Seljuk, Bani

Seljuk adalah nama keluarga keturunan Seljuk bin Duqaq (Tuqaq) dari suku bangsa Guzz dari Turki yang menguasai Asia barat daya pada abad ke-11 dan akhirnya mendirikan sebuah kekaisaran yang meliputi kawasan Mesopotamia, Suriah, Palestina, dan sebagian besar Iran.

Wilayah kekuasaan mereka yang demikian luas menandai awal kekuasaan suku bangsa Turki di kawasan Timur Tengah hingga abad ke-13.

Suku bangsa Guzz beremigrasi dari Turkestan, kemudian menetap di daerah yang terletak di antara Transoksania (ma wara’a an-nahr: apa yang ada di belakang sungai, yaitu Transoksania) dan daerah yang ditempati kelompok suku Turki Kirluk yang telah memeluk agama Islam.

Para ahli sejarah membedakan adanya lima cabang Dinasti Seljuk, yaitu:

(1) Seljuk Iran (Seljuk Besar),

(2) Seljuk Irak (al-Iraq),

(3) Seljuk Kirman (al-Qawurdiyun),

(4) Seljuk Asia Kecil (ar-Rum), dan

(5) Seljuk Suriah (asy-Syam).

Seljuk Iran (Seljuk Besar).

Nama Seljuk dikaitkan dengan nama pendirinya, yaitu Seljuk bin Duqaq (Tuqaq) yang menjadi cikal bakal dinasti. Mereka memeluk agama Islam Suni sehingga mudah berhubungan dengan negara tetangganya yang telah memeluk Islam.

Dalam peperangan yang sering terjadi antara raja Samaniyah dan Khaniyah, Seljuk berpihak pada raja Samaniyah yang kemudian memperkenankan mereka menyeberangi wilayahnya untuk menuju daerah pinggiran Sungai Sihun (Sungai Syrdarya, Kazakhstan), kemudian mengambil kota Jund (daerah di sekitar Transoksania) untuk dijadikan pangkalan. Seljuk berkembang menjadi kuat dan disegani serta sangat teguh berpegang pada ajaran Islam.

Seljuk bin Duqaq meninggalkan empat putra, yakni Israil, Musa Bigu, Yunus, dan Mikail. Israil, yang menggantikan kedudukan ayahnya, tidak mampu menghadapi serangan penguasa Daulah Ghaznawiyah (367 H/977 M–583 H/1187 M).

Di bawah penggantinya, Mikail, orang Seljuk dibawa melintasi daerah Jihun, kemudian menetap di Khurasan. Mereka kemudian terlibat peperangan dengan Sultan Mas‘ud al-Ghaznawi.

Di bawah Panglima Tugril Beq, orang Seljuk berhasil menghancurkan Daulah Ghaznawiyah dan menduduki singgasana kerajaan di Nisabur 429 H/1038 M. Oleh sebab itu Tugril Beq dipandang sebagai pendiri Dinasti Seljuk yang sebenarnya.

Setelah menduduki jabatan sultan (429 H/1038 M–455 H/1063 M), ia secara resmi mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah, al-Qa‘im (423 H/1031 M–468 H/1075 M), dan namanya kemudian disebut dalam khotbah Jumat di Baghdad.

Daerah kekuasaan Tugril Beq meliputi Iran dan sekitar Transoksania. Ia dengan mudah mendapat pengakuan dari Baghdad, yang pada saat itu dalam keadaan lemah secara militer, politik, dan ekonomi.

Pada 433 H/1041 M–434 H/1042 M Tugril Beq berhasil memperluas wilayahnya dengan merebut Jurjan, Tabaristan, Rayy, Quzwain, dan Zanjan hingga menguasai hampir seluruh wilayah Iran, dan kemudian memindahkan ibukotanya ke Rayy (tenggara Teheran).

Selama memegang kekuasaan, Tugril Beq menggalang persatuan yang kuat dengan saudara-saudaranya dengan memberikan kepada mereka wilayah kekuasaan tertentu. Pada 442 H/1050 M–443 H/1051 M ia berhasil merebut Isfahan dan menghancurkan kekuatan Daylamah di Persia.

Kemenangan Tugril Beq lebih disempurnakan lagi dengan merebut Azerbaijan 446 H/1054 M dan Hamadan 447 H/1055 M. Hal ini merupakan batu loncatan menuju Baghdad, yang pada saat itu dikuasai Dinasti Buwaihi, dengan rajanya yang terakhir Malik ar-Rahim.

