Sinkretisme dalam agama sering dipahami sebagai fenomena bercampurnya praktek-praktek dan kepercayaan-kepercayaan dari sebuah agama dengan agama lainnya sehingga menciptakan tradisi yang baru dan berbeda. Bagi sebagian kalangan muslim, sinkretisme dipandang negatif karena kemurnian ajaran Islam bercampur dengan ajaran lain.
Istilah “sinkretisme” pertama kali digunakan dalam istilah politik di Yunani. Plutarch (46–120), seorang penulis biografi Yunani, menjelaskan sinkretisme (Yun: sunkretismos) untuk menyebut persatuan dan kebersamaan kelompok yang biasanya saling berselisih dan terlibat dalam pertentangan di Pulau Kreta ketika mereka menghadapi musuh bersama.
Selanjutnya Desiderius Erasmus (1466–1536), seorang ilmuwan (teolog, filsuf, humanis) Zaman Renaisans (1350–1650) dan penulis dari Belanda, menggunakan istilah sinkretisme secara positif ketika membicarakan titik temu berbagai pandangan yang berbeda.
George Calixtus (1586–1656), seorang teolog Jerman, mengembangkan satu mazhab yang didasarkan pada satu prinsip yang dikenal sebagai sinkretisme. Dengan prinsip ini, Calixtus berusaha mengharmoniskan sekte dalam agama Protestan dan gereja Kristen secara keseluruhan.
Tetapi, sejak awal 1600-an, istilah sinkretisme dalam karya Kristen pada umumnya merujuk pada penggantian atau pelemahan kebenaran hakiki ajaran Injil dengan memasukkan unsur non-Kristen.
Dalam agama Kristen, banyak contoh yang berhubungan dengan sinkretisme, misalnya pemujaan paham materialisme gereja Barat modern, penggunaan perlindungan dan kekuatan spiritisme gereja Afrika, upacara malam kematian di Amerika Latin, dan penyembahan leluhur di kalangan orang Kristen Asia.
Dewasa ini, istilah sinkretisme biasanya dihubungkan secara khusus dengan bahasa antarbudaya atau antaragama. Istilah ini secara spesifik sering kali digunakan untuk menyebut fenomena atau gerakan keagamaan dan sejarah agama, sekalipun digunakan juga untuk menyebut perubahan kebudayaan secara umum.
Sinkretisme adalah kombinasi unsur tradisi keagamaan atau budaya yang berbeda, dan ini merupakan karakteristik umum perkembangan sistem keagamaan atau kebudayaan yang terus-menerus terjadi.
Sepanjang waktu, agama atau kebudayaan tersebut menyerap dan menginterpretasi unsur yang diambil dari tradisi lain yang saling mempengaruhi. Secara spesifik istilah sinkretisme digunakan pada situasi kontak budaya yang membuka peluang terciptanya sistem keagamaan yang berakulturasi atau bercampur dengan kepercayaan dan praktek tradisional penduduk asli.
Istilah sinkretisme secara luas juga digunakan untuk menggambarkan sistem keagamaan di Afrika pada masa kolonial dan pascakolonial. Reinterpretasi dinamis doktrin agama dalam perspektif kepercayaan dan praktek lokal menjadikan penduduk lokal target penyebaran agama dalam sistem kolonial dan pascakolonial.
Dalam situasi ini muncullah kreativitas kultural yang mengagumkan dan mungkin saja dijadikan cara ekspresi aspirasi politik. Kajian mengenai sinkretisme agama dan budaya paling tidak meliputi tiga tahap.
Pertama, mengungkap praktek aktual, fenomena, atau ide yang menjadi perhatian utama. Dalam tahap ini perlu ditemukan apa sebenarnya yang terjadi dan dipikirkan. Penerapan yang tepat konsep sinkretisme menunjukkan: bahwa definisi sinkretisme tidak mungkin dilakukan tanpa konteks spesifik, dan bahwa konsep ini tidak dapat menyajikan gambaran yang memadai mengenai rangkaian fenomena homogen.
Sinkretisme kemudian dapat menjadi sebuah kategori penjelas yang dapat menangkap bagian tersembunyi fakta sejarah. Pada tahap ini, konsep sinkretisme memberi kontribusi bagi klarifikasi sosio-psikologis kesiapan untuk keseimbangan, subordinasi, dan unifikasi kebenaran.
Kedua, memahami dan menginterpretasi praktek, fenomena, dan ide dengan mengajukan pertanyaan menyangkut penyebab, tujuan, serta arah fenomena yang dikaji. Pertanyaan yang diajukan antara lain, mengapa terjadi sinkretisme? Mengapa bentuk sinkretisme tertentu bisa muncul? Apa fungsinya? Apa tanda dan simbolnya?
Ketiga, menganalisis atau menentukan kelayakan atau ketidaklayakan praktek atau ide yang menjadi objek kajian dan juga bentuk sinkretisme. Pada tahap ini, sinkretisme berfungsi sebagai penilaian bagi manifestasi tertentu.
Konsep sinkretisme juga bisa dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan atau suatu proses. Untuk cara pertama, sinkretisme menggambarkan keadaan yang karakteristik objeknya secara sistematis berhubungan satu sama lain. Konsep ini digunakan ketika kita berbicara mengenai perkembangan sinkretik atau yang akan berakhir dengan sinkretisme.
Seluruh agama di dunia dihadapkan satu dengan yang lain dalam proses akulturasi. Hal ini terjadi ketika agama (yang datang dari luar) bertemu dengan agama, kepercayaan, dan kebudayaan setempat. Pertemuan ini tidak selalu memunculkan hal yang benar-benar baru, karena ada garis-garis batas yang diperbolehkan dan dilarang.
