Sibawaih

Sibawaih yang memiliki nama lengkap Abu Basyar Amr bin Usman bin Qanbar (al-Baidha’, Ustukhar, Persia, 137 H/755 M–177 H/794 M) adalah seorang ahli nahu dari Persia.

Sibawaih sendiri adalah julukan, tetapi lebih dikenal daripada nama aslinya. Julukan ini dipandang unik, karena belum ada orang yang dijuluki sama sebelumnya. Istilah “sibawaih” berasal dari bahasa Persia (sib: buah apel; waih: wangi) yang berarti “wangi buah apel”.

Ada beberapa riwayat yang menyebutkan asal-usul julukan itu. Ada yang mengatakan bahwa julukan itu diberikan kepadanya karena kedua pipinya bagaikan dua buah apel. Ada pula yang memberitakan bahwa julukan itu diberikan karena setiap orang yang berjumpa dengannya selalu mencium bau wewangian minyak berbau apel yang sering digunakannya.

Pandangan lain menyebutkan bahwa julukan itu diberikan karena tingkah lakunya yang lembut. Yang jelas, pembawaannya yang baik selalu mendapat pujian dari orang yang bergaul dengannya.

Tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya. Muhammad al-Anbari (513 H/1119 M–577 H/1181 M), seorang sejarawan sastra, di dalam kitabnya yang berjudul Nuzhah al-Alibba fi Tabaqat al-Udaba’ (Pemandangan Indah tentang Peringkat Para Sastrawan) menyebutkan bahwa ia meninggal dalam usia 40 tahun. Berdasarkan pendapat terkuat tentang waktu wafatnya, yaitu 177 H/794 M, maka diperkirakan ia lahir pada 137 H/755 M.

Mengenai tempat kelahirannya, juga terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ahwaz (Persia), ada pula yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di al-Baidha’, sebuah desa di Ustukhar, Persia. P

endapat yang kedua ini lebih banyak didukung para sejarawan. Tetapi yang pasti adalah Sibawaih dibesarkan di kota Basrah, yang pada masanya merupakan sebuah pusat ilmu pengetahuan dan peradaban, di samping Mekah, Madinah, dan Kufah. Ia meninggal setelah kembali ke kampung halamannya.

Di kota Basrah itulah ia pertama kali menuntut ilmu. Pada usia muda ia sudah rajin mengunjungi halaqah (pengajian) ilmiah dalam bidang fikih dan hadis. Dalam ilmu hadis ia berguru kepada Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri (w. 167 H/784 M), seorang ahli hadis terkenal pada masanya, yang juga mendalami ilmu nahu (gramatika) dan sharaf (morfologi) serta pernah menduduki jabatan mufti kota Basrah.

Pada waktu belajar hadis kepada Hammad, Sibawaih mendapat kesulitan dalam memahami beberapa hadis karena kemampuan bahasa Arabnya sangat terbatas. Oleh karena itulah, atas anjuran gurunya itu, Sibawaih kemudian bertekad untuk mendalami bahasa Arab.

Ia belajar bahasa Arab kepada beberapa orang ahlinya, seperti Isa bin Amr as-Saqafi al-Basri (ahli nahu, sharaf dan qiraah, w. 149 H/766 M), al-Akhfasy al-Kabir (ahli bahasa Arab), Yunus bin Habib al-Basri (ahli nahu yang mengajar beberapa halaqah, w. 177 H/794 M), Harun bin Musa al-Basri (ahli qiraah, w. 170 H/787 M), Abu Amr al-Ala’ (ahli qiraah, w. 154 H/771 M), dan al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi al-Azdi (ahli bahasa Arab dan nahu yang paling terkenal di Basrah ketika itu, w. 175 H/792 M).

Kepada al-Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamim al-Farahidi al-Azdi inilah Sibawaih paling lama dan paling serius belajar ilmu bahasa. Dialah guru terbesar Sibawaih dalam ilmu bahasa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Sibawaih menimba seluruh ilmu gurunya ini, terutama dalam bidang nahu dan sharaf.

Hubungan antara guru dan murid menjadi demikian akrab, bahkan dalam perkembangan lebih lanjut mereka berdua bekerjasama dalam pengembangan ilmu bahasa Arab itu. Bersama gurunya itu, ia menciptakan ‘ilm al-‘arudh (metrik).

Dengan belajar kepada ahli bahasa Arab dengan segala cabangnya, Sibawaih kemudian tumbuh menjadi seorang ahli bahasa Arab yang terkenal. Akan tetapi, karena ia wafat dalam usia yang sangat muda untuk ukuran seorang ulama, ia tidak begitu dikenal pada masa hayatnya.

