Silaturahmi

Istilah yang terkadang disebut “silaturahim” ini tidak saja populer di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi juga sudah menjadi istilah nasional untuk menunjukkan hubungan yang akrab dan harmonis antaranggota masyarakat pada umumnya.

Sebagaimana kata halalbihalal, silaturahmi merupakan istilah yang khas Indonesia, yang berasal dari bahasa Arab (Silah dan rahim). Silah berarti “menyambung” dan “menghimpun”; sehingga yang dituju oleh kata Silah hanyalah yang terputus dan terserak-serak.

Adapun rahim pada mulanya berarti “kasih sayang”, kemudian berkembang menjadi “peranakan” (kandungan) karena anak yang dikandung selalu mendapatkan kasih sayang.

Apabila disebut kata “silaturahmi”, maka yang terlintas dalam pikiran adalah menyambung kembali hubungan yang selama ini terputus atau renggang. Tidak heran kemudian istilah ini untuk umat Islam di Indonesia terkait dengan tradisi mudik pada setiap Idul Fitri, karena orang yang merantau di kota ingin menjalin hubungan yang terputus dengan kampung halamannya.

Begitu juga saling mengunjungi sahabat karib dan baid (dekat dan jauh) merupakan wujud dari keinginan menjalin hubungan yang selama ini terasa renggang. Sejalan dengan makna tersebut, Nabi Muhammad SAW bersabda,

“Tidak bersilaturahmi orang yang hanya membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang dinamakan ‘bersilaturahmi’ adalah yang menyambung apa yang putus” (HR. Bukhari).

“Siapa yang ingin rezekinya dibanyakkan dan umurnya dipanjangkan, hendaklah ia menghubungkan tali silaturahmi” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).

Sejalan dengan anjuran untuk menjalin tali silaturahmi, maka Islam juga mengancam orang yang memutuskan tali silaturahmi. Orang semacam ini, menurut Al-Qur’an, akan dilaknat oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman,

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa maka kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah, dan ditulikan-Nya telinga mereka, dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (QS.47:22–23).

Dalam basmalah, kata rahim dikaitkan dengan rahman, yang akar katanya sama, tetapi penekanan artinya berbeda. Kata rahman menggambarkan curahan rahmat Tuhan kepada seluruh makhluk, sedangkan rahim menggambarkan sifat yang dimiliki-Nya. Rahman dapat juga berarti curahan rahmat Allah SWT yang bersifat sementara di dunia ini dan mencakup semua makhluk, termasuk muslim dan kafir.

Rahmat Allah SWT yang kekal digambarkan dengan sifat rahim, yang diberikan kepada hamba yang berbakti kepada-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Ungkapan kata rahim lebih mendalam dibandingkan dengan rahman.

Karena itu ketika kata rahim dikaitkan dengan Silah, yang tergambar adalah hubungan yang amat erat dan hampir mustahil putus karena rahim merupakan ikatan yang amat erat bagaikan hubungan ibu dan anak.

Esensi silaturahmi adalah saling memaafkan yang diiringi dengan berjabat tangan. Dalam ayat Al-Qur’an dijelaskan kaitan erat antara bermaafan dan berjabat tangan: “Maka maafkanlah mereka dan berjabat tangan, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (QS.5:13).

Dalam ayat ini, memberi maaf lebih mulia daripada meminta maaf, karena kata yang digunakan adalah kata perintah, “maafkanlah mereka” (fa‘fu)! Jika seseorang berkunjung ke tempat saudara atau tetangga untuk bermaafan, sebaiknya yang tidak bersalah mengulurkan tangan lebih dulu untuk memberi maaf sebelum yang bersalah minta maaf.

Kata “maaf” berarti “menghapus”, dan biasanya setiap kali menghapus masih ada bekas hapusannya. Bagaikan menghapus tulisan, setiap kali menghapus kesalahan selalu meninggalkan bekas. Agar tidak berbekas, maka dibuka lembaran baru.

Lembaran baru yang dimaksudkan dengan kata isfah dari Safhah berarti lembaran yang disimbolkan dengan berjabat tangan. Ketika seseorang memaafkan, dia dituntut pada waktu bersamaan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan agar tidak mempersoalkan kesalahan yang terdahulu dan secara bersama-sama membuka lembaran baru.

