Ahmad Sirhindi merupakan seorang ulama terkemuka yang sekaligus pemikir sufisme dan tokoh besar Tarekat Naqsyabandiyah yang sangat berpengaruh. Dia adalah seorang teoretikus terkemuka sufisme yang dikenal juga dengan julukan Mujaddid Alf Tsani (Pembaru Milenium Kedua).
Ahmad Sirhindi lahir dari keluarga sufi. Ayahnya adalah Abdul Ahad, seorang syekh Chisty-Shabiri. Sang ayahlah yang mendidik dan membentuk kepribadian Sirhindi. Setelah tingkat keilmuannya cukup matang dan dikenal masyarakat, dia melanjutkan pendidikan di Lahore dan Sialkot.
Di Sialkot dia belajar fikih, sirah nabawiyyah, dan sejarah Islam pada beberapa guru, seperti Maulana Kamaluddin Kashmiri, Maula-na Ya’kub Kashmiri, dan Qasi Bahlal Badak Syani.
Pada 1599, setelah ayahnya wafat, Ahmad Sirhindi belajar tasawuf di sebuah khanqah (semacam zawiat, lembaga pendidikan tasawuf) di Delhi dan diinisiasi ke dalam Tarekat Naqsyabandiyah oleh Syekh Kwaja Baqi Billah (seorang sufi Delhi, 1563–1603).
Setelah dianggap berhasil, Ahmad Sirhindi ditunjuk oleh sang guru menjadi khalifah tarekat itu di kampung halamannya, Sirhind. Bahkan setelah itu, dia mendapat pengakuan sebagai penerus Kwaja Baqi Billah, yakni pemimpin resmi khanqah di Delhi.
Setelah masuk dan aktif dalam Tarekat Naqsyabandiyah itu, dia mencurahkan seluruh usaha dan pikirannya untuk menekuni dan bahkan mengajarkan ajaran tarekat tersebut itu.
Ahmad Sirhindi juga pernah dipanggil ke pengadilan Mughal untuk membantu menteri kepala, Abu al-Fadl. Namun karena pemikirannya dinilai membingungkan, pada 1619 sultan Mughal, Jahangir (w. 1627), memenjarakannya di Gwalior.
Sebagian sejarawan India menyatakan bahwa Jahangir memenjarakan Ahmad Sirhindi karena fitnah orang yang tidak senang kepadanya. Mereka mengatakan kepada Sultan Jahangir bahwa Sirhindi bersikap sombong dan tidak mau “sujud” di hadapannya.
Setelah sekitar satu tahun mendekam dalam penjara, Sirhindi dibebaskan Sultan, bahkan kemudian diangkat menjadi penasihat di bidang keagamaan. Setelah itu, dia bebas mendakwahkan ajaran agama kepada segala lapisan masyarakat.
Sebagai seorang ilmuwan, Syekh Ahmad Sirhindi dikenal sebagai seorang penulis kreatif, baik dalam bentuk buku, seperti Mabda’ wa Ma‘ad (Tempat Mulai dan Tempat Kembali), maupun dalam bentuk surat, suatu bentuk karya tulis yang banyak disukai para sufi pada zamannya. Tidak hanya banyak menulis, Ahmad Sirhindi juga melatih sejumlah besar murid yang menyebar untuk mengajarkan doktrin dan praktek sufi yang telah diperbaruinya.
Karyanya yang terpenting adalah Maktubat-i Imam-i Rabbani, yakni kumpulan 534 surat yang dikirim kepada hampir 200 orang, terutama kepada muridnya yang tersebar luas di seluruh India dan Transoksania; sekitar 70 surat ditujukan kepada pejabat tinggi Mughal.
Sirhindi mengirim surat itu dengan harapan agar para penguasa Mughal dapat menerima pandangannya, antara lain yang berkenaan dengan imbauan agar ortodoksi dibangkitkan kembali, praktek (perilaku) sufi yang tidak masuk akal dihentikan, dan orang kafir harus direndahkan.
Kebanyakan suratnya berisi pengalaman pengembaraan mistiknya. Surat itu mengandung nilai pembaruan yang dianggap sebagai tonggak pemikiran tasawuf Indo-muslim, sehingga terus diterbitkan ulang dalam bahasa aslinya, Persia, di samping dalam bahasa Arab, Turki, dan Urdu.
Dia mengampanyekan pemurnian sufisme di India dengan menolak wahdatul wujud (mistisisme panteisme) Ibnu Arabi (seorang sufi besar; 1165–1240). Perhatian utama pembaruan sufinya terletak pada upaya integrasi gagasan sufistik dengan ortodoksi Suni dan sintesis kerangka monistik teosofi mistik dengan desakan moral syariat.
Menguatkan ajaran Ibnu Taimiyah (pemikir Islam terkemuka; 1263–1326) dari sisi sufi, dia mengajarkan bahwa “realitas” (hakikat) sufi, yang umumnya bertentangan dengan syariat, sebenarnya adalah dasar hidup syariat itu sendiri.
