Syekh Siti Jenar merupakan salah satu pelopor ajaran Islam esoteris di Nusantara. Ia dikenal dengan ajaran manung-galing kawula lan Gusti, yang menyatakan bahwa Tuhan bersemayam dalam dirinya karena kawula dan Gusti telah menyatu dalam dirinya.
Siti Jenar hidup pada abad ke-15, pada masa Raden Fatah menguasai Kesultanan Demak di pantai utara Jawa Tengah. Namun ada juga pendapat bahwa ia hanyalah tokoh mitos.
Syekh Siti Jenar dikenal dengan beberapa nama, antara lain Siti Brit dan Lemahbang atau Lemah Abang. Nama aslinya adalah Ali Hasan alias Abdul Jalil. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari daerah Cirebon, Jawa Barat. Ia putra seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.
Dalam pandangan Jenar, tatkala seseorang mengerjakan salat, budinya bisa mencuri; dan tatkala berzikir, budinya bisa melepaskan hati, tertambat pada seseorang atau dunia. Inilah yang membuat Jenar berbeda dari para wali lainnya.
Ia telah menganggap dirinya sebagai Yang Mahasuci, yang tentu saja tak dapat dipikirkan atau dibayangkan oleh seseorang. Siti Jenar tidak sendirian. Murid-muridnya mendemonstrasikan ajaran guru dengan ragam dan variannya, seperti ilmu kes-akten atau kesaktian.
Demonstrasi kesaktian di tengah masyarakat yang masih awam menimbulkan keresahan. Karena itu, Wali Songo sepakat memanggil Siti Jenar. Kemudian digelarlah sidang para wali yang dimotori Sunan Giri. Para wali meminta Siti Jenar memberi penjelasannya, seperti penjelasan tentang makrifatullah. Namun dengan tegas Siti Jenar mengatakan, “Aku ini Tuhan, tak ada selain aku!”
Jawaban Siti Jenar membuat Maulana Magribi meng interupsi, “Apakah yang Anda maksud adalah jasmani Anda?” Syekh Siti Jenar berkata, “Saya tidak bicara soal jasmani lagi. Yang menjadi pokok masalah bukan masalah jasmani lagi.” Sidang pun diramaikan dengan adu argumentasi. Terakhir, Sunan Gunung Jati mengingatkan, “Jangan Anda ikuti pikiran tersebut. Kau bisa dihukum mati.” Siti Jenar berdiri lalu berkata pada majelis, “Mana yang lain, jangan dikira ada duanya.” Ia lalu meninggalkan majelis. Sidang para wali dilanjutkan tanpa Siti Jenar.
Kali ini tinggal putusan: Siti Jenar dihukum mati. Ketika Siti Jenar harus menjalani hukuman mati, ia lebih memilih jalan kematiannya sendiri dengan cara memegang tengkuknya. Jenazahnya, menurut riwayat, mengeluarkan bau harum semerbak.
Menurut satu riwayat, Siti Jenar dieksekusi di Masjid Agung Demak, Jawa Tengah. Namun menurut riwayat lain, ia dieksekusi di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, dan jenazahnya dikebumikan di Pamlaten, Cirebon.
Makam di Pamlaten tersebut terletak di tengah pemakaman umum, dalam bangunan sederhana dan gelap seluas 5 x 5 m. Makam Siti Jenar berada di tengah, diapit makam kedua muridnya, Pangeran Jagabayan di sebelah kanan dan Pengeran Kejaksan di kiri. Kematian Syekh Siti Jenar menimbulkan kontroversi, seperti juga ajarannya menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat Islam.
Keberadaan Siti Jenar dengan ajarannya telah menggon cangkan wibawa Wali Songo dan kekuasaan Raden Fatah. Dalam pandangan Siti Jenar, manusia telah gagal memahami Tuhan, ajarannya, dan konsep hidup mati. Semua kesalahan itu, menurut Siti Jenar, merupakan akibat dari manusia yang menggunakan akal palsu untuk menafsirkan adanya Tuhan dan ajaran-Nya.
Adapun ilmu suci dan abadi tentang Tuhan dan ajaran-Nya, menurut Siti Jenar, tidak dapat dipahami dengan menggunakan pancaindra, karena manusia masih kotor, najis, dan penuh dengan kepalsuan.