Pemahaman kaum muslim sendiri terhadap inti ajaran normatifnya bervariasi sepanjang waktu dan tempat. Ini berarti bahwa upaya apa pun untuk menggambarkan mana yang betul-betul Islam dan mana yang sinkretis senantiasa memunculkan masalah-masalah nilai dan keputusan.
Apa yang dianggap sinkretis oleh sebagian kaum muslim belum tentu dianggap sinkretis oleh kaum muslim yang lain. Kontroversi ini menjadi sumber perdebatan pada abad ke-19 dan ke-20, seperti standar mana yang betul-betul islami dan mana yang bukan karena telah berubah.
Menghadapi kesulitan-kesulitan analisis seperti di atas, perlu dibedakan dua varian sinkretisme di dalam Islam modern: sinkretisme yang para pengikutnya masih mengidentifikasi diri mereka sebagai muslim dan mereka yang sepenuhnya menjaga jarak dari Islam normatif karena memeluk identitas di luar Islam.
Untuk tujuan analisis, varian kedua lebih mudah dibedakan sebagai sinkretis, sementara varian pertama adalah sinkretis hanya dari sudut pandang ideal ortodoks yang mungkin ditolak oleh pelaku sinkretis tersebut.
Beberapa contoh paling dramatis dari gerakan-gerakan sinkretis terbuka ditemukan di Afrika Barat, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan bagian-bagian dunia tempat kaum muslim hidup berdampingan dengan bukan muslim dalam lingkungan sosial yang secara kuat dipengaruhi gagasan-gagasan bukan muslim.
Islam di Asia tenggara memiliki pengalaman dalam tarik menarik antara konsesi-konsesi sinkretis kepada khazanah lokal dan upaya-upaya para reformis untuk menjaga kemurnian pesan Islam.
Islam di Asia Tenggara pada mulanya berhadapan dengan tradisi politik dan estetika yang telah mapan. Tradisi estetika pribumi telah dipengaruhi dengan amat kuat oleh varian Asia Tenggara dari kisah Hindu Ramayana dan Mahabharata, serta sistem politik yang berpusat pada raja.
Islamisasi negara di belahan dunia ini tidak dilakukan dengan cara menggulingkan dinasti atau kerajaan yang sedang berkuasa. Islamisasi umumnya berlangsung melalui pemindahan agama sang raja, dan penyusunan kembali struktur maupun idiom-idiom kerajaan.
Institusi ini mempertahankan banyak simbol dan institusi-institusi dari masa pra-Islam pada masa lampau meskipun hal itu memperkenalkan mereka dengan istilah-istilah yang sesuai dengan mistisisme sufi dan model-model kepenguasaan yang dipengaruhi oleh Persia. Perkembangan Islam di wilayah ini juga ditandai oleh perselisihan yang pahit mengenai seberapa jauh kaum muslim dapat mengakomodasi adat istiadat setempat.
Secara umum, sinkretisme terbagi dalam dua kelompok, yakni antaragama dan intraagama. Sinkretisme antaragama bisa dilihat pada agama Sikh dan Bahai. Agama Sikh yang lahir pada akhir abad ke-15 di India merupakan kombinasi Hindu-Islam.
Kemahaesaan Tuhan, seperti yang disebut dalam Islam, sangat ditekankan dalam agama Sikh. Dalam sembahyang pagi –kira-kira seperti subuh– mereka memanggil Tuhan sebagai Sang Esa, seperti halnya Islam. Mereka melarang menggambar atau membuat patung Tuhan. Hal yang sama juga terjadi pada agama Bahai.
Agama Bahai yang didirikan pada pertengahan abad ke-19 justru meramu lebih banyak lagi agama: Islam, Kristen, Buddha, dan Zoroaster. Pendirinya Mirza Husain Ali, yang dijuluki “Bahaullah” (Kemenangan Tuhan), semula adalah penganut aliran Babiyah; sebuah cabang dari sekte Syiah yang mengklaim mempunyai keistimewaan akses menuju kebenaran final.
Di Indonesia sinkretisme antaragama bisa dilihat pada agama Tri Darma, yaitu Taoisme, Kong Hu Cu, dan Buddha. Sekalipun secara formal memiliki pemimpin keagamaan dengan kualifikasi tertentu, tempat ibadah, dan kitab suci tersendiri, mereka masing-masing memiliki kesamaan menyangkut kepercayaa dan upacara ritual.
Contoh lain adalah sinkretisme Jawa yang disebut Agami Jawi (agama Jawa). Sebenarnya, Agami Jawi itu hanya salah satu varian dalam Islam (orang Jawa), bukan sebuah lembaga agama yang berdiri sendiri. Para penganutnya tetap mengaku diri sebagai seorang muslim.
Daftar Pustaka:
Eliade, Mircea, ed. The Encyclopedia of Religion. New York: Macmillan Publishing Company, 1987.
Elwell, Walter A., ed. Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids: Baker Book House, 2001.
Fox, James J. Indonesian Heritage: Religion and Cultural. Singapore: Archipelago Press, 1998.
Haviland, William A. Antropologi. Jakarta: Erlangga, 1988.
Howard, Michele C. Contemporary Cultural Anthropology. New York: Harper Collins College Publishers, 1993.
Keesing, Roger M. Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective. Sydney: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1981.
Seymour-Smith, Charlotte. Macmillan Dictionary of Religion. London: Macmillan Press, 1994.
Rifki Rosyad