Tugril Beq berhasil menundukkan kekuatan Buwaihi dan menangkap Malik ar-Rahim, kemudian memenjarakannya di Rayy sampai wafat 450 H/1058 M.

Pada saat yang sama ada persekongkolan rahasia antara al-Basasiri (panglima Buwaihi) dan Khalifah al-Mustansir (khalifah Fatimiyah di Mesir, 1036–1094) untuk menggulingkan khalifah Abbasiyah, al-Qa‘im, dan supremasi Buwaihi di dalamnya.

Beberapa wilayah kekuasaan Buwaihi kemudian ia gabungkan ke dalam kekuasaannya, seperti Kirman, Khuzistan, Aman, dan Irak Barat. Al-Basasiri, yang gagal menguasai Baghdad, kemudian meneruskan perlawanannya dari al-Mawsil (Mosul, Irak).

Permusuhan itu telah mengambil warna baru, yakni pertentangan antara ahli sunah (Suni) yang diwakili khalifah Baghdad (al-Qa‘im) bersama Tugril Beq dan Syiah yang diwakili khalifah Fatimiyah (al-Mustansir) bersama al-Basasiri.

Al-Basasiri pernah berhasil menguasai Baghdad dan memaksa khalifah menandatangani dokumen yang menyatakan dirinya turun takhta serta tidak adanya hak bagi Dinasti Abbasiyah atasnya, dan menyerahkannya kepada khalifah Fatimiyah, al-Mustansir.

Ia juga diharuskan mengirimkan lambang kekhalifahan, termasuk mantel dan peninggalan suci lainnya. Serban dan jendela istananya yang sangat bagus juga dikirimkan sebagai tanda kenang-kenangan ke Cairo. Al-Basasiri menguasai Istana Baghdad selama setahun (1058), sebelum akhirnya ia diusir kembali oleh Tugril Beq pada tahun berikutnya.

Kursi kekhalifahan dikembalikan lagi oleh Tugril Beq kepada Khalifah al-Qa‘im, bahkan ia kemudian menjalin hubungan lebih erat dengan Khalifah dengan mengawini putrinya dan memboyongnya ke ibukota kerajaan di Rayy pada 1062.

Setahun kemudian ia meninggal dunia setelah berkuasa selama 26 tahun. Sepeninggal Tugril Beq, kekuasaannya digantikan kemenakannya yang tertua, Alp Arslan (w. 1072), karena ia tidak memiliki keturunan laki-laki.

Naiknya Alp Arslan mendapat perlawanan dari saudara-saudaranya yang dipelopori Syihabuddaulah Qutulmisy, anak pamannya, Musa Cagri. Pada 457 H/1064 M Musa Cagri yang menguasai daerah Transoksania berhasil ditaklukkannya.

Alp Arslan berhasil menyelesaikan konflik intern dan memerintah dengan pusat pemerintahannya di ibukota Rayy. Ia didampingi oleh seorang perdana menteri berkebangsaan Persia yang sangat cakap dan masyhur, Nizam al-Mulk (w. 1092).

Ia juga mendampingi putra Alp Arslan, Maliksyah (1072–1092), selama 20 tahun. Pada waktu itu seluruh kekuasaan terkonsentrasi pada dirinya, sementara sultan tidak mempunyai pekerjaan.

Masa pemerintahan Tugril Beq (1038–1063), Alp Arslan (1063–1072), dan Maliksyah merupakan periode kekuasaan Bani Seljuk yang paling cemerlang. Wilayahnya meliputi bagian timur dunia Islam.

Bani Seljuk memperluas daerah penaklukannya sampai ke Asia Barat dan dapat mempersatukannya dengan kerajaan Islam. Ras baru dari Asia Tengah ini berjuang keras untuk menguasai dunia.

Pada tahun kedua dari pemerintahannya, Alp Arslan berhasil merebut Ani, ibukota Kristen di Armenia, kemudian juga propinsi Bizantium. Pada 1071 dalam peperangan dengan Bizantium, ia berhasil memenangkan pertempuran yang paling menentukan bagi jalannya sejarah Islam di Manzikart (Malazkird atau Malasyird), suatu tempat di utara Danau Van di Armenia. Ia berhasil menangkap Kaisar Romanus IV Diogenes.

Bani Seljuk adalah dinasti Islam pertama yang memperoleh kekuasaan permanen di Kekaisaran Romawi. Bani Seljuk mulai menempati dataran tinggi Asia Kecil yang kemudian menjadi bagian dari wilayah negara Islam (Darul Islam), dan sekaligus meletakkan basis bagi penyebaran bangsa Turki di Asia Kecil.

