Sifat dua puluh merupakan sejumlah sifat yang dinisbahkan kepada Allah SWT.
Kedua puluh sifat Allah SWT tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok: sifat nafsiyyah (berkaitan dengan Zat Allah SWT), sifat salbiyyah (tidak sesuai dengan sifat Allah SWT, sifat ma‘ani (wajib bagi Allah SWT), dan sifat ma‘nawiyyah (kelanjutan logis sifat ma‘ani).
Sifat Nafsiyyah.
Sifat nafsiyyah berhubungan dengan Zat Allah SWT. Yang tergolong dalam kelompok ini adalah sifat wujud. Artinya, wujud adalah Zat Allah SWT, bukan merupakan tambahan dari Zat-Nya.
Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya tata kehidupan di alam ini dan benda yang terdapat di dalamnya, seperti matahari, bulan, dan planet lainnya. Benda tersebut tidak tetap, tetapi bergerak dan mengalami perubahan.
Perubahan dan gerak itu tidak mungkin bersumber dari dirinya sendiri. Karena, jika ia menggerakkan dirinya sendiri tentu benda itu tidak mempunyai kekurangan. Akan tetapi pada kenyataannya benda itu mempunyai banyak kekurangan.
Oleh sebab itu, jelaslah bahwa ada sesuatu Zat yang mengendalikannya dan memiliki sifat kesempurnaan. Itulah yang disebut dengan Allah SWT.
Allah SWT sebagai penyebab pertama adanya alam tidak diciptakan oleh sesuatu karena jika demikian keadaannya, Ia tidak akan memiliki kesempurnaan. Jadi wujud Allah SWT itu merupakan suatu kepastian (wajib) karena wujud-Nya tidak tergantung pada yang lain. Adapun alam ini merupakan benda yang mungkin karena wujudnya ditentukan oleh Zat lain, yaitu Allah SWT.
Di samping itu, keberadaan Allah SWT dapat dibuktikan dengan melihat adanya keteraturan alam semesta. Alam ini diatur dengan suatu sistem aturan yang sangat rapi, satu dengan yang lainnya bergerak secara harmonis. Hal ini menandakan adanya pembuat aturan yang memiliki sifat kesempurnaan.
Selain itu, mustahil masing-masing unsur alam raya ini bergerak sendiri karena jika demikian tidak akan tercipta satu gerak yang harmonis. Dengan demikian, gerak alam raya ini diatur oleh sesuatu Zat yang memiliki kesempurnaan, yaitu Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an surah as-Sajdah (32) ayat 4 disebutkan: “Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya….”
Sifat Salbiyyah.
Sifat yang tidak sesuai atau tidak layak bagi Allah SWT. Sifat salbiyyah meliputi sifat sebagai berikut:
(1) Allah SWT mempunyai sifat kidam (qidam) atau terdahulu/tidak berawal, artinya wujud-Nya ada sejak semula tanpa didahului sesuatu.
Sifat kidam menolak sifat hadits/huduts (baru) Allah SWT dan sekaligus menolak teori ad-daur, yaitu rangkaian perputaran yang tiada habis-habisnya, artinya alam ini diciptakan oleh Allah SWT tetapi keberadaan Allah SWT itu juga disebabkan benda alam yang lain.
Apabila keadaannya demikian, tidak ada kepastian tentang penyebab pertama dan keduanya saling tergantung. Hal semacam ini mustahil bagi Allah SWT. Selain itu, sifat ini juga menolak teori at-tasalsul, yaitu mata rantai yang tidak berujung pangkal, artinya wujud alam ini disebabkan Allah SWT tetapi wujud-Nya disebabkan oleh yang lain dan demikian seterusnya sampai tidak dapat dipastikan penyebab pertama.
Dalam Al-Qur’an surah al-Hadid (57) ayat 3 disebutkan: “Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zahir dan Yang Batin,…” Oleh sebab itu, jika wujud Allah SWT didahulukan oleh waktu, berarti Ia sama dengan makhluk dan bersifat huduts, dan tidak memiliki sifat kesempurnaan. Hal seperti ini tentu saja mustahil bagi Allah SWT.
(2) Allah SWT mempunyai sifat baka, artinya kekal selama-lamanya.
Sifat ini menolak sifat fana, artinya Allah SWT akan mengalami kehancuran dan kepunahan. Jika demikian berarti wujud Allah SWT dibatasi waktu dan mempunyai kelemahan karena tidak mampu menolak kehancuran yang disebabkan oleh wujud lain.
Selain itu, Ia juga termasuk benda yang huduts karena akan mengalami kepunahan dan tidak memiliki kesempurnaan. Hal seperti itu mustahil bagi Allah SWT. Oleh sebab itu, wajib bagi-Nya mempunyai sifat baka. Dalam Al-Qur’an surah al-Qasas (28) ayat 88 disebutkan: “Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain.
Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan” dan surah ar-Rahman (55) ayat 26 dan 27: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.”
(3) Allah SWT mempunyai sifat mukhalafatuh li al-hawadits, artinya Allah SWT berbeda dari benda yang baru atau makhluk.
Perbedaan itu menyangkut segala-galanya, seperti hidup, cara kerja, cara berbicara, dan cara mendengar. Seandainya Ia menyerupai hasil ciptaan-Nya, berarti Ia memiliki kelemahan karena membutuhkan barang lain, seperti makanan, tempat, dan waktu. Hal itu mustahil bagi Allah SWT.
Jika seseorang membayangkan keadaan Allah SWT, maka hanya dalam bayangan saja hal itu mungkin cocok dengan hakikat-Nya karena bayangan seseorang tidak akan terlepas dari rangkaian makhluk. Sementara Ia tidak dapat disamakan dengan salah satu makhluk-Nya.
Apabila ada sebagian sifat-Nya yang sama dengan sifat makhluk, hal itu hanya dari segi lahirnya saja karena hakikat-Nya tidaklah demikian. Dalam Al-Qur’an surah asy-Syura (42) ayat 11 disebutkan: “…Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(4) Allah SWT mempunyai sifat qiyamuh bi nafsih, artinya Allah SWT itu berdiri sendiri dan tidak membutuhkan sesuatu untuk wujud-Nya, seperti ruang, waktu, dan materi
. Jika Allah SWT membutuhkan sesuatu, berarti wujud-Nya sama dengan makhluk yang bersifat baru dan memiliki kekurangan serta kelemahan. Oleh sebab itu, Allah SWT bukan Zat yang terdiri dari anggota badan yang membutuhkan tempat dan benda lain untuk hidup-Nya. Semuanya itu mustahil bagi Allah SWT.
Dengan demikian mustahil Ia mempunyai sifat qiyamuh li gairih (wujudNya disebabkan oleh yang lain). Dalam Al-Qur’an surah al-‘Ankabut (29) ayat 6 disebutkan: “Sesungguhnya Allah benar-benar maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(5) Allah SWT mempunyai sifat wahdaniyyah, artinya Allah SWT itu Maha Esa (Tunggal). Keesaan Allah SWT meliputi esa dalam zat, sifat, dan perbuatan.
Esa dalam zat berarti “Zat-Nya tidak tersusun dari beberapa unsur”. Jika Zat-Nya tersusun dari beberapa unsur, wujud-Nya serupa dengan makhluk dan hal itu mustahil bagi-Nya. Esa dalam sifat berarti “hanya Allah SWT yang memiliki sifat kesempurnaan dan suci dari sifat kekurangan”, sehingga makhluk-Nya tidak akan menyerupai sifat-Nya.
Esa dalam perbuatan berarti “tidak ada satu makhluk pun yang dapat menandingi dan menyamai perbuatan Allah SWT, seperti mencipta, memberi rezeki, dan menjaga alam”. Hal ini juga mengandung arti bahwa dalam menciptakan alam ini tidak ada satu makhluk pun yang ikut serta membantu-Nya.
Dalam Al-Qur’an surah al-Anbiya’ (21) ayat 22 disebutkan: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan” dan surah al-Ikhlas (112) ayat 1: “Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa.”
Sifat Ma‘ani
Sifat ma‘ani wajib bagi Allah SWT yang dapat digambarkan oleh akal pikiran manusia dan dapat meyakinkan orang lain karena kebenarannya dapat dibuktikan oleh pancaindra. Yang termasuk ke dalam sifat ma‘ani adalah sifat sebagai berikut:
(1) Sifat qudrah, artinya Allah SWT Maha Kuasa dan mustahil Ia itu lemah.
Hal yang membuktikannya adalah bahwa Ia telah mampu menciptakan alam dengan segala isinya yang terdiri dari beberapa bagian, antara lain alam hewan, alam tumbuhan, dan alam benda; kesemuanya mempunyai tata aturan yang rapi.
Oleh sebab itu mustahil apabila alam itu diciptakan oleh zat yang lemah karena Allah SWT mampu mengatur dan mengendalikan seluruh gerak alam berdasarkan kehendak dan kebijaksanaan-Nya sendiri, sehingga tidak satu makhluk pun yang kuasa menahan dan menghalangi kehendak Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 20 disebutkan: “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
(2) Sifat iradat (iradat), artinya Allah SWT wajib memiliki kehendak dan mustahil bersifat karahah (karahah = terpaksa).
