Sekularisme adalah sistem doktrin dan praktek yang menolak segala bentuk yang diimani agama. Menurut sekularisme, dunia adalah mutlak dan menjadi tujuan akhir. Mereka menolak adanya surga setelah kehidupan di dunia.
Karena itu, sekularisme ditolak agama karena dekat dengan ateisme. Sekularisme (sekularisasi) juga bisa berarti “pandangan bahwa masalah agama (surgawi) harus dipisah dari urusan negara (duniawi)”.
Secara etimologis istilah “sekuler” berasal dari bahasa Latin, saeculum, yang bermakna ganda, yakni “ruang” dan “waktu”. Istilah “ruang” menunjuk pada pengertian “dunia” atau “duniawi”, sedangkan “waktu” pada pengertian “sekarang” atau “kini”.
Kata “sekuler” berkembang menjadi sebuah istilah yang diartikan sebagai “bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian”. Bahasa Arab untuk “sekular” adalah ‘ilmaniyyah, suatu kata yang berakar dari kata ‘ilm yang berarti “ilmu pengetahuan” atau “sains”.
Dari kata “sekuler” muncul istilah “sekularisasi” yang antara lain mengandung arti “proses melepaskan diri dari ikatan keagamaan.” Sekularisasi dapat juga diartikan sebagai pemisahan antara urusan kenegaraan dan urusan keagamaan, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi (akhirat).
Selanjutnya dari kata “sekuler” juga muncul istilah “sekularisme”, yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf George Jacob Holyoake pada 1846. Menurutnya, sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Definisi lain dari sekularisme dikemukakan A.
Hornby (ahli bahasa berkebangsaan Amerika). Menurutnya, sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh lembaga keagamaan harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama.
Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kristen di dunia Barat. Di Barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal yang menyangkut masalah agama dan non-agama (bidang sekuler) yang diawali dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma Kristen di pihak lain.
Dalam perkembangannya kemudian, sekularisme mengalami dua periode, yaitu periode sekularisme moderat dan sekularisme ekstrem. Periode pertama berlangsung pada abad ke-17 dan ke-18. Pada periode ini agama dipandang sebagai masalah individu (tersendiri) yang tidak berkaitan dengan masalah negara.
Meskipun demikian, pada waktu itu Gereja (Katolik Roma) masih diurusi negara, khususnya yang berhubungan dengan upeti dan pajak. Para tokoh filsafat yang termasuk dalam periode ini meliputi antara lain John Locke (filsuf Inggris; 1632–1704), Thomas Hobbes (filsuf Inggris; 1588–1679), David Hume (filsuf dan sejarawan Scotlandia; 1711–1776), dan Jean Jacques Rousseau (filsuf, penulis, dan pencetus teori politik dari Perancis; 1712–1778).
Yang melatarbelakangi munculnya gagasan pemisahan antara gereja dan negara pada periode ini meliputi antara lain pandangan bahwa:
(1) agama hanyalah suatu perkembangan, bukan tujuan akhir manusia; oleh karena itu, kebenaran yang dibawanya bersifat nisbi dan dapat berubah-ubah;
(2) agama bertentangan dengan tabiat alam, menurut ilmu pendidikan, seperti yang diutarakan oleh Rousseau sehubungan dengan ajaran Gereja mengenai “dosa asal”; dan
(3) hasil sains dan ilmu pengetahuan tidak selaras dengan ajaran Gereja yang mapan.
Periode kedua, yaitu sekularisme ekstrem, berkembang pada abad ke-19 dan memuncak dalam pemikiran materialisme historis Marxisme (ajaran Karl Marx; 1818–1883). Pada periode ini agama benar-benar menjadi urusan pribadi tanpa campur tangan negara.
Bahkan, negara memusuhi agama dan orang yang beragama. Tokoh lain yang termasuk dalam periode ini antara lain adalah Ludwig Andreas Feuerbach (filsuf Jerman; 1804–1872) dan Lenin (ahli teori Marxisme; 1870–1924).
Pandangan sekularisme dalam tahap ekstrem ini tersimpul dalam pandangan Lenin yang menyatakan bahwa agama adalah “candu bagi masyarakat dan menghambat kemajuan berpikir”.
Negara harus netral dalam arti tidak memperhatikan urusan agama. Agama dianggap tidak bernilai bagi penduduk dan oleh karena itu agama seseorang tidak perlu ditanyakan. Kenetralan terhadap agama adalah pemisahan yang sempurna antara negara dan agama.
Di dunia Islam, istilah “sekuler” pertama kali dipopulerkan Zia Gokalp (1875–1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Kerajaan Usmani Turki (Kerajaan Ottoman) pada masa itu, ia mengemukakan perlunya pemisahan antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).
Menurutnya, hukum yang terdapat dalam muamalah berasal dari adat yang kemudian mendapat legitimasi dari wahyu. Adat dapat berubah dan lenyap sehingga tidak mustahil hukum yang bersumber dari adat juga akan ditinggalkan.
Adat bersifat dinamis dan dengan demikian syariat pun harus dinamis. Karena itu, menurut Gokalp, harus ada pemisahan antara ibadah dan muamalah. Hukum ibadah menjadi urusan khalifah dan kaum ulama, sedangkan hukum muamalah menjadi wewenang sultan atau urusan negara.
Pengertian sekularisme dalam pandangan ulama dan ilmuwan Islam sangat beragam. Sayid Qutub (filsuf muslim dari Mesir; 1906–1966) mendefinisikannya sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama. Karena itu, sekularisme bertentangan dengan Islam, bahkan merupakan musuh Islam yang paling berbahaya.
