Kata as-Sirath al-mustaqim berarti “jalan yang benar atau jalan yang lurus”. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan siratal mustakim adalah agama Islam.
Karena itu, permintaan petunjuk ke jalan yang lurus (siratal mustakim) sebagaimana tercantum dalam surah al-Fatihah (1) ayat 6 adalah permohonan untuk diberi petunjuk kepada agama yang benar, yakni agama Islam.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT menjelaskan maksud dari siratal mustakim, antara lain: |
(1) jalan orang yang diberikan nikmat oleh Allah SWT, bukan jalan orang yang dimurkai-Nya, bukan pula jalan orang yang sesat (QS.1:7);
(2) jalan orang yang berpegang teguh kepada agama Allah SWT (QS.3:101);
(3) agama yang benar, yaitu agama yang dibawa Nabi Ibrahim AS dan selanjutnya diteruskan oleh Nabi Muhammad SAW dan dilengkapi serta disempurnakan oleh Allah SWT (QS.6:161);
(4) jalan Allah SWT, yang kepunyaanNya segala sesuatu yang ada di bumi, dan kepada-Nya kembali segala urusan (QS.42:52–53); dan (5) pengabdian hanya kepada Allah SWT, bukan kepada yang lain (QS.3:51, QS.19:36, dan QS.36:61).
Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas‘ud menafsirkan siratal mustakim dengan Al-Qur’an. Di samping itu, Imam Fudail bin Iyad, seorang ulama dan tokoh sufi terkenal, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan siratal mustakim adalah melakukan ibadah haji.
Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad (Imam Hanbali), at-Tirmizi, an-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, Abu asy-Syaikh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi, dari an-Nawwas bin Sam’an, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Allah membuat perumpamaan tentang siratal mustakim sebagai berikut: Di kedua belah sisi jalan itu ada dinding yang tinggi. Masing-masing dinding mempunyai pintu-pintu yang terbuka, dan di atas tiap pintu-pintu tersebut ada kain penutup (tirai). Di ujung jalan tengah siratalmustakim itu ada seseorang berdiri sambil berseru, ‘Hai manusia, masuklah ke dalam sirat ini semuanya; jangan kamu berpecah-belah!’ dan ada pula orang yang menyeru dari atas sirat. Jika ada manusia yang ingin membuka salah satu dari pintu-pintu yang ada di dinding sirat tersebut, maka penyeru yang di atas itu berkata, ‘Celaka, jangan engkau buka pintu itu! Jika kaubuka, engkau akan terperosok ke dalam.’”
Rasulullah SAW melanjutkan: “Jalan itu adalah Islam. Dua dinding di sebelah menyebelah jalan itu adalah batas-batas yang ditetapkan Allah. Pintu-pintu yang terbuka adalah segala sesuatu yang diharamkan Allah. Penyeru di ujung jalan adalah kitab Allah (Al-Qur’an). Penyeru yang menyeru dari atas adalah pemberi nasihat dari Allah yang ada dalam diri setiap muslim.”
Dari beberapa penafsiran tentang siratal mustakim, HAMKA menyimpulkan bahwa siratal mustakim itu adalah agama Islam yang sumber petunjuknya terkandung dalam Al-Qur’an. Semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang utama.
Dalam bahasa Indonesia, kata siratal mustakim di samping mempunyai pengertian “jalan yang benar”, juga berarti “titian di neraka sebesar rambut dan tajam sekali”. Memang ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa siratal mustakim adalah titian (jembatan) yang dibentangkan di atas api neraka; namun, titian di atas neraka itu umumnya disebut as-Sirath saja.
Menurut pengertian syarak (hukum Islam), as-Sirath adalah jembatan yang dibentangkan di atas punggung neraka jahanam yang akan dilewati umat manusia, baik orang terdahulu (awwalin) maupun orang yang datang kemudian (akhirin). Ulama sepakat tentang adanya as-Sirath di alam akhirat dan merupakan salah satu perkara gaib yang wajib diimani setiap muslim.
