ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak 1997, dan bank konvensional satu per satu berguguran, bank berdasarkan syariat tetap berdiri tegak.

Tahun-tahun berikutnya, simbol keislaman Soeharto mulai ditampakkan ke permukaan. Setahun setelah merestui berdirinya ICMI, ketika berusia menjelang 70 tahun, Soeharto bersama istri, anak, cucu dan kerabatnya, menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Dalam kaitan dengan ibadah haji itu, ia berkata, “Saya ini seorang muslim, dan saya tergolong mampu menjalankannya. Saya takut kepada Allah untuk menunda kembali karena saya tahu pergi haji itu wajib hukumnya.”

Banyak penafsiran tentang perginya Soeharto ke Tanah Suci, Mekah. Satu penafsiran mengatakan bahwa Soeharto sudah mulai sadar akan pentingnya kembali ke pangkuan Islam.

Tafsir lain mengatakan bahwa haji yang dilakukan adalah “haji politis”, untuk mengambil simpati umat Islam, mengingat pada 1992 akan diselenggarakan pemilihan umum, dan tahun berikutnya pemilihan presiden.

Pada Sidang Umum MPR, Maret 1993, Soeharto kembali terpilih secara aklamasi menjadi presiden RI untuk memimpin negeri ini. Ia semakin menunjukkan kedekatannya dengan kalangan Islam, antara lain ketika Muhammadiyah mengadakan muktamar ke-43 di Aceh pada Juli 1995, Soeharto dengan tegas mengatakan bahwa ia adalah bibit Muhammadiyah.

Pada usia tuanya itu Soeharto mulai dekat dengan kalangan Islam, tetapi justru pada waktu yang sama ekonomi Indonesia mulai terpuruk. Akibatnya, unjuk rasa mahasiswa –yang didukung oleh berbagai komponen masyarakat– tidak terbendung lagi.

Ketika Kabinet Reformasi yang dibentuknya tidak mendapat sambutan, dan banyaknya desakan dari berbagai pihak agar Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden, maka pada 21 Mei 1998, Soeharto berketetapan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada periode yang keenam kalinya.

Peristiwa pengunduran diri Soeharto ini mengantarkan wakil presiden ketika itu, B.J. Habibie, naik menggantikan posisi Soeharto sebagai presiden ke-3 RI.

Daftar Pustaka

Dwipayana, G. dan Ramadhan KH. Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989.
Husaini, Adian. Soeharto 1998. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting. Australia: Allen & Unwin Pty Ltd, 1994.
Soeharto. Agama dalam Pembangunan Nasional: Himpunan Sambutan Presiden Soeharto. Jakarta: Pustaka Biru, 1981.

Herry Mohammad