Saudara sepupu Alp Arslan, Sulaiman bin Qutulmisy (w. 479 H/1086 M), kemudian memegang kekuasaan di wilayah baru itu dan mendirikan Kesultanan Seljuk pada 1077.

Nicaea (Niqiyah) adalah kota pertama yang dijadikan ibukota di wilayah itu, dan dari sana di kemudian hari Qilij Arslan I, anak dan pengganti Sulaiman, diserang oleh gabungan Tentara Salib yang pertama. Setelah itu, pada 1084, Iconium (Quniyah), kota yang paling kaya dan terbagus di Asia Kecil, juga menjadi ibukota Seljuk.

Sepeninggal Sultan Maliksyah (485 H/1092 M) terjadi perebutan kursi kesultanan antara Barkiyaruk bin Maliksyah (w. 1104) yang mendapat dukungan dari kaum Madrasah Nizamiyah dan saudara bungsunya, Mahmud (w. 1118), yang mendapat dukungan dari ibunya, Turkan Khatun, janda Maliksyah.

Mula-mula Mahmud diakui sebagai sultan (1092), tetapi atas desakan pengikut Nizam al-Mulk dan murid Madrasah Nizamiyah, Barkiyaruk juga diakui sebagai sultan yang berkedudukan di Isfahan. Dalam perkembangan berikutnya Barkiyaruk berhasil melumpuhkan kekuatan Mahmud.

Pada 1097 ia mengangkat Sanjar (w. 1157), saudara seayah, menjadi penguasa di Khurasan. Pada 1099 Muhammad, saudara kandung Sanjar, memproklamasikan diri sebagai sultan di Hamadan, sehingga pada waktu yang bersamaan ada dua sultan Seljuk yang diakui khalifah Abbasiyah.

Sepeninggal Barkiyaruk, anaknya, Maliksyah II, menggantikan kedudukannya, tetapi wilayahnya telah terbagi-bagi kepada saudara­saudaranya: bagian timur untuk Sanjar, bagian utara untuk Muhammad, Syam (Suriah) untuk anak Tutusy, Asia Kecil untuk anak Qutulmisy, dan Kirman dan sekitarnya untuk Seljuk Kirman dari keturunan Qawurd.

Seljuk Irak (al-Iraq). Sepeninggal Muhammad bin Maliksyah bin Alp Arslan pada 1118, muncullah banyak sultan Seljuk. Mereka secara resmi memerintah meskipun kadang ka dang hanya dalam waktu yang sangat singkat, dan hanya merupakan alat (kaki tangan) dari para atabeg (bapak asuh) dan amir.

Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan bahwa para sultan itu pada mulanya dibesarkan dan diasuh oleh orang Turki terkemuka yang bertindak sebagai ayah kedua (bapak asuh), yang disebut atabeg.

Masing-masing atabeg berusaha memperjuangkan jabatan sultan bagi pangeran yang diasuhnya dalam rangka meningkatkan prestise dirinya. Sebagai akibatnya, timbul perang saudara yang berkepanjangan dan ikut sertanya pihak ketiga dalam pengangkatan para sultan, seperti Sanjar.

Sultan Seljuk di Irak berikutnya adalah Mahmud bin Muhammad bin Maliksyah (w. 1131), anak sulung Sultan Muhammad, yang berumur 13 tahun. Ia naik takhta pada 1118 atas perkenan dari Sultan Sanjar, pamannya, yang memberikan wilayah kesultanan dari batas Khurasan sampai ke Syam (Suriah).

Tetapi secara de facto ia hanya berkuasa di daerah Irak. Sepeninggal Sultan Mahmud, berturut-turut naik takhta Sultan Daud (1131–1132) dan Tugril I bin Muhammad (1132–1134). Pada giliran berikutnya Sultan Mas‘ud yang terkenal gagah berani menjadi sultan Seljuk (1134–1152) tanpa banyak mengalami perlawanan.

Ia pernah memenjarakan Khalifah al-Mustarsyid (kha­lifah Abbasiyah, 1118–1135), karena adanya pertentangan antara keduanya. Atas desakan Sultan Sanjar, Khalifah dibebaskan dan menduduki jabatannya lagi. Pada masanya, khalifah di Baghdad menjadi bulan-bulanan dan tunduk di bawah pengaruhnya.