Berjabat tangan juga sejalan dengan tradisi ketika bertemu dengan setiap orang yang baru dikenal, yang berarti mengajak berkenalan dan membuka lembaran baru.

Menurut ar-Ragib al-Isfahani (ahli fikih dan tafsir; w. 505 H/1112 M), Safhu yang digambarkan dalam bentuk berjabat tangan bernilai lebih tinggi daripada memaafkan. Para agamawan pun berpesan,

“Jika ada yang memaki Anda, janganlah makiannya Anda balas, tetapi berkatalah, ‘Jika makian Anda benar, saya bermohon semoga Allah mengampuniku; dan jika keliru, semoga Allah mengampuni Anda.’”

Memaafkan dan bersalaman adalah momentum yang tidak perlu ditunggu sampai datangnya Idul Fitri. Namun ketika ada yang berbuat salah, langsung saja maafkan orang tersebut karena ia akan kehilangan kesempatan pada saat itu atau setidaknya nilainya sudah berkurang.

Sebagai analogi, orang yang minta makan karena lapar, tetapi ditolak, dan baru diberi makan setelah rasa laparnya hilang, tidak lagi membutuhkan makanan itu. Mungkin saja dia mau makan, tetapi selera atau kenikmatan makannya sudah hilang. Begitu pula ucapan maaf dan memaafkan lebih bermakna kalau segera disampaikan saat ini juga daripada ditunda-tunda.

Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadisnya menekankan bahwa silaturahmi terkait erat dengan iman: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, hendaklah dia menghubungkan rasa kasih sayang” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain ditegaskan:

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, janganlah menyakiti tetangganya!. Dan barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah berbicara yang baik-baik atau diam saja!” (HR. Bukhari).

Dalam hadis lain juga ditegaskan:

“Kamu lihat orang-orang yang beriman itu dalam saling mengasihi, saling mencintai dan saling menolong seperti sebatang tubuh. Kalau ada salah satu anggota yang terkena penyakit, seluruh batang tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan menderita panas” (HR. Bukhari).

Jelas sekali bahwa ajaran Islam tidak membedakan apakah tetangga itu Islam atau bukan. Yang penting, setiap tetangga dengan agama, suku, ras, dan kebangsaan apa pun harus dihormati. Jadi, salah satu wujud konkret iman adalah selalu menebarkan kasih sayang dan saling menghargai dalam hidup bermasyarakat.

Silaturahmi yang dianjurkan, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, merupakan bukti bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamin. Ajarannya mengandung nilai universal sekaligus perenial, karena semua manusia mendambakan keharmonisan dalam masyarakat.

Momentum seperti Idul Fitri, mudik, dan halalbihalal dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk bersilaturahmi, melepas kerinduan yang selama ini jarang ditemukan dalam rutinitas kehidupan. Oleh karena itu, gelombang mudik yang begitu besar hampir tidak dapat dibendung.

Kendatipun macet terjadi setiap kali mudik, arus mudik tidak berkurang dari tahun ke tahun demi memenuhi hasrat yang begitu besar untuk bersilaturahmi dengan orangtua dan karib kerabat di kampung halaman.

Rasa terasing dari masyarakat, yang selama ini dialami, melebur ketika pemudik sampai di kampung halaman dan disambut dengan hangat dan penuh keakraban. Nilai bersilaturahmi seperti inilah yang sangat didambakan, dan itu ditemukan dalam prosesi mudik dan halalbihalal.

Daftar Pustaka

Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Effendi, Djohan. Menemukan Makna Hidup. Jakarta: Mediacita, 2002.
al-Isfahani, Ragib. Mufradat Alfaz Al-Qur’an. Damascus: Dar al-Qalam, 1991.
al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Cairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974.
Shihab, M. Quraish. Lentera Hati. Bandung: Mizan, 2002.
–––––––. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997.
Tim Ahli Tauhid. Kitab Tauhid. Jakarta: Daru Haq, 2000.

Amsal Bakhtiar