Sicilia, pulau terbesar di Laut Tengah, adalah daerah otonomi Italia yang dipisahkan Selat Messina dari daratan utama Italia. Ibukotanya adalah Palermo. Pulau ini berperan besar dalam siar Islam ke Eropa sejak abad ke-7 sampai ke-12.
Sebelum dimasuki Islam, Sicilia dikuasai berbagai imperium: Yunani dan Carthagia (743 SM–241 SM), Romawi (241 SM–436 M), Vandal dan Ostrogoth (436–533), dan Bizantium (533–827).
Ketika orang Islam memasuki Sicilia pada 662, Bizantium masih berkuasa di sana. Islam merebut wilayah ini dan menguasainya selama lebih kurang 2,5 abad (827–1091). Sesudah lepas dari Islam, pulau itu diduduki bangsa Norman, kemudian Jerman, Perancis, Spanyol, dan akhirnya Italia (sejak 1860).
Sebenarnya kaum muslimin sudah berniat untuk menaklukkan pulau ini sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab (634–644). Ketika itu para panglima mendesak Khalifah Umar agar mengizinkan mereka meneruskan penaklukan dengan menyeberangi Laut Tengah.
Akan tetapi Umar menolak karena pulau itu sangat jauh dari pusat pemerintahan Islam, medan untuk sampai ke sana sangat sulit ditempuh, dan daerah yang baru dikuasai harus dibenahi.
Niat kaum muslimin untuk memasuki pulau itu baru terlaksana pada 662, pada masa pemerintahan Mu‘awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayah). Atas perintah Mu‘awiyah dikirimlah sepasukan tentara di bawah pimpinan Mu‘awiyah bin Khudaij, dan selanjutnya di bawah Abdullah bin Qais.
Pada waktu Musa bin Nusair menjadi gubernur Afrika Utara, tentara Islam di bawah pimpinan Abdullah bin Musa digerakkan dari Afrika untuk menyerang pulau di Laut Tengah seperti Balearis, Sardinia, dan Sicilia pada 704 dan 710.
Pada 724–740 penyerangan serupa terjadi silih berganti di bawah pimpinan panglima perang seperti Bisr bin Safwan, Ubaidah bin Abdurrahman, Mustabir bin Haris, Abdul Malik bin Qattan, Abu Bakar bin Suwaed, dan Habib bin Ubaidah. Bahkan antara 753 dan 800 serangan tentara Islam berlanjut terus. Tetapi penyerangan itu tidak berhasil menaklukkan Sicilia.
Kendatipun demikian, usaha untuk menaklukkan Sicilia tetap dilakukan. Penaklukan pertama berhasil dilakukan Dinasti Aghlabiyah (sejak 831), kemudian Dinasti Fatimiyah (sejak 909), dan Dinasti Kalbi (sejak 947).
Ibrahim I bin Aghlab al-Aghlab (w. 812), gubernur pertama (memerintah 800–812) dari Dinasti Aghlabiyah yang berpusat di Qairawan (Afrika Utara), sebenarnya sudah memikirkan upaya untuk menguasai Sicilia.
Akan tetapi niat itu tidak segera terwujud karena kesibukannya dalam membenahi urusan dalam negeri. Untuk urusan luar negeri, ia hanya sempat mengadakan perjanjian damai dengan Bizantium yang ketika itu juga menguasai Sicilia.
Niat Ibrahim baru terwujud pada 827 ketika Ziyadatullah I (w. 838), gubernur ketiga Dinasti Aghlabiyah, menerima tawaran Euphemius (seorang pangeran dan komandan angkatan laut Bizantium di Sicilia) untuk menyerang dan melawan kaisarnya, Michael II, karena sang kaisar menculik dan mengawini secara paksa Homoniza, biarawati yang semula menjadi kekasih Euphemius.
Untuk memenuhi tawaran itu, Ziyadatullah I mengirim Asad bin al-Furat, seorang panglima perang Dinasti Aghlabiyah, lengkap dengan armada yang berkekuatan 70 kapal, 10.000 personel, dan 700 ekor kuda, yang kemudian bergabung dengan pasukan Euphemius.