Menurut hadis riwayat Muslim, orang yang mula-mula menyeberangi as-Sirath ini adalah Nabi Muhammad SAW bersama umatnya. Ketika itu tidak ada seorang pun yang berani bersuara kecuali para rasul; dan ucapan yang keluar dari mulut mereka adalah Allahumma sallim (Ya Allah, selamatkanlah).
Dalam neraka jahanam itu ada pengait seperti duri pohon sa’dan, tetapi tidak seorang pun tahu bagaimana besarnya kecuali Allah SWT sendiri. Pengait ini akan mengait orang yang lewat sesuai dengan keadaan amalnya di dunia. Makin banyak perbuatan maksiat yang dilakukan, makin keras dikait oleh pengait itu.
Di dalam riwayat Muslim yang lain, juga riwayat Bukhari, disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdiri di ujung jembatan memperhatikan orang-orang yang lewat sambil terus berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”
Keadaan orang yang lewat di atas as-Sirath ini bermacam-macam, sesuai dengan keadaannya di dunia. Semakin banyak amal baiknya, semakin cepat melewatinya dan selamat hingga sampai di seberang, untuk selanjutnya terus berjalan menuju surga.
Sebaliknya, orang yang durhaka dan maksiat kepada Allah SWT berjalan tertatih-tatih, bahkan ada yang merangkak-rangkak, kemudian jatuh ke dalam neraka. Waktu untuk melewati as-Sirath ini terjadi setelah selesai dilakukan penimbangan amal, sehingga sudah diketahui keadaan seseorang apakah ia ahli surga atau ahli neraka, namun mereka tetap harus melewatinya.
Ahli surga dapat melewatinya dengan selamat, sementara ahli neraka jatuh bergelimpangan ke dalam neraka. Seorang mukmin yang dapat selamat menyeberangi as-Sirath, tetapi masih memiliki dosa, akan ditahan dulu di suatu tempat yang disebut qantharah (jembatan), yaitu tempat di antara surga dan neraka. Di sini ia harus menyelesaikan segala mazalim (kezaliman) yang dilakukannya di dunia. Setelah bersih, barulah mereka masuk ke dalam surga.
Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Orang-orang beriman yang terlepas dari neraka ditahan di atas qantharah, di antara surga dan neraka. Di sini mereka dituntut untuk menyelesaikan segala kezaliman yang pernah mereka lakukan di dunia sampai mereka bersih, barulah mereka diizinkan masuk ke dalam surga.”
Orang mukmin yang ditahan di qantharah ini hanyalah orang mukmin yang tidak masuk neraka. Orang mukmin yang masuk neraka tidak ditahan di sini, tetapi langsung dimasukkan ke dalam surga setelah masa siksaannya berakhir.
Ulama berbeda pendapat tentang keadaan as-Sirath. Ada yang berpendapat bahwa as-Sirath itu lebih halus dari rambut, lebih tajam dari mata pedang, dan lebih panas dari bara api.
Ada yang tidak setuju dengan pendapat ini, antara lain Qadi Abdul Jabbar, al-Allamah al-Qarafy, Sultanul Ulama, dan Izzuddin. Menurut al-Qarafy, as-Sirath itu lebar.
Daftar Pustaka
HAMKA. Tafsir al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional, 1990.
Ibnu Kasir, al-Hafiz Imaduddin Abu al-Fida’ Isma‘il. Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Hadisah, 1384 H/1964 M.
al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. ‘Aqidah al-Mu’min. Cairo: Maktabah al-Azhariyah, 1977.
Sabiq, Sayid. al-‘Aqa’id al-Islamiyyah, atau Akidah Islam, terj. Moh. Abdai Rathomy. Bandung: Diponegoro, 1978.
Sani, Abdullah. Mahkamah Yaum al-Akhirah. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. al-Islam: Kepercayaan, Kesusilaan, Amal Kebajikan. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
A Hafizh Anshary A.Z.