Dalam pandangan Siti Jenar, hidup sesungguhnya adalah hidup sesudah kematian di dunia ini. Adapun hidup di dunia ini adalah sebuah kematian, karena penuh dengan kepalsuan, keculasan, dan siasat untuk mempertahankan kekuasaan atau kedudukan.
Dalam alam kematian itulah baru dimulai kehidupan yang sebenarnya, tidak palsu, abadi. Seseorang tak lagi perlu salat, puasa, zakat, dan haji. Itulah kehidupan sesungguhnya, yakni ketika manusia tidak membutuhkan apa pun lagi.
Apabila ditilik dari substansinya, secara historis, ajaran Siti Jenar pernah ada dan hidup dalam sejarah Islam, yakni sejak abad ke-11. Tokohnya adalah Mansur al-Hallaj dengan ajaran “al-hulul”.
Karena itulah Siti Jenar disebut juga sebagai “al-Hallaj dari Jawa”. Selain itu kehadiran mereka merupakan kritik terhadap para ulama yang tidak kritis terhadap kekuasaan. Inilah yang membuat penguasa menjadi koruptor sekaligus penindas terhadap rakyat.
Yang terjadi pada diri Siti Jenar dan pengikutnya hampir sama, yakni berdiri sebagai oposisi terhadap kekuasaan Raden Fatah yang didukung penuh oleh Wali Songo. Dalam pandangan Wali Songo, Siti Jenar telah mengajarkan ajaran sesat dan menyesatkan.
Hal itu membuat stabilitas politik terganggu. Kedudukan Raden Fatah pun akan terancam kalau Siti Jenar dan pengikutnya dibiarkan terus berkembang. Karena itu, setelah Siti Jenar tak dapat “diinsafkan”, Wali Songo mengambil keputusan hukuman mati buat Siti Jenar. Rupanya hukuman mati saja tidak cukup; para pengikutnya pun diburu, dan satu per satu dijatuhi hukuman serupa dengan gurunya.
Konflik antara Siti Jenar dan Wali Songo menjadi menarik, setidaknya karena dua hal. Pertama, inilah puncak konflik antara Islam esoteris (tasawuf) dan Islam eksoteris (syariat). Akhir tragis yang dialami Siti Jenar menunjukkan bahwa Islam eksoteris berada di atas segalanya.
Alasan hukuman mati itu bukan semata-mata karena Siti Jenar menjalankan tasawuf falsafi, tapi karena mengajarkannya kepada masyarakat awam yang dapat menyebabkan kebingungan, kegoncangan, bahkan kesesatan.
Dalam konflik Islam esoteris dengan eksoteris di Jawa, Siti Jenar bukan satu-satunya yang dijatuhi hukuman mati. Sedikitnya ada dua penganjur Islam esoteris yang mengalami nasib sama dengan Siti Jenar.
Mereka adalah Sunan Panggung dari Demak dan Syekh Among Raga. Keduanya dinilai telah menganjurkan doktrin yang menyimpang dari syariat. Sunan Panggung dihukum mati dengan cara ditombak, sedangkan Syekh Among Raga dibenamkan ke dalam kolam.
Kedua, konflik Siti Jenar dengan Wali Songo melibatkan Ki Ageng Pengging, keturunan raja Majapahit yang terakhir (Kertabumi Brawijaya). Ki Ageng Pengging adalah seorang murid setia Siti Jenar. Ia meninggalkan istana dan tidak bersedia tunduk kepada Raden Fatah.
Ki Ageng Pengging ini mempunyai anak yang bernama Mas Karebet, yang kelak berganti nama menjadi Joko Tingkir. Joko Tingkir itulah yang menurunkan raja-raja Kerajaan Mataram Islam yang berlokasi di Yogyakarta dan Surakarta.
Daftar Pustaka
Drewes, G.W.J. An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Nederland: Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde The Hague, Martinus Nijhoff, 1978.
Mulkhan, Abdul Munir. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite dan Lahirnya Mas Karebet. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
–––––––. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnaan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
–––––––. Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa. Yogyakarta: Bentang, 1999.
Saksono, Widji. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Walisongo. Bandung: Mizan, 1995.
Sofwan, Ridin, et.al. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Herry Mohammad