Mereka berhasil mendarat di Mazara (sebuah kota di Sicilia) dan menghancurkan pasukan Balata (panglima perang Bizantium). Kemudian mereka mengepung Siracusa selama setahun, tetapi pengepungan ini tidak membawa hasil.
Asad kemudian digantikan oleh Muhammad bin Abu al-Khudaij sebagai panglima perang. Bersama pasukan Euphemius (ketika itu Euphemius sendiri telah meninggal), Muhammad bin Abu al-Khudaij berusaha keras untuk melanjutkan peperangan, tetapi usaha ini pun tidak membawa hasil. Penyerangan berikutnya di bawah pimpinan Zuhair al-Gaus juga tidak berhasil menjatuhkan Siracusa, benteng dan ibukota Bizantium di Sicilia.
Setahun kemudian, ketika pemerintahan di Sicilia di bawah Kaisar Theophilus, pengganti Kaisar Michael II (w. 829), semakin merosot, Ziyadatullah I mengirim satu pasukan yang dipimpin panglima Asbag bin Wakil dengan kekuatan 23.000 personel. Mereka berhasil menaklukkan Mineo dan Ghalwaliya (Colloniom), kota di bagian selatan Sicilia, sebelum Asbag meninggal.
Setelah dikepung selama hampir setahun, Palermo dapat dikuasai dan ditaklukkan pada 12 September 831, lalu dijadikan ibukota dan pusat penyerangan ke kawasan lain yang belum ditaklukkan. Lima bulan kemudian, Ziyadatullah I menunjuk misannya, Abu Fihr Muhammad bin Abdullah, sebagai wali di Sicilia dan sejak saat itu dinasti ini membangun koloni baru di pulau ini.
Kota lain yang kemudian berhasil ditaklukkan adalah Castrogiovanni (859), Noto (864), Teormina, Tronia, Ragua, Catania, dan Siracusa (878). Jatuhnya kota Siracusa menyebabkan pertahanan Bizantium semakin terdesak dan akhirnya Islam berhasil menaklukkan seluruh Sicilia pada 902 setelah melakukan penyerangan selama 75 tahun.
Gubernur Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah Sicilia antara lain adalah: (1) Abu Fihr Muhammad bin Abdullah, (2) Abu Aghlab Ibrahim bin Abdullah, (3) Abbas bin Fadl, (4) Khafaja bin Sufyan, (5) Ja‘far bin Muhammad, dan (6) Abdullah bin Ibrahim (w. 903).
Pada 909 kekuasaan Dinasti Aghlabiyah di Sicilia berakhir ketika Ubaidillah al-Mahdi, pendiri Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara, berhasil mengalahkan mereka. Gubernur Fatimiyah yang pertama berkuasa di Sicilia adalah Ali bin Ahmad bin Abi al-Fawaris, yang kemudian pada 910 digantikan oleh Hasan bin Ahmad, seorang panglima yang tepercaya dan terkenal.
Pada masa pemerintahan Hasan, kekuasaan Fatimiyah mulai mapan dan ajaran Syiah mulai disebarkan di tengah kaum muslim Sicilia yang terdiri atas orang Arab dan Barbar yang mayoritas Suni.
Karena tidak senang dengan keadaan demikian, orang Arab yang anti-Syiah di Palermo dan orang Barbar di Girgenti (kota di pesisir selatan Sicilia) bersatu untuk membangun pemerintahan Suni di bawah pimpinan Ibnu Qurhub.
Langkah yang ditempuh Ibnu Qurhub mendapat dukungan besar dari al-Muqtadir (khalifah ke-18 Abbasiyah, memerintah pada 908–932). Karena itu, al-Muqtadir memberikan legitimasi dan mengukuhkan Ibnu Qurhub sebagai amir.
