Siak Sri Indrapura adalah sebuah kesultanan Melayu, didirikan (1723) oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah, dan pusat penyebaran Islam di Sumatera timur.
Pusatnya adalah Desa Buantan, kemudian pindah ke Siak Sri Indrapura (sekitar 90 km ke timur laut Pekanbaru). Wilayahnya meliputi Siak Asli, Bukit Batu, Merbau, Tebing Tinggi, Bangko, Tanah Putih, dan Pulau Bengkalis (Kabupaten Bengkalis); Tapung Kiri dan Tapung Kanan (Kampar); Pekanbaru; dan sekitarnya.
Riwayat munculnya Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (disebut juga Raja Kecil) dapat ditelusuri sampai ke Kesultanan Johor, karena ia adalah keturunan sultan Johor dari seorang selir. Kesultanan Johor muncul sesudah Malaka diduduki Portugis (1511).
Pada 1699, Sultan Mahmud II, penguasa Kesultanan Johor, dibunuh oleh panglima perangnya sendiri, Megat Sri Rama, dengan alasan sultan tidak memiliki tabiat yang sepatutnya sebagai seorang sultan.
Roda pemerintahan kemudian dijalankan oleh Datuk Bendahara, seorang pejabat kerajaan, yang tidak berhubungan darah dengan sultan, tetapi kemudian menabalkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah.
Pada waktu Sultan Mahmud II terbunuh, seorang selirnya yang bernama Encik Phong, anak Datuk Laksamana, sedang hamil. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terhadap kandungan itu, Encik Phong dipelihara oleh kepala Suku Laut yang bernama Raja Negara, kemudian dibawa ke Jambi dan akhirnya ke istana Pagaruyung. Di sinilah Encik Phong melahirkan seorang anak laki-laki dan membesarkannya. Anak ini diberi nama Raja Kecil.
Setelah diberitahu siapa dirinya, Raja Kecil bertekad untuk mengambil haknya, takhta Kesultanan Melayu Johor. Dalam usaha untuk merebut haknya itu, ia mendapat bantuan dari raja Pagaruyung berupa pasukan dari Desa Genting (Luhak 50 Koto), Sumanik (Luhak Tanah Datar), dan Sianok Koto Gadang (Luhak Agam).
Dengan berbekal cap stemple sebagai bukti bahwa ia keturunan sultan Johor, ia berangkat ke arah timur. Dengan adanya cap stempel itu, orang Minangkabau yang
ada di pesisir timur Sumatera bergabung untuk membantu Raja Kecil. Dengan bantuan kakeknya, Datuk Laksamana (ayah Encik Phong), Raja Kecil dapat merebut takhta Kesultanan Johor, tetapi tidak sampai membunuh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Ia naik takhta di Kesultanan Johor dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah.
Dalam pada itu, Raja Sulaiman, anak Sultan Abdul Jalil Riayat Syah, merasa berhak pula atas takhta Kesultanan Johor. Maka ia bergabung dengan lima bangsawan Bugis untuk memerangi Raja Kecil. Serangan pertama mereka dapat dihancurkan Raja Kecil.
Abdul Jalil Riayat Syah lari ke Trengganu, tapi kemudian dibunuh oleh Laksamana Sekam, panglima pasukan Raja Kecil. Hal ini membuat murka Raja Sulaiman dan mempererat persahabatannya dengan lima bangsawan Bugis untuk menyerang Raja Kecil.
Agar aman dari ancaman Raja Sulaiman, Raja Kecil memindahkan pusat kerajaan dari Johor ke Riau (Pulau Penyengat), kemudian memindahkannya lagi ke Desa Buantan di tepi Sungai Siak Sri Indrapura di daratan Sumatera.
Pada 1723 ia mengumumkan berdirinya Kesultanan Siak Sri Indrapura. Dengan demikian, Kesultanan Melayu Johor menjadi terbagi dua. Sebagian berada di bawah Raja Sulaiman dengan pusat di Johor; wilayahnya meliputi Semenanjung Malaka dan sebagian Kepulauan Riau.
Sebagian lagi berada di bawah Raja Kecil dan meliputi bekas wilayah Kesultanan Johor yang ada di daratan Sumatera, Bengkalis, dan sekitarnya. Kendatipun demikian, Raja Kecil dan anak-anaknya tetap menganggap seluruh wilayah Kesultanan Johor sebagai wilayah kekuasaannya yang sah.
Ia pernah mengadakan dua kali serangan ke wilayah Johor 1150 H/1737 M. Raja Alam, keturunannya, juga pernah mengadakan serangan pada 1161 H/1746 M. Kedua serangan itu tidak membuahkan hasil.
Raja Kecil yang wafat pada 1746 digantikan oleh Tengku Mahmud (Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah, 1746–1760). Pada 6 November 1759 Tengku Mahmud menyerang markas VOC di Guntung dan menewaskan 65 serdadu VOC, empat di antaranya orang pribumi. Muzaffar wafat 1760, lalu digantikan anaknya, Sultan Ismail.
Tetapi Raja Alam, salah seorang anak Raja Kecil, menginginkan takhta. Pada 17 Juni 1761, atas bantuan VOC ia berhasil naik takhta, tetapi harus memberikan keleluasaan kepada Belanda sebagai imbalan. Tahun itu juga ia mengadakan perjanjian dengan VOC.