Dengan demikian, ajaran tasawufnya dapat digolongkan atau dikategorikan sebagai neosufisme, yang cenderung menimbulkan aktivisme ortodoks dan menanamkan kembali sikap yang positif terhadap dunia.
Dalam pemikiran dan gerakannya, dia dengan jelas menekankan kehidupan dunia daripada merenungkan akhirat. Menurutnya, orang Islam harus berjuang sekuat tenaga untuk mewujudkan wahyu Ilahi di muka bumi. Pemikiran pembaruan sufinya tidak menolak tasawuf, tetapi memberikan arah dan kehidupan yang baru.
Untuk itu, dia mengangkat konsep wahdah asy-syuhud (kesatuan kesaksian) di atas konsep wahdah al-wujud (kesatuan wujud)-nya Ibnu Arabi yang mendominasi pemikiran sufi selama beberapa abad.
Kaum mukmin, menurutnya, harus menyadari bahwa “segala sesuatu berasal dari Allah” dan bukan “segala sesuatu itu adalah Allah”. Konsep wahdah asy-syuhud memang menekankan ketuhanan yang transenden.
Gagasan inilah yang melandasi aktivitas politiknya. Karena itulah, dia juga dijuluki Mujaddid Alf Tsani. Sebagaimana Ibnu Taimiyah di Timur Tengah, dia dipandang sebagai “bapak pembaruan” di anak benua India, perintis reformasi yang berani bersikap oposan terhadap pemerintah, dan penyelamat kaum muslim India dari bid’ah.
Namun klaim sebagai Mujaddid Alf Tsani ini ditolak banyak ulama, khususnya di Haramain, karena itu berarti menghapuskan misi kenabian Muhammad SAW setelah 1.000 tahun (alf) pertama Islam. Oleh karena itu, para ulama Haramain menyatakan bahwa Ahmad Sirhindi atau orang yang mengklaim dia adalah Mujaddid Alf Tsani telah menyimpang dari Islam.
Titik tekanan ajaran Sirhindi pada kepatuhan hukum syariat dan sunah sebagai sarana untuk mencapai realitas spiritual telah banyak diterima golongan Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian ajaran itu dikembangkan oleh pengikutnya di kawasan Asia Tengah, Turki, dan dunia Arab, yang hingga hari ini tetap menjadi sumber inspirasi.
Ajaran tasawuf Ahmad Sirhindi sampai ke Mekah melalui khalifahnya, Adam Banuri, yang meninggalkan India karena alasan politik. Adam Banuri pergi ke Mekah pada 1643 dan sejak itu dia mulai menyebarkan ajaran tuan-gurunya di sana.
Pada 1656 penerus dan putra Sirhindi, Muhammad Ma’shum, pergi menunaikan ibadah haji dan mengangkat dua orang khalifah di Mekah, yakni Ahmad Jarullah Jurjani dan Abdul Hayy. Ma’shum juga meninggalkan putranya, Miyan, di sana. Dia juga mengangkat dua orang khalifah di Yaman, yakni Ali al-Yamani dan Umar al-Yamani asy-Syafi’i.
Sejak 1643 itu selalu ada pengikut “Mujaddidiyah”, nama Tarekat Naqsyabandiyah yang diajarkan oleh Syekh Ahmad Sirhindi (nama yang dinisbatkan kepada julukannya, yakni Mujaddid, ‘pembaru’).
Pada akhir abad ke-17 pengaruhnya di Mekah dan Madinah sudah demikian kuat sehingga tidak ada orang Naqsyabandiyah yang tidak menjadi pengikut Mujaddidiyah. Dewasa ini hampir semua pengikut Naqsyabandiyah di seantero dunia menarik garis keturunan spiritual mereka melalui Syekh Ahmad Sirhindi dan gurunya, Baqi Billah.
Pengaruh ajaran dan gerakan Ahmad Sirhindi sangat besar di anak benua India dan pada umumnya berhasil menandingi kecenderungan antinomian (yang mengacuhkan ikatan moral) di kalangan ahli sufi.
Ajaran tasawuf Ahmad Sirhindi yang cenderung menimbulkan aktivisme ortodoks itu di India dilanjutkan Syah Waliyullah. Pandangannya tidak berlawanan dengan sikap puritan dan fundamentalisme. Pada abad ke-19 para penganut Naqsyabandiyah Mujaddidiyah berada di garis terdepan dalam berbagai gerakan politik kebangkitan Islam dan anti-imperialisme.
Kini, setiap ulang tahun wafat (haul) Ahmad Sirhindi dirayakan dengan sangat meriah di Sirhind. Makamnya diziarahi kaum muslim dari berbagai daerah di India. Di Indonesia, eksponen terkemuka pertama dari jenis pemikiran ini adalah Nuruddin ar-Raniri (w. 1077 H/1666 M), ulama dan mufti Kesultanan Aceh Darussalam, yang dikenal sebagai seorang penentang keras ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri, seorang tokoh tasawuf terkemuka Aceh.
Daftar Pustaka
van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992.
an-Namir, Abdul Mun’im. Tarikh al-Islam fi al-Hind. Beirut: al-Mu’assasah al-Jami’iyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1981.
Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.
Badri Yatim