Melihat keadaan demikian, pihak Fatimiyah, dengan dukungan orang Barbar yang tidak senang dengan pemerintahan Ibnu Qurhub, menyerang dan menangkap serta mengeksekusi Ibnu Qurhub. Tetapi pasukan yang menyerang Ibnu Qurhub itu juga akhirnya berbalik dan memberontak terhadap Dinasti Fatimiyah.
Untuk memadamkan pemberontakan Barbar, dikirimlah Abu Sa‘id Musa ad-Daif dari Afrika. Ia berhasil. Ketika ia kembali ke Afrika, pemerintahan diserahkan kepada Salim bin Rasyid sebagai gubernur.
Salim memerintah selama 20 tahun (sejak 917) sampai kemudian tumbang pada 937 setelah orang Barbar dan kelompok lainnya mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahannya yang bercorak otoriter.
Ia lalu digantikan Khalil bin Ishaq yang kemudian berhasil melumpuhkan pemberontakan itu. Empat tahun kemudian Khalil kembali ke Afrika, dan pemerintahan diserahkan kepada perwiranya, Ibnu al-Kufi dan Ibnu Attaf.
Pemerintahan Fatimiyah di Sicilia di bawah kekuasaan kedua perwira tersebut menjadi semakin lemah karena tidak mendapat dukungan dari kaum muslim Sicilia yang berpaham Suni. Dalam keadaan lemah inilah Dinasti Kalbi mengambil alih kekuasaan atas Sicilia dan memerintah di sana selama 97 tahun (947–1044), walaupun pulau itu secara de jure masih di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
Penguasa pertama dari Dinasti Kalbi yang memerintah di Sicilia adalah Hasan bin Ali bin Abu al-Husain al-Kalbi (w. 965). Ia pada mulanya adalah perwira yang dikirim ke Sicilia untuk melumpuhkan pemberontakan yang dilakukan Bani at-Tabari pada 947. Setelah berhasil menumpas pemberontakan itu, ia membangun Dinasti Kalbi yang bercorak semi-independen dan memerintah di pulau itu selama 6 tahun.
Ketika Hasan al-Kalbi ditarik kembali ke Afrika pada 953, ia digantikan anaknya, Ahmad bin Hasan al-Kalbi, yang memerintah selama 16 tahun. Selama pemerintahan Ahmad tercatat banyak kemajuan yang dicapai, baik di bidang militer maupun sosial.
Ia beberapa kali menjarah Italia dan bahkan pada 962–963 dapat menaklukkan daerah pegunungan sebelah selatan Messina. Kota di Italia yang pernah diduduki Dinasti Kalbi adalah Matera (994), Cosenza (1009), Bignano (1020), dan Cassano (1031).
Usaha untuk menaklukkan kota lainnya, seperti Salerno (di pesisir selatan Italia) dan Bari (di pesisir utara Italia), mengalami kegagalan karena tentara Bizantium terlalu kuat berkat bantuan tentara Normandia, Venesia, dan Pisa.
Ketiga kekuatan ini bahkan bersatu mengadakan serangan balik terhadap Islam. Karenanya, kedudukan Islam menjadi terdesak sehingga pada 1032 sebuah armada Dinasti Kalbi dapat dihancurkan oleh pasukan Bizantium di bawah pimpinan Nicephorus.
Kemajuan Dinasti Kalbi berlangsung selama kurang lebih setengah abad, yaitu mulai dari masa pemerintahan Ahmad bin Hasan (953–969) sampai dengan masa pemerintahan Abu al-Futuh Yusuf bin Abdullah (989–998).
Dinasti ini mengalami kejayaan di Sicilia pada masa pemerintahan Abu al-Futuh yang penuh kedamaian, keadilan, dan budi pekerti luhur, sehingga rakyatnya hidup tenteram. Kekuasaan dinasti ini mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Ja‘far bin Yusuf, yang tidak dapat mengendalikan pemerintahan dengan baik.
Pada 1044 kekuasaan Bani Kalbi berakhir ketika Hasan asy-Syamsan dipecat oleh pihak yang memenangkan peperangan dengan Dinasti Kalbi di Sicilia, yakni Ali bin Nikmah, Abdullah bin Mankut, dan Ibnu Maklati.