Pandangan Qutub didukung Altaf Gauhar (filsuf muslim kontemporer dari Mesir) yang menyatakan bahwa sekularisme dan Islam tidak mempunyai tempat berpijak yang sama. Esensi Islam berantitesis terhadap sekularisme.
Pandangan lain tentang sekularisme dikemukakan Syed Muhammad Naquib al-Attas (seorang sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia; l. 1931), yang menunjuk pada suatu ideologi atau paham yang menidakkeramatkan (desakralisasi) alam dan politik.
Ia menjelaskan bahwa Islam tidaklah sama dengan Kristen. Karena itu, sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat tidaklah sama dengan apa yang terjadi pada masyarakat muslim.
Akan tetapi, Naquib al-Attas mengingatkan bahwa kita harus melihat sekularisasi tidak hanya terbatas pada dunia Barat. Pengalaman mereka atas hal itu dan sikap mereka terhadapnya sangat berguna untuk dipelajari kaum muslimin di seluruh dunia.
Tentang pandangan Islam terhadap sekularisme, Naquib al-Attas dengan tegas menyatakan bahwa pada dasarnya Islam menolak segala bentuk sekularisme. Bahkan, Islam secara total menolak penerapan apa pun mengenai konsep sekuler, sekularisasi, maupun sekularisme, karena semuanya itu bukanlah milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal.
Naquib al-Attas mengemukakan alasannya bahwa Islam adalah agama yang lengkap, sempurna, dan sesuai dengan kondisi manusia sejak awal. Karena itu, agama Islam tidak membutuhkan “perkembangan” atau “perubahan” lebih lanjut.
Kalau dalam masyarakat ada anggapan bahwa Islam tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman yang senantiasa berubah, menurutnya, anggapan seperti ini dalam kenyataannya bukan karena Islam tidak relevan, melainkan semata-mata karena kebodohan atau kejahiliahan. Anggapan seperti ini justru membawa mereka kepada proses deislamisasi yang selanjutnya menggiring mereka ke arah sekularisasi.
Kalangan ilmuwan muslim Indonesia, seperti Prof. Dr. H Mohammad Rasjidi (ulama, filsuf, dan menteri Agama Republik Indonesia pertama; 1915–2002), juga mengemukakan pandangan yang senada terhadap sekularisme.
Menurutnya, belum ada dalam sejarah istilah sekularisme dan sekularisasi tidak mengandung prinsip pemisahan antara persoalan agama dan dunia. Dengan pemahaman ini, Rasjidi beranggapan bahwa sekularisme dan sekularisasi membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya.
Karena itu, keduanya harus dihilangkan. Baginya, pemikiran baru itu memang dapat menimbulkan dampak positif, seperti membebaskan umat dari kebodohan. Akan tetapi, istilah ini sama sekali tidak mempunyai akar dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku di Barat.
Pandangan lain terhadap sekularisme dikemukakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid. Ia dengan jelas membedakan antara makna sekularisme dan sekularisasi. Pembedaan antara sekularisasi dan sekularisme dapat dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme.
Ia menganjurkan setiap orang Islam bersikap rasional, tetapi bersamaan dengan itu melarang orang Islam menjadi rasionalis sebab rasionalis berarti mendukung rasionalisme, sedangkan yang disebutkan terakhir ini bertentangan dengan Islam.
Rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu sebagai media untuk mengetahui kebenaran. Dengan kata lain, rasionalisasi mempunyai arti “terbuka karena merupakan suatu proses”, sedangkan rasionalisme mempunyai arti “tertutup karena merupakan suatu paham atau ideologi”. Demikian pula halnya dengan sekularisme dan sekularisasi.
Menurutnya, sekularisasi adalah suatu proses penduniawian; dalam pengertian ini peranan utama diletakkan pada ilmu pengetahuan. Karena itu, sekularisasi adalah pengakuan wewenang ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam membina kehidupan duniawi, dan ilmu pengetahuan itu sendiri terus berproses dan berkembang menuju kesempurnaannya.
Menurutnya, sekularisasi menjadi suatu keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam. Artinya, umat Islam hendaknya memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini.
Meskipun demikian, sekularisasi bukanlah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, yang merupakan suatu ideologi yang bersifat tertutup, melainkan justru dimaksudkan sebagai islamisasi atau penauhidan (tauhid).
Sekularisasi sama sekali tidak diarahkan kepada pengubahan kaum muslimin menjadi sekularis, melainkan lebih dimaksudkan untuk menduniawikan nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya atau membebas-kan umat Islam dari kehidupan yang bersifat takhayul dan magis.
Sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.
Daftar Pustaka
al-Attas, Syed M. Naquib. Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future, atau Islam dan Sekularisme, terj. Karsidjo Djojosuwarno. Bandung: Pustaka Salman, 1981.
Berkes, Niyazi. The Development of Secularism in Turkey. Montreal: Mc.Gill University Press, 1963.
Qutub, Muhammad. Madzahib Fikriyyah Mu‘asirah. Cairo: Dar asy-Syuruq, 1988.
Rasjidi, H M. Sekularisasi dalam Persoalan Lagi: Suatu Koreksi atas Tulisan Dr.
Nurcholish Madjid. Jakarta: Yayasan Bangkit, 1972.
Saefuddin, A.M. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1987.
Musdah Mulia