Kasman Singodimedjo adalah seorang pejuang bangsa dan politikus Islam. Ia ikut mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB) dan aktif di Muhammadiyah serta pergerakan melawan penjajah.
Pada zaman Jepang, ia menjadi komandan batalion Peta. Pada awal kemerdekaan RI, ia mewakili partai Masyumi dan menduduki berbagai jabatan penting: ketua KNIP, jaksa agung, dan kepala Urusan Kehakiman dan Mahkamah Tinggi pada Kementerian Pertahanan.
Kasman Singodimedjo memulai pendidikannya dari sekolah dasar, Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Jakarta, kemudian pindah ke HIS Kutoarjo. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS, ia memasuki sekolah menengah atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Magelang. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran, School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), di Jakarta.
Akan tetapi, ia merasa tidak mampu untuk menyelesaikan pendidikannya di sekolah kedokteran ini, lalu pindah ke sekolah tinggi hukum, Rechts Hooge School, jurusan hukum sosial ekonomi, di Jakarta, dan berhasil meraih gelar sarjana hukum atau Meester in de Rechten pada 26 Agustus 1939.
Kariernya di bidang militer dimulai dalam pasukan Pembela Tanah Air (Peta) sebagai daidanco (komandan batalion) Jakarta pada 31 Oktober 1943. Pemerintah Jepang mengangkatnya sebagai daidanco atas pertimbangan bahwa ia mempunyai latar belakang pendidikan Barat dan dikenal sebagai pemimpin Jong Islamieten Bond (JIB) dan aktivis di Muhammadiyah Jakarta di zaman penjajahan Belanda.
Kasman aktif dalam berbagai kegiatan organisasi sosial kemasyarakatan Islam. Komitmennya atas kebenaran Islam sebagai landasan gerak dan perjuangan sudah terlihat sejak ia berusia muda.
Ketika masih belajar, ia memasuki Jong Java, perkumpulan para pemuda Jawa yang didirikan pada 7 Maret 1915. Karena mayoritas penduduk Nusantara adalah umat Islam, ia mendukung usul agar yang menjadi dasar organisasi Jong Java adalah Islam. Akan tetapi, usulan ini ditolak oleh mayoritas anggota Jong Java.
Tidak puas dalam Jong Java, Kasman Singodimedjo bersama teman yang seide dengannya mendirikan JIB pada 1925. Organisasi ini mendapat sambutan dari para pemuda berumur 14–30 tahun, dan pada 1930 organisasi ini telah berhasil menghimpun 4.000 anggota.
Pada periode ketiga (1930–1935), Kasman menduduki jabatan ketua JIB. Ketika JIB membentuk kepanduan yang diberi nama Nationale Islamitische Padvinderij (Natipij), Kasman ditunjuk sebagai komandannya. Selama di JIB ia dengan gencar menyampaikan pokok pemikirannya, baik yang berkaitan dengan masalah keislaman maupun dengan masalah perjuangan kemerdekaan Indonesia, melalui majalah Het Light atau an-Nur (Cahaya) yang diterbitkan JIB.
Di bawah kepemimpinannya, JIB berhasil mendirikan kursus agama Islam dan beberapa HIS (antara lain di Tanah Tinggi, Batavia, pada November 1931). Kemudian, pada masa kepemimpinannya juga, kantor Pimpinan Pusat JIB berhasil dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Melalui aktivitasnya di JIB inilah Kasman banyak berhubungan dan bergaul dengan para cendekiawan dan ulama, seperti H Agus Salim, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan Syekh Ahmad Soorkati (1874– 1943, pembawa gerakan Salafiyah ke Indonesia).
Kontak ini semakin menariknya lebih jauh untuk aktif dalam organisasi keislaman. Pada 1939 untuk pertama kali ia memasuki organisasi Muhammadiyah dan langsung diangkat menjadi ketua cabang Jakarta sekaligus menjadi koordinator wilayah Jakarta, Bogor, dan Banten.
Aktivitasnya di Muhammadiyah tidak hanya untuk kepentingan organisasi, melainkan juga untuk kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan koleganya di Muhammadiyah, ia senantiasa menyampaikan idenya untuk kemerdekaan Indonesia dengan perjuangan seluruh rakyat, tak terkecuali Muhammadiyah.
Pada Mei 1940 ia menyampaikan pidatonya di Konferensi Muhammadiyah se-Jawa Barat yang berlangsung di Bogor. Dalam pidatonya ini, ia memperlihatkan rasa nasionalismenya, sehingga terucap ungkapan yang menjurus kepada kemerdekaan Indonesia.
Ucapannya ini membuat ia harus meringkuk di penjara Bogor selama 4 bulan. Akan tetapi, dalam sidang yang dilaksanakan untuk mendengar pertanggungjawabannya atas ucapan tersebut, dengan Mr. R.M. Sartono sebagai pembelanya, kesalahan Kasman tidak bisa dibuktikan.
Akhirnya ia dibebaskan sama sekali dari tuduhan. Sejak saat itulah ia tidak saja dikenal sebagai tokoh Islam, melainkan juga tokoh nasionalis yang bercita-cita untuk kemerdekaan Indonesia.
Komitmen kebangsaan dan keislaman yang tertanam dalam jiwanya semakin menonjol di saat-saat mendekati berakhirnya penjajahan Jepang. Abdul Haris Nasution, mantan KSAD dan ketua MPRS, menyatakan bahwa aktivitas Kasman Singodimedjo sebagai pemimpin bangsa sangat menonjol, bahkan seruan untuk menggerakkan rakyat dalam perjuangan kemerdekaan baru dipatuhi apabila seruan itu muncul dari trio Soekarno, Hatta, dan Kasman Singodimedjo.