Kekuasaan Islam di Sicilia mulai lemah ketika terjadi perang saudara dan campur tangan Bizantium, yang membuka jalan bagi masuknya kekuasaan Norman ke pulau ini. Penaklukan Norman terhadap wilayah ini ditandai dengan jatuhnya beberapa kota ke tangan Roger I (w. 1101), seperti Messina 1060, Palermo 1071, dan Siracusa 1085.
Penaklukan berakhir pada 1091. Dengan demikian, berakhir pulalah kekuasaan Islam atas wilayah itu setelah berkuasa selama lebih kurang 2,5 abad.
Penduduk Sicilia pada masa pendudukan Islam merupakan campuran berbagai suku, ras, dan agama, yaitu orang Sicilia, Yunani, Lombard, Arab, Persia, dan Negro. Mereka menganut agama yang berbeda pula, yaitu Islam dan Kristen.
Orang muslim tampil sebagai penguasa, pejabat pemerintah, pedagang, pemilik usaha, militer, cendekiawan, dan pengrajin, tetapi mereka tidak memaksa penduduk nonmuslim untuk memeluk agama mereka.
Selama pemerintahan ketiga dinasti Islam tersebut di atas, Sicilia menunjukkan kemajuan yang menonjol di berbagai bidang, seperti pembangunan gedung, istana, dan masjid yang tersebar di berbagai kota, terutama di Palermo.
Kemajuan lain juga dicapai di bidang pertanian, perpajakan, dan perindustrian, seperti tekstil, kertas, gula, dan keramik. Palermo merupakan pusat perdagangan.
Pengembangan ilmu pengetahuan selama pemerintahan Islam di pulau itu juga cukup menonjol. Kondisi pada waktu itu sangat membantu, karena sebagian besar penguasa adalah orang terpelajar dan sastrawan yang kreatif.
Pengetahuan yang dikembangkan bukan hanya pengetahuan agama, melainkan juga pengetahuan umum. Pengetahuan agama yang dikembangkan adalah ilmu Al-Qur’an, qiraah, hadis, fikih, ilmu kalam, tasawuf, dan lain-lain serta pengetahuan bahasa dengan berbagai cabangnya.
Ulama terkenal dari pulau itu antara lain adalah Muhammad bin Khurasan dan Isma‘il bin Khalaf (keduanya ulama bidang qiraah), Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim at-Tamimi (ulama hadis), Asad bin al-Furat (ulama fikih), dan Atiq bin Ali as-Samantari (ulama hukum, teolog, dan sufi).
Ilmu umum yang dikembangkan adalah kedokteran, farmakologi, botani, kimia, matematika, sejarah, geografi, astronomi, filsafat, dan lain-lain. Ilmuwan yang terkenal adalah Abu Abdullah bin al-Qarani (astronom, matematikus, dan penyair) dan Abu Bakar as-Siqqilli (ahli kedokteran).
Setelah berada di Sicilia, orang Norman di bawah kekuasaan Roger I juga ikut mengembangkan ilmu dan kebudayaan yang telah dikembangkan Islam. Usaha itu dilanjutkan putranya, Roger II (1130–1154), dan cucunya, William II (1166–1189).
Orang Norman adalah perantara kebuÂdayaan dan ilmu pengetahuan ke Eropa. Mereka tidak hanya toleran terhadap kaum muslimin, melainkan juga menyenangi kebudayaan Islam. Pada masa mereka, kegiatan ilmiah berkembang terus.
Pada permulaan abad ke-11 buku yang berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, baik di Sicilia maupun di Italia. Kegiatan ini mencapai puncaknya pada abad ke-12. Bidang ilmu yang mendapat prioritas penerjemahan adalah buku kedokteran, obat-obatan, matematika, astronomi, optik, dan yang berkaitan dengan dunia fisik dan metafisika.
Penerjemahan berbagai buku ini memungkinkan orang Eropa mengenal kemajuan ilmu dan teknologi yang akhirnya pada abad ke-12 mengalami renaisans di Italia
Daftar Pustaka