Siwak

Siwak adalah alat penggosok gigi. Dalam istilah syar‘I (yang bersifat syariat), siwak –yang terbuat dari kayu gaharu atau yang lain, seperti pasta gigi dan sabun– digunakan untuk membersihkan gigi dan sekitarnya agar bau mulut dan lapisan kuning yang ada pada gigi dapat dihilangkan. Siwak pada dasarnya merupakan tradisi Thabi‘i (fisik).

Dalam syariat Islam pemakaian siwak merupakan pekerjaan yang dianjurkan, bahkan dikatakan sebagai sunah mu’akkad (sunah yang dikuatkan/dipentingkan).

Ketentuan hukum sunah mu’akkad ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, “Siwak adalah untuk membersihkan mulut serta mengharapkan rida Allah” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Bukhari dari Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq RA).

Hadis ini secara tegas menunjukkan bahwa ada dua tujuan yang akan dicapai dalam mempergunakan siwak, yaitu membersihkan mulut dan mendapatkan rida Allah SWT. Pelaksanaan hadis yang menunjukkan penggunaan siwak tersebut tidak terikat pada pekerjaan, keadaan, dan waktu tertentu. Dalam hadis lain Rasulullah SAW mengatakan,

“Kalaulah tidak akan memberatkan umatku, niscaya saya akan menyuruh mereka mempergunakan siwak setiap hendak melakukan salat” (HR. Imam Malik, Syafi‘i, dan Jemaah ahli hadis dari Jabir bin Abdillah).

Dalam riwayat lain Rasulullah SAW mengatakan, “…Saya akan menyuruh mereka untuk mempergunakan siwak pada setiap kali berwudu” (HR. Ahmad). Oleh sebab itu, ulama berpendapat bahwa mempergunakan siwak dengan tujuan membersihkan mulut dan mengharap rida Allah SWT adalah sunah mu’akkad, apalagi dikerjakan ketika akan melakukan salat.

Ulama juga membahas bagaimana cara menggunakan siwak. Pada prinsipnya, menurut mereka, membersihkan mulut dapat dilakukan pada setiap kali berwudu.

Dalam hal ini paling tidak menggunakan jari tangan dengan menggosokkannya ke seluruh gigi dan sekitarnya, sehingga apa yang dikehendaki menurut syariat siwak dapat dipenuhi, sekalipun secara minimal.

Ada ulama yang berpendapat bahwa jika dalam berwudu seseorang lupa membersihkan mulutnya, maka minimal ia dapat melakukannya ketika akan melaksanakan salat. Pendapat ini dilandaskan pada dua riwayat Nabi SAW yang menganjurkan untuk membersihkan mulut pada waktu berwudu dan ketika akan salat.

Membersihkan mulut juga dianjurkan setiap kali akan membaca Al-Qur’an, zikir kepada Allah SWT, sebelum dan setelah bangun tidur, waktu sahur, sebelum dan sesudah makan, dan sebelum waktu zuhur bagi orang yang berpuasa.

Jika siwak dilakukan sesudah waktu zuhur, ada ulama yang mengatakan bahwa hukumnya makruh, meskipun ada pula yang membolehkannya. Ulama yang tidak membolehkannya didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan, “Bau mulut orang yang berpuasa lebih baik bagi Allah daripada bau kesturi” (HR. Bukhari, Muslim, at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, ad-Darimi, Malik, dan Ahmad).

Pendapat ini dianut kalangan Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali. Menurut mereka, ucapan “lebih baik” dalam hadis tersebut menunjukkan anjuran untuk membiarkan bau mulut setelah zuhur.

Oleh sebab itu, membersihkan mulut setelah zuhur adalah makruh bagi orang yang sedang berpuasa. Kalangan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mengatakan bahwa anjuran untuk membersihkan mulut tersebut, baik bagi orang yang tidak berpuasa maupun bagi yang sedang berpuasa, bersifat mutlak dan pelaksanaannya tidak dikaitkan dengan waktu.

Selain berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas tentang bersiwak secara mutlak, ulama juga menyebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmizi yang berarti: “Sebaik-baik kesempatan yang dimiliki umat Islam (untuk memperbanyak amal)…adalah orang yang sedang berpuasa membersihkan mulutnya….” Hadis ini juga diriwayatkan

Ibnu Khuzaimah dari Aisyah. Kemudian dalam hadis lain yang diriwayatkan Ahmad dan at-Tirmizi dari Aisyah dikatakan: “Saya melihat Nabi SAW senantiasa, tak terhitung membersihkan mulutnya dengan siwak, sementara dia berpuasa.”

Dalam menganalisis hadis tentang siwak pada waktu puasa ini, Imam asy-Syaukani (ahli hadis dan usul fikih) mengatakan bahwa orang yang berpuasa disunahkan untuk mempergunakan siwak pada pagi hari dan sore hari (akan berbuka puasa). Pendapat ini juga dianut jumhur (sebagian besar) ulama.

Beberapa ulama membahas faedah bersiwak ini dalam tulisan mereka. Misalnya, Imam asy-Syirazi (ahli fikih dan usul fikih) dalam kitabnya, Mugni al-Muhtaj, mengemukakan beberapa faedah bersiwak, antara lain untuk membersihkan mulut, mengharap rida Allah SWT, memutihkan gigi, mengharumkan bau napas, menggairah­kan ciuman (terhadap suami istri), membersihkan kerongkongan, memperlancar pembicaraan, dan memperlancar komunikasi.

Daftar Pustaka

Ibnu Qudamah, Mauqifuddin Abdullah bin Ahmad al- Muqaddisi. al-Mugni fi Fiqh al- Islami as -Sunnah Ahmad ibn Hanbal asy-Syaibani. Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadisah, 1980.
Sabiq, Sayid. Fiqh as-Sunnah. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
asy-Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. Nail al-Autar. Cairo: Dar al-Fikr, 1983.
asy-Syirazi. Mugni al-Muhtaj. Cairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1978.

Nasrun Haroen