Keberadaan alam ini dengan segala perkembangannya didasarkan pada kehendak-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang dapat memaksaNya dalam bertindak karena jika ada yang dapat memaksa-Nya, berarti Ia lemah dan terpaksa serta dapat dikendalikan. Hal itu tidak mungkin bagi Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendak-inya, Kami hanya mengatakan kepadanya: kun (jadilah), maka jadilah ia (fayakun)” (QS.16:40)
(3) Sifat ilmu (‘ilm), artinya Allah SWT mengetahui segala sesuatu, baik yang telah terjadi, yang sedang terjadi, dan akan terjadi.
Ia mengetahui sesuatu yang rahasia, terang-terangan, dan yang ada dalam hati. Adanya alam dengan segala aturannya yang rapi merupakan bukti dari ilmu Allah SWT. Oleh karena itu mustahil alam yang sedemikian rupa diciptakan oleh zat yang bodoh.
Dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 231 disebutkan: “…ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” dan surah al-Hujurat (49) ayat 18: “Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi.”
(4) Sifat sama‘, artinya Allah SWT mendengar segala macam bunyi dan suara makhluk, baik yang keras maupun yang pelan, dan pendengaranNya tanpa batas jarak dan tanpa alat.
Oleh sebab itu mustahil Allah SWT bersifat tuli karena akan mengurangi sifat kesempurnaan Allah SWT dan akan menjadikan-Nya serupa dengan makhluk. Dalam Al-Qur’an surah al-Ma’idah (5) ayat 76 disebutkan:
“Katakanlah, ‘Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?’ Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(5) Sifat basar, artinya Allah SWT melihat segala sesuatu, baik yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Ia melihat yang terjadi secara terang-terangan maupun secara rahasia dan tidak satu pun kejadian di alam ini yang lepas dari penglihatan-Nya. Selain itu, penglihatan-Nya tidak dibatasi waktu dan tanpa alat apa pun.
Oleh sebab itu, mustahil Allah SWT itu buta, karena jika demikian berarti Ia memiliki kekurangan. Dalam Al-Qur’an surah al-Mu’min (40) ayat 19 disebutkan: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”
(6) Sifat kalam (kalam), artinya Allah SWT berbicara.
Oleh karena Allah SWT berbicara, Ia dapat berfirman dan memberi janji, peringatan, dan lainnya. Namun demikian, cara bicara-Nya berbeda dengan cara bicara makhluk karena tanpa suara, huruf, dan gerak bibir.
Akan tetapi atas kehendak-Nya, sebagian hamba dapat memahami kalam-Nya. Dengan demikian mustahil Allah SWT bersifat bisu, karena hal itu akan mengurangi kesempurnaanNya. Dalam Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4) ayat 164 disebutkan: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.”
(7) Sifat hayat (hayat), artinya Allah SWT itu hidup walaupun kehidupan Allah SWT tidak sama dengan kehidupan makhluk.
Hidup-Nya tidak dibatasi waktu dan tidak membutuhkan tempat serta materi. Sifat hidup-Nya itulah yang secara rasional (akal) dapat memiliki sifat lain, seperti berkuasa, mengetahui, mendengar, berbicara, dan melihat, yang menggambarkan kesempurnaan-Nya.
Oleh sebab itu mustahil Allah SWT itu mati karena Ia memiliki sifat tersebut. Dalam Al-Qur’an surah al-Furqan (25) ayat 58 disebutkan: “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya.”
Sifat Ma‘nawiyyah.
Sifat yang berhubungan dengan sifat ma‘ani atau merupakan kelanjutan logis dari sifat ma‘ani. Sifat itu adalah sebagai berikut:
(1) kaunuh qadiran (keadaan-Nya maha kuasa),
(2) kaunuh muridan (keadaan-Nya maha berkehendak),
(3) kaunuh ‘aliman (keadaan-Nya maha mengetahui),
(4) kaunuh sami‘an (keadaan-Nya maha mendengar),
(5) kaunuh basiran (keadaan-Nya maha melihat),
(6) kaunuh mutakalliman (keadaan-Nya maha berbicara), dan
(7) kaunuh hayyan (keadaan-Nya maha hidup).
Daftar Pustaka
Abdullah al-Kaff. Tauhid. Bandung: Risalah, 1987.
al-Fatani, Zainal Abidin. ‘Aqidah an-Najin fi ‘Ilm Ushul ad-Din. Surabaya: Syirkah B. Indah, t.t.
Husain Afandi al-Jisr at-Tarabulusi. al-husn al-hamidiyyah. Surabaya: al-Maktab al-Saqafiyah, 1960.
Muslih Fatoni. Dasar-dasar Keyakinan Islam. Yogyakarta: t.tp, 1975.
ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Yaqub, Hamzah. Filsafat Ketuhanan. Bandung: al-Ma’arif, 1984.
Zuhad