Sepeninggal Khalifah al-Mustarsyid, karena persekongkolan orang Isma’iliyah atau bahkan atas perintahnya, ia menolak pengangkatan ar-Rashid sebagai pengganti dan mendudukkan al-Muqtafi pada 1136, dengan persetujuan dari ulama, fukaha (ahli fikih), dan para hakim di Baghdad yang ia rekayasa.

Sepeninggal Sultan Mas‘ud, semakin banyak terjadi kekacauan sehingga peranan atabeg semakin besar dalam mengatur pengangkatan sultan baru.

Secara beruntun, Mas‘ud digantikan oleh Maliksyah II (1152–1153), Muhammad II (1153–1159), Sulaiman Syah (1159–1161), Arslan Syah (1161–1175), dan Tugril II (1175– 1194).

Melihat kelemahan para sultan itu, khalifah seringkali ingin melepaskan atau mengurangi pengaruh mereka dengan cara mencoret namanya dari khotbah Jumat.

Seljuk Kirman (al-Qawurdiyun). Nama Kirman dikaitkan dengan pusat pemerintahan, yakni daerah asal mereka untuk menduduki daerah lainnya. Seljuk Kirman dinamakan juga al-Qawurdiyun, nama yang dinisbahkan kepada pendirinya, Qawurd Qara Arslan Beq bin Cagri Beq Daud bin Mikail.

Qawurd adalah saudara seayah Alp Arslan bin Cagri Beq yang pergi ke Kirman dengan kelompok Guzz sekitar 1041, dan beberapa tahun kemudian (440 H/1048–1049 M) menduduki ibukota Bardasir. Sampai dengan 455 H/1063 M ia berhasil mendirikan pemerintahan di daerah Persia.

Setelah merasa kuat, ia menunjukkan sikap menentang terhadap kekuasaan saudaranya, Alp Arslan, tetapi kemudian surut kembali setelah merasakan keunggulan Alp Arslan.

Ketika Maliksyah naik takhta menggantikan ayahnya yang meninggal pada 465 H/1072 M, Qawurd mencoba menggulingkannya karena merasa lebih berhak atas takhta itu. Ia menyiapkan tentara yang besar menuju Rayy untuk memerangi kemenakannya, tetapi Maliksyah mencegatnya di Hamadan dan membunuhnya (466 H/1074 M).

Maliksyah mengangkat Sultan Syah bin Qawurd sebagai penguasa Kirman sampai 477 H/1084 M. Selanjutnya takhta kesultanan dipegang Turan Syah (1084–1097), Iran Syah (1097–1100/1101), Arslan Syah (1101–1142), Muhammad (1142–1156), Tugril Syah (1156–1169), kemudian dua orang memerintah secara bersama-sama, yakni Bahram Syah dan Arslan Syah II (1169–1176), Turan Syah II (1176–1183), dan Muhammad Syah (1183–1186).

Kehancuran Seljuk Kirman disebabkan kedatangan raja-raja Guzz, yang kemudian berhasil mendesak dan menguasai kesultanan, bahkan akhirnya dapat menurunkan sultan terakhir, yakni Muhammad Syah (582 H/1186 M). Tahun berikutnya (583 H/1187 M) wilayah Kirman menjadi kekuasaan kelompok Guzz dengan rajanya Malik Dinar.

Seljuk Asia Kecil (ar-Rum). Seljuk Roma berkuasa sekitar 220 tahun, dengan jumlah sultan kurang lebih 14 orang. Asal usul keturunan mereka berasal dari moyangnya, Abu al-Fawaris Qutulmisy bin Israil bin Seljuk, yang diangkat sebagai penguasa di daerah al-Mawsil (Mosul, Irak), Diyar Bakr, dan Syam (Suriah) pada masa penaklukan yang pertama.

Setelah mangkatnya Tugril Beq pada 455 H/1063 M dan naiknya Alp Arslan, ia melakukan pemberontakan karena merasa lebih berhak atas jabatan itu, tetapi ia berhasil dibunuh oleh Alp Arslan. Atas campur tangan Nizam al-Mulk, keluarga ini selamat dari penghancuran total, hanya saja penguasanya tidak diperbolehkan memakai gelar amir.

Pimpinan pemerintahan kemudian dipegang oleh Sulaiman bin Qutulmisy yang diberi wewenang menguasai daerah Asia Kecil atas perkenan dari Maliksyah. Nama Sulaiman semakin terkenal setelah ia berhasil merebut Antakiyah (Antiokia) pada 477 H/1085 M dari tangan orang Philaretus Armenia.