Ketika Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dibentuk, Kasman, dalam kapasitasnya sebagai daidanco, dikenal aktif terlibat dalam mengamankan kegiatan badan tersebut. Dalam menghadapi persiapan proklamasi kemerdekaan, ia ikut aktif dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Di saat inilah trio Soekarno-Hatta-Kasman menjadi tenaga penting dalam menggerakkan perjuangan rakyat.
Peranan penting lainnya yang dimainkan Kasman Singodimedjo adalah keikutsertaannya dalam perumusan Pembukaan UUD 1945. Ketika itu (18 Agustus 1945) Piagam Jakarta, yang telah dirumuskan Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno, ditentang pihak non-Islam. Mereka menginginkan pencoretan tujuh kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta, yaitu “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Keberatan pihak non-Islam ini tidak diterima Ki Bagus Hadikusumo, yang ketika itu menjabat ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, karena Piagam Jakarta itu sebelumnya telah disetujui Panitia Sembilan, yang di dalamnya juga terdapat anggota yang non-Islam.
Di sinilah peran penting Kasman Singodimedjo. Melalui pendekatan pribadi dan pendekatan Muhammadiyah, Kasman Singodimedjo berhasil membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk menyetujui pencoretan tujuh kata dimaksud. Persetujuan Ki Bagus berhasil didapat setelah Kasman menyatakan bahwa rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengganti tujuh kata tersebut mengandung konsep tauhid yang diyakini umat Islam, yaitu keyakinan terhadap Allah SWT.
Setelah selesai persoalan Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD 1945 dan penyusunan UUD 1945, berhasil pula ditetapkan presiden dan wakil presiden RI. Untuk membantu presiden, dibentuklah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan Kasman Singodimedjo sebagai ketuanya. Pada 6 November 1945, Kasman diangkat menjadi jaksa agung RI pertama (sampai 10 Mei 1946). Selanjutnya ia diangkat menjadi kepala Urusan Kehakiman Tentara pada Kementerian
Pertahanan (20 Mei 1946–22 Juni 1946) dan kemudian menteri muda kehakiman (13 November 1947–16 Januari 1948). Ia bertindak sebagai anggota penasihat delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Belanda 23 Agustus 1949–2 November 1949.
Setelah kembali dari luar negeri, Kasman Singodimedjo lebih banyak aktif di Masyumi dan Muhammadiyah. Pada tahun 1949–1956 Kasman Singodimedjo menjabat sebagai sekretaris jenderal Masyumi.
Pada pemilu 1955 ia terpilih menjadi anggota Konstituante. Di Konstituante inilah ia dengan gigih memperjuangkan Islam menjadi dasar negara Republik Indonesia, karena Soekarno, ketika tujuh kata dicoret dari Piagam Jakarta, berjanji bahwa dalam waktu 6 bulan akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan menyusun undang-undang dasar secara sempurna dan memasukkan Islam sebagai dasarnya.
Janji inilah yang ditagih Kasman dengan teman-teman sefraksi dari partai Islam lainnya. Sekalipun perjuangan ini tidak mencapai tujuan, dari berbagai pidatonya di Konstituante ini kelihatan betapa teguhnya Kasman Singodimedjo memperjuangkan keyakinannya akan kebenaran dan ketetapan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesiayang berpenduduk mayoritas muslim.
Perjuangan Kasman, menurut Mr. Mohamad Roem (tokoh pergerakan dan politik), senantiasa bertitik tolak dari ajaran Islam. Berbagai kesempatan pertemuan digunakannya untuk mengeluarkan ide tentang negara dan Islam yang diiringi dengan berbagai dalil dari Al-Qur’an dan hadis.
Kegigihannya memperjuangkan Islam, baik di pentas politik maupun di tengah-tengah masyarakat, membuat kaum komunis berupaya menjatuhkannya. Akibatnya, ia harus berulang kali masuk penjara.
Ketika ia membantu perjuangan PRRI di Sumatera Barat, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara pada 1960. Kemudian ia harus masuk penjara lagi pada 1963 dan baru dibebaskan setelah meletus peristiwa G30S/PKI. Dalam tahanan penjara inilah ia sempat menulis sebuah buku yang berjudul Renungan dari Penjara.
Di Muhammadiyah, di samping pernah menjabat ketua cabang Jakarta dan koordinator wilayah Jakarta, Bogor, dan Banten, Kasman juga menduduki jabatan sebagai salah seorang ketua sampai akhir hayatnya. Pada 1977 Universitas Muhammadiyah Jakarta menganugerahinya gelar doctor honoris causa dalam bidang ilmu hukum. Dalam kesempatan itu ia menyampaikan orasi ilmiah yang berjudul “Masalah Kedaulatan”.
Pada 10 November 1995 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Republik Indonesia Utama. Bintang penghargaan ini diperoleh Kasman karena jasanya kepada negara.
Daftar Pustaka:
Harun, Lukman. Muhammadiyah dan Asas Tunggal Pancasila. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986.
Nasution, Abdul Haris. Sekitar Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: Gunung Agung, 1975.
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman Singodimejo. Hidup itu Berjuang, 75 Tahun Kasman Singodimejo. Jakarta: Bulan Bintang, 1982.
Shadiq, Fajar. Mengenang Prof. Dr. Kasman Singodimejo. Jakarta: t.p., 1982.
Ahmad Qorib