Sepeninggal Raja Alam, pemerintahan dipegang oleh Raja Muhammad Ali, kemudian oleh Sultan Yahya sampai 1791. Sultan tersebut terakhir dipandang lemah, sehingga kepemimpinan diambilalih Sayid Ali bin Sayid Osman (Sultan Sayid Ali Abdul Jalil Syaifuddin), menantu Tengku Musa, anak Raja Alam.
Sayid Ali adalah seorang keturunan Arab Hadramaut dan mengaku sebagai keturunan Ahlulbait yang tersingkir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Sejak ia mengambilalih kekuasaan, Kesultanan Siak Sri Indrapura dipegang oleh keturunan Arab.
Ia memerintah 1791–1811, kemudian digantikan anaknya Sayid Ibrahim (1811–1814), yang kemudian digantikan Sayid Ismail (1815–1864). Ketika itu, wilayah Kesultanan Siak meluas sampai meliputi Asahan, Batubara, Billah, Temiang (semuanya kini masuk Sumatera Utara bagian timur), dan lain-lain; semuanya berjumlah 12 wilayah sehingga disebut Jajahan 12.
Tetapi wilayah yang luas itu kemudian digerogoti Belanda. Pada 1873, misalnya, Pulau Bengkalis harus diserahkan kepada Belanda, dengan imbalan Belanda harus membayar 8.000 gulden setahun kepada sultan Siak. Pada 1885 ditandatangani dua traktat (1 Februari dan 29 Maret), yang isinya menyatakan bahwa sebagian wilayah Jajahan 12 harus diserahkan kepada Belanda.
Sayid Ismail digantikan anaknya, Sultan Syarif Qasim I (1864–1889), yang kemudian digantikan oleh Sultan Syarif Qasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889–1908). Sultan terakhir Kesultanan Siak Indrapura adalah Sultan Syarif Qasim II (1892–1968; memerintah 1915–1946).
Pada Februari 1946 sultan ini menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik Indonesia dengan menyatakan bahwa wilayah Kesultanan Siak merupakan bagian dari Republik Indonesia.
Sultan sendiri kemudian diangkat sebagai penasihat pemerintah RI daerah Aceh sampai 1948. Kemudian ia hijrah ke Jakarta sampai 1963, lalu kembali ke Siak 1964 sampai wafat 1968.
Struktur pemerintahan di Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah sebagai berikut: sultan sebagai yang dipertuan besar dibantu raja muda atau yang dipertuan muda atau tengku panglima besar. Pada 1860 jabatan yang dipertuan muda dihapus oleh Sultan Sayid Ismail, lalu diganti dengan jabatan mangkubumi.
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim, jabatan mangkubumi dipecah menjadi lima bagian: panglima perang atau datuk laksamana, datuk bendahara, datuk bintan kanan, datuk bintan kiri, dan datuk hamba raja.
Untuk pemerintahan di daerah, masing masing daerah memiliki penghulu (kepala suku), batin (urusan kejiwaan/alam gaib), dan orang kaya (jabatan turun-temurun di suatu suku yang memiliki tanah ulayat).
Sebagai salah satu pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatera bagian timur, pendidikan dakwah Islam mula-mula dilakukan secara tradisional melalui masjid dan surau. Pada 1915 Sultan Syarif Qasim II mendirikan HIS yang menampung murid pribumi tanpa membedakan status sosial orangtua murid.
Pada 1917 didirikan sekolah agama dengan nama Madrasah Tanfiqiyah al-Hasyimiyah tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Untuk kaum wanita didirikan sekolah umum yang bernama Sathifah School dan sekolah agama yang bernama Madrasatun Nisah 1926. Karena perannya yang menonjol di bidang pendidikan, nama Sultan Syarif Qasim II diabadikan sebagai nama IAIN Pekanbaru pada 16 September 1973.
Istana bekas tempat tinggal dan pusat Kesultanan Siak Sri Indrapura sampai sekarang masih berdiri dengan megah di pinggir Sungai Siak dan merupakan salah satu objek pariwisata di daerah Riau.
Daftar Pustaka
Kempe, J.E dan R.O. Winstedt. “A Malay Legal Digest Compiled for Abd al-Gafur Mahayyuddin Syah, Sultan of Pahang 1592–1614,” JAMBRAS, Vol. 21.
Kosim, H.R. Syair Raja Siak. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Lutfi, Muchtar, et al., ed. Sejarah Riau. Pekanbaru: Universitas Riau, 1977.
Luthfi, Amir. “Hukum dan Perubahan Struktur Kekuasaan, Pelaksanaan Hukum
Islam dalam Kerajaan Siak Sri Indrapura, 1901–1942,” Disertasi Doktor, Jakarta, IAIN Syarif Hidayatullah, 1990.
Rina Shintawaty. Peranan Sultan Syarif Qasim II Abdul Jalil Syaifuddin, 1915–1945 di Kesultanan Siak Sri Indrapura. Jakarta: Fakultas Sastra UI, 1985.
Sudjiman, H M. Panuti. Adat Raja-Raja Melayu. Jakarta: UI Press, 1983.
Atjeng Achmad Kusaeri