Snouck Hurgronje, Christiaan

(Oosterhout, 8 Februari 1857 – Leiden, 26 Juni 1936)

Christiaan Snouck Hurgronje adalah seorang orientalis (ahli ketimuran) berkebangsaan Belanda, ahli bahasa Arab, ahli agama Islam, ahli bahasa dan kebudayaan Indonesia, dan penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah keislaman. Ayahnya adalah seorang pendeta yang bernama J.J. Snouck Hurgronje.

Snouck Hurgronje masuk Universitas Leiden pada 1875. Mula-mula ia masuk Fakultas Teologi, kemudian pindah ke Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Ia meraih gelar doktor sastra Arab pada 1880.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Snouck mengajar pada pendidikan khusus calon pegawai untuk Hindia Belanda (Indologie). Pada 1884 ia pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan praktis tentang bahasa Arab. Di sana ia menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Gaffar.

Dari pengalamannya di Mekah, Snouck melihat sifat fanatik umat Islam Hindia Belanda, terutama suku Aceh, dalam melawan Belanda. Karena itu, niatnya untuk mengetahui Hindia Belanda semakin kuat. Pada 1885 ia kembali mengajar di Leiden.

Pada 1889 ia datang ke Hindia Belanda dengan tugas meneliti suku Aceh. Di Hindia Belanda, sejak 15 Maret 1891 ia diberi tugas sebagai penasihat bahasa Timur dan hukum Islam. Pada 9 Juli 1891, ia berangkat ke Aceh dan menetap di Peukan Aceh. Pada 4 Februari 1892 ia kembali ke Jakarta.

Antara 1898 dan 1903 ia sering datang ke Aceh untuk membantu Van Heutsz (yang menjadi jenderal di Aceh, sebelum ia menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda, 1904–1909), guna menaklukkan daerah Serambi Mekah itu.

Pada 11 Januari 1899 ia diangkat sebagai penasihat urusan pribumi dan Arab. Ketika ia pulang berlibur ke negaranya (1906), Snouck diangkat menjadi guru besar di Universitas Leiden, sekaligus merangkap sebagai penasihat menteri jajahan yang dikukuhkan pada 23 Januari 1907. Jabatan itu dijalankannya sampai ia meninggal dunia. Di antara bukunya yang terkenal tentang Hindia Belanda adalah The Acehnese dan The Gajo Land.

Snouck Hurgronje dianggap sebagai peletak dasar kebijakan kolonial Belanda mengenai Islam di Hindia Belanda. Kantoor voor Inlandsche Zaken (lembaga yang berwenang memberikan nasihat kepada pemerintah Hindia Belanda tentang masalah pribumi) yang didirikan pada 1899 merupakan wujud tindak lanjut dari kebijakan yang dirintis Snouck.

Dari pemikiran dan saran Snoucklah pemerintah Hindia Belanda berhasil melawan “rasa ketakutan” kaum kolonialis terhadap Islam. Snouck juga berhasil meyakinkan pemerintah Hindia Belanda bahwa Islam tidak mengenal sistem kependetaan.

Kebijakan yang disarankan Snouck adalah memberikan kebebasan dalam bidang agama dalam arti sempit, menggalakkan asosiasi dalam bidang kemasyarakatan, dan menindak tegas setiap faktor yang bisa mendorong timbulnya pemberontakan dalam lapangan politik.

Ia memperingatkan pemerintah Hindia Belanda supaya melestarikan tradisi nenek moyang orang pribumi di Hindia Belanda dan mengusahakan supaya Islam hanya menjadi “agama masjid”. Artinya, agama dijadikan ibadah kepada Tuhan semata-mata. Kebijakan ini diambil karena ia melihat bahwa Islam merupakan suatu kekuatan yang membahayakan kelestarian penjajahan Belanda atas wilayah Hindia Belanda.

Kebijakan lain juga diajukan Snouck kepada pemerintah Hindia Belanda, yakni mengawasi kas masjid agar tidak disalahgunakan untuk hal yang membahayakan kekuasaan pemerintah; dan membendung semangat Pan-Islamisme yang berkembang di dunia Islam dengan pengawasan ketat tetapi selektif terhadap jemaah haji dari Hindia Belanda karena tidak semua orang yang beribadah haji itu fanatik dan berjiwa pemberontak. Banyak di antara mereka yang pergi ke Mekah benar-benar untuk beribadah.

Snouck Hurgronje juga berusaha meyakinkan pemerintah daerah jajahan bahwa seorang ulama atau kiai itu belum tentu fanatik. Para penghulu yang berpengaruh kuat itu adalah bawahan pemerintah. Oleh karena itu, dalam mengangkat seorang penghulu, pemerintah hendaklah melakukan penelitian cermat dan penyaringan ketat supaya jabatan tersebut jangan sampai dipercayakan kepada orang yang “membahayakan” pemerintah.

Di samping itu, Snouck juga menasihati pemerintah Hindia Belanda untuk tidak terlalu optimis terhadap usaha pemurtadan umat Islam. Usaha pemurtadan itu tidak mungkin berhasil karena kenyataan menunjukkan bahwa semakin hari pengaruh kebudayan santri semakin berkembang luas. Karena itu, usaha kristenisasi yang dilakukan tidak terlalu bermanfaat.

Snouck Hurgronje mengajukan kebijakan yang melatar belakangi politik netral agama itu karena melihat bahwa musuh pemerintah Hindia Belanda bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai kekuatan atau doktrin politik. Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah Hindia Belanda memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk menjalankan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah.

Dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda menetapkan kebijakan untuk memanfaatkan adat kebiasaan pribumi dan mendorong rakyat untuk melestarikannya. Kebijakan ini didasarkan pada “teori resepsi” (teori dalam hukum perdata) yang dikembangkan Snouck Hurgronje dalam kaitannya dengan hukum Islam di Hindia Belanda, yang menyimpulkan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, bukan hukum Islam.

Hukum Islam baru berlaku di Indonesia apabila ia telah menjadi hukum adat, sehingga ketika akan diberlakukan, hukum Islam itu akan muncul sebagai hukum adat, bukan sebagai hukum Islam. Teorinya yang banyak mendapat dukungan dari ahli hukum ini berintikan pemikiran bahwa hukum adat itu lebih tinggi dari hukum Islam.

Daftar Pustaka
Algadri, Hamid. C. Snouck Hurgronje, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Muhammad, Bushar. Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.
Snouck Hurgronje, Christiaan. The Achehnese. Leiden: E.J. Brill, 1906.
Soekanto. Meninjau Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar untuk Mempelajari Hukum Adat. Jakarta: Rajawali, 1981.

Abuddin Nata