Sulaiman terlibat peperangan dengan Tutusy bin Alp Arslan yang berakhir dengan kematiannya (1086). Maliksyah kemudian mengangkat anak Sulaiman, Qilij Arslan I, untuk menggantikan kedudukannya. Ia berkuasa selama kurang lebih 20 tahun sampai wafatnya 500 H/1107 M.

Secara kronologis para penguasa Seljuk Roma adalah sebagai berikut: Qilij Arslan I (1086–1107), Maliksyah dan Mas‘ud (1107–1155), Qilij Arslan II (1156–1192), Ruknuddin Sulaiman II (1196–1204), Qilij Arslan III dan Giyasuddin Kaikhusraw I (1204–1210), Izzuddin Kaika’us I (1210–1219), Alauddin Kaikobad (1219–1237), Izzuddin Kaikhusraw II (1237–1245), Izzuddin Kaika’us II dengan dua saudaranya (1246–1256), Ruknuddin Qilij Arslan IV (1257–1266), Giyasuddin Kaikhusraw III (1266–1282), Giyasuddin Mas‘ud II dan Alauddin Kaikobad III (1282–1302).

Kesultanan Seljuk ini dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan dinasti Seljuk yang lain, meskipun terjadi berbagai pertentangan intern.

Kehancuran Dinasti Seljuk Asia Kecil diawali dengan masuknya orang Mongol yang lama-kelamaan dapat menguasai pemerintahan, dan akhirnya mampu merebut kesultanan di bawah pimpinan Gazan Khan pada masa Alauddin (702 H/1302 M).

Seljuk Suriah (asy-Syam). Nenek moyang kelompok ini adalah Tajuddaulah Tutusy bin Alp Arslan yang telah mulai memerintah Syam pada 470 H/1078 M atas perintah Maliksyah, yang memberinya wilayah kekuasaan di Damascus dan sekitarnya. Tutusy berhasil menaklukkan penguasa setempat (Damascus) pada 471 H/1078 M.

Sepeninggal Maliksyah, ia membawa pasukannya menuju Haleb (Aleppo) pada 485 H/1092 M, dan atas pengaruh kekuasaannya penguasa Haleb, Qasimuddaulah Aqsanqor, menyatakan loyalitasnya; demikian pula penguasa Antakiyah (Antiokia), ar-Raha (Rayy), dan Harran (di Turki).

Ia kemudian memakai gelar sultan, dan selanjutnya menaklukkan Azerbaijan dan Hamadan (Iran) sebagai batu loncatan untuk merebut Iran pada 487 H/1094 M.

Tutusy terlibat peperangan dengan Ruknuddin Barkiyaruk, kemenakannya, tetapi yang disebut terakhir berhasil dikalahkannya dan kemudian melarikan diri ke Isfahan. Untuk kedua kalinya Barkiyaruk mengadakan perlawanan lagi, dan kali ini berhasil menghancurkannya dekat Rayy pada 488 H/1095 M.

Anak Tutusy, Ridwan, yang bergelar Fakh al-Muluk kemudian menjadi raja di Haleb, tetapi pemerintahan dinasti ini tidak berumur panjang. Pada 507 H/1113 M Ridwan bin Tutusy meninggal dunia dan tidak mempunyai pengganti yang kuat yang dapat menguasai pemerintahannya.

Sementara itu putra Tutusy yang lain, Syams al-Muluk Abu Nasr Duqaq, yang menjadi penguasa di Damascus meninggal pada 497 H/1104 M. Alp Arslan, putra dan pengganti Ridwan bin Tutusy, tidak lama memerintah, karena ia dibunuh pembantunya sendiri, Lu’lu.

Nasib yang sama dialami penggantinya dan saudaranya, Sultansyah, pada 511 H/1117 M. Kekuasaan di Kesultanan Seljuk Syam (Suriah) kemudian jatuh ke tangan para atabeg (buri = bupati/wali negeri) dan amir (artaqi = penguasa daerah), dan tidak pernah muncul lagi dalam panggung sejarah.

Daftar Pustaka

Brockelmann, Carl. History of the Islamic People. London: Routledge and Kegan Paul Limited, 1848.
Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam. Cairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1964.
Hilmi, Ahmad Kamaluddin. as-Salajiqah fi at-Tarikh wa al-Hadharah. Kuwait: Dar al-Buhus al-‘Ilmiyah, 1975.
Syalabi, Ahmad. Mausu‘ah at-Tarikh al-Islami wa al-Hadharah al-Islamiyyah. Cairo: al-Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah, 1979.

Zuhad