Kemasyhurannya justru berkembang setelah ia meninggal dunia, melalui karya yang ditinggalkannya. Karyanya itu membuktikan kepada kalangan ilmuwan bahwa ia adalah seorang yang cerdas dalam di bidang bahasa Arab.

Ia mengarang sebuah buku besar yang menghimpun kaidah dan prinsip bahasa Arab. Buku ini merupakan khazanah ilmu bahasa Arab yang tiada tandingannya, baik sebelum maupun sesudahnya.

Oleh karena itu, buku ini masih terus dipelajari penuntut ilmu bahasa Arab sampai sekarang. Akan tetapi, karya ini tidak berjudul, tidak pula didahului dengan “pendahuluan” dan diakhiri dengan “penutup”.

Bahkan pada akhir buku itu ada kesan bahwa penulis masih berusaha menambahnya. Diduga, ia wafat sebelum sempat merampungkan karyanya. Oleh karena itu, para ilmuwan sesudahnya hanya memberi nama al-Kitab (Kitab) atau Kitab Sibawaih kepada buku itu.

Kitab Sibawaih dikarang ketika asimilasi antara bangsa Arab dan non-Arab sudah lama berlangsung. Asimilasi itu sangat berpengaruh di dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam bahasa. Padahal bahasa Arab ketika itu masih baru berkembang, kaidahnya belum tersusun.

Dalam bidang bahasa, orang hanya merujuk kepada riwayat, pendengaran, dan kebiasaan bertutur orang Arab. Akibatnya, sering terjadi kekeliruan dalam bacaan, termasuk dalam bacaan Al-Qur’an dan hadis.

Pada waktu itu, ilmu nahu memang sudah lahir, sejak Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk menyusun ilmu nahu buat pertama kali. Akan tetapi perkembangannya sampai masa Sibawaih belum begitu sempurna.

Munculnya kitab Sibawaih tersebut menandai era baru dalam perkembangan bahasa Arab. Karya itu memberi tanda baca sehingga orang dapat menggunakannya dengan benar dan seragam.

Di tangan Sibawaih ilmu nahu berkembang menjadi matang. Buku yang terutama berkenaan dengan ilmu nahu, ilmu sharaf, dan gaya bahasa serta kosakata Arab ini diangkat dari penelitian serius dan didukung 1.050 kutipan, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Gaya bahasanya jelas, mudah dipahami, dan berkesan bagi para pembaca. Sebelumnya, buku seperti ini belum pernah ada.

Demikian tingginya nilai karya tersebut, sehingga seluruh ahli ilmu nahu sesudahnya pasti merujuk dan berpedoman kepada karya itu. Bahkan, para ahli nahu generasi berikutnya banyak yang menyusun buku dengan maksud memudahkan para penuntut ilmu dalam memahami karya tersebut.

Mereka menyusun buku yang menerangkan dan menafsirkan kitab itu serta memberi catatan penting bagi bait syair yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, para ahli nahu yang datang sesudahnya menjuluki Sibawaih sebagai Imam min A’immah an-Nuhah (salah seorang pemimpin dalam ilmu nahu).

Kitab karya Sibawaih yang beredar sekarang ini diterbitkan pertama kali di Bulaq (India) pada 1317 H/1899 M oleh penerbit al-Amiriyah. Kitab itu terdiri dari 2 jilid dengan jumlah halaman lebih dari 900 halaman besar, disertai dengan dua lampiran, yaitu:

(1) karya Abu Sa‘id asy-Syarafi (w. 367 H/978 M) berjudul Ta‘liqat Mufidah min asy-Syarh al-Masyhur (Lampiran Penting dari Keterangan Terkenal) dan

(2) karya al-A‘lam asy-Syantamiri al-Andalusi (w. 476 H/1084 M) yang berjudul Syarh asy-Syawahid (Keterangan tentang Kutipan).

Daftar Pustaka

al-Afghani, Sa‘id. Min Tarikh an-Nahw. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Harun, Abdussalam Muhammad. Kitab Sibawaih. Cairo: al-Hai’ah al-Misriyah, t.t.
Ibnu al-Anbari, Muhammad. Nuzhah al-Alba fi Tabaqat al-Udaba’. t.tp.: al-Maktabah al-Fakhriyah, t.t.
Udhaimah, Muhammad Abdul Khaliq. Faharis Kitab Sibawaih. Cairo: Matba‘ah as-Sa‘adah, t.